17

Arashq meremas rambut bergelombangnya dengan frustasi. Di hadapannya, Jonathan dan dua orang anak buahnya yang lain berlutut. Tampang mereka bertiga pucat dengan keringat mengalir dari dahu menuju dagu.

"Apa saya kurang banyak menggaji kalian? Masa mengikuti Hilda saja kalian tidak becus?! Kalian tiga orang dewasa yang sudah malang melintang jadi anak buah saya, menghadapi orang-orang dari berbagai kalangan, masa kalah dengan dua anak perempuan bau kencur?" maki Arash di tengah ramai orang yang berlalu lalang di pelabuhan.

Jonathan dan dua anak buahnya tidak berani menjawab. Mereka sadar kesalahan mereka sangat fatal. Jonathan sendiri tidak habis pikir bisa-bisanya mereka kehilangan jejak Hilda. Padahal, dia yakin sekali selalu mengawasi setiap gerak-gerik istri kedua Arash itu.

"Sepertinya Nona Hilda dan temannya sadar

kalau kamu sedang mengikuti."

Arash meraup wajahnya. "Apakah dengan bertambahnya usia kepintaran kalian semakin berkurang? Kalian bukan cuma sekali dua kali melakukan pekerjaan ini. Kenapa hasil kerja kalian tidak membanggakan sama sekali?!”

"Ma-maaf, Tuan Arash. Kami tidak berhati-hati." Jonathan menunduk.

"Kami akan mencari Nona Hilda sampai dapat, Tuan."

"Memang itu yang harus kalian lakukan kalau masih mau bekerja untuk saya," kata Arash ketus.

Arash duduk di salah satu kursi tunggu karena kepala pusing tidak terkira. Masalah minggatnya Hilda lebih mengerikan dari pada masalah perusahaan. Arash lupa kalau istri keduanya itu tidak memiliki ponsel. Akibatnya dia tidak bisa melayak keberadaan Hilda sekarang. Benar-benar tidak punya bayangan ke mana Hilda pergi.

Arash tidak bisa membiarkan Hilda pergi begitu saja. Enak saja, masa dia harus merelakan uang lima miliarnya hilang tanpa pernah dimiliki secara utuh?

"Kita harus ke mana, Tuan?" Haris mendekat.

Arash membuka matanya. "Di sini saja dulu.

Saya sudah terlalu lelah untuk kembali."

"Mau saya pesankan makanan, Tuan?" tawar Haris.

Marah-marah pasti menguras tenaga Tuan Arash, pikir Haris.

Sayangnya Arash menggeleng. "Nafsu makan

saya hilang."

Arash kembali menyalakan rokoknya. Menghirup asal rokok dalam-dalam dan mengembuskannya sembarang. "Oh, ya, Kamu sudah tanya dengan orang-orang sekitar?"

Haris mengangguk. "Sayangnya, mereka bilang tidak pernah melihat Nona Hilda."

"Sudah kamu tanyakan ke SEMUA orang?" Arash menekankan kata "semua". Artinya, dia tidak mau seorang pun terlewat. Bahkan jika kucing bisa bicara, Arash akan meminta Haris bertanya pada binatang lucu itu.

"Sudah. ​​SEMUA-nya tidak tahu menahu, Tuan," balas Haris yang turut serta kata "semua".

"Semuanya?" gumam Arash.

Dia mulai menimbang-nimbang. Otaknya yang

cerdas berpikir keras.

“Jika semua orang yang ada di pelabuhan ini... anggaplah jumlah mereka sekitar dua ratusan, dan tidak seorang pun dari mereka melihat Hilda ...memangnya perempuan kerdil itu punya ilmu gaib?!"

Arash tidak sedang melucu. Tapi, Haris merasa sangat terhibur. Dia mati-matian mengatup bibir agar tidak keeceplosan tertawa.

"Sialan! Perempuan kecil itu punya persiapan yang sangat matang!" umpat Arash.

"Tenanglah, Tuan. Nona Hilda pasti akan segera ditemukan."

"Kamu tahu kan kalau saya tidak bisa tidur tenang kalau apa yang saya inginkan tidak terpenuhi?"

*Tahu, Tuan.

"Yang paling saya inginkan sekarang adalah menemukan Hilda dan menghukumnya sampai dia tidak ingin hidup lagi."

Haris mengangguk paham. Arash punya keinginan yang kuat. Jika apa yang dia inginkan tidak segera tercapai, maka Arash akan berubah menjadi gorilla kesurupan. Pria besar ini tidak keberatan melakukan apa pun asal keinginannya tercapai.

"Mumpung kita sudah sampai di sini, tidakkah Tuan mau berkeliling?"

"Untuk apa?" tanya Arash tanpa minat.

"Mungkin Tuan mau bertanya langsung kepada orang-orang sini," tawar Haris. "Mungkin saja ada orang yang saya lewatkan. Meskipun saya yakin semua orang sudah saya tanyai."

"Pekerjaan itu melelahkan. Buang-buang waktu, juga," tolak Arash.

"Lalu apakah Tuan ingin pulang?"

"Saya sudah berkata pada Karmila kalau akan pulang tiga hari lagi. Rasanya sangat janggal kalau saya tiba-tiba pulang ke rumah. Kamu tahu sendiri Kartika itu terlalu ingin tahu masalah orang."

Arash mengutak-atik ponselnya dengan tampang kusut. Tidak ada yang bisa dia hubungi untuk dimintai pertolongan. Jika anak buah kepercayaannya saja tidak bisa diharapkan. bagaimana dengan orang lain.

Asyik memainkan ponsel dengan pandangan hampa, tiba-tiba Haris, dengan nada ketakutan memanggilnya.

"Tu-tuan Arash. Lihatlah ini. Saya dapat sebuah pesan." Suara Haria seperti tercekik.

Dia menyerahkan ponselnya kepada Arash.

Arash hanya menatap benda canggih itu dengan kening berkerut, tanpa mau mengambilnya.

"Kenapa kamu kasih HP kamu ke saya?"

"Se-sepertinya yang ada di foto ini Nona Hilda."

Arash sontak terbelalak. Refleks berdiri dan langsung merebut ponsel dari tangan Haris. Keningnya berkerut dan mata yang memicing, dia menatap layar ponsel itu dengan teliti.

"Ini Hilda?" tanyanya tidak percaya. "Seperti

gelandangan saja."

"Iya. Saya yakin itu Nona Hilda. Postur

tubuhnya sama persis."

"Sedang apa dia?"

Haris melongokkan kepala, bermaksud melihat kembali foto Hilda di layar ponselnya yang masih dipegang Arash. Di sana Haris melihat dengan jelas kondisi Hilda.

Tangan diikat di belakang tubuh. Kakinya juga diikat. Gaun bermotif bunga yang dipakainya sudah compang-camping. Beberapa bagian tubuhnya, seperti tangan dan kaki terdapat memar. Lututnya juga mengeluarkan darah.

"Nona Hilda diculik!" pekik Haris, mulutnya

menganga lebar.

Tubuh Arash membeku.

"Oleh siapa?" Nada bicara Arash benar-benar

dalam dan penuh ancaman.

Demi apa? Tidak ada seorang pun tahu kalau Hilda adalah istri Arash kecuali Haris, Jonathan, dan bi Ani. Lalau bagaimana si penculik ini tahu kalau Hilda adalah istri Arash?

Ponsel Haris berbunyi lagi. Sebuah notifikasi

masuk. Arash langsung membukanya.

"Kalau mau perempuan ini tetap hidup, siapkan uang Lima miliar. Kirimkan ke rekening. Batas waktu sampai tengah malam. Kalau tidak menuruti, siapkan diri menerima bingkisan berupa jasad perempuan ini. Kalau kalian menurut, Nona kecil ini akan diantarkan dengan selamat ke apartemennya."

Selesai membaca pesan itu, Arash meremas tangan kuat-kuat. Napasnya memburu. Wajahnya sudah merah padam. Detik berikutnya dia membanting ponsel Haris ke lantai pelabuhan sampai layarnya pecah.

"SIALAN! Manusia mana yang berani

macam-macam denganku."

Jonathan yang masih berada di dekat Arash, mendekat. Dia menatap iba pada ponsel Haris yang layarnya tak berbentuk lagi. Juga melirik wajah Arash yang semakin mengerikan. Jonathan sadar Arash sudah berasa di ambang kesabarannya.

"Katakan apa yang harus saya lakukan, Tuan,"

ujar Jonathan.

Dengan dada masih naik turun dengan cepat Arash berkata, "Selidiki siapa yang mengirimi saya pesan laknat tadi. Lacak di mana keberadaannya."

“Baik, Tuan.”

"Setengah jam, Jo. Saya memberimu waktu setengah jam. Kalau kamu tidak bisa mendapatkannya, kamu saya pecat."

Jonathan mengangguk patuh. Dia segera berlalu dari sana sambil membawa ponsel Haris. Di tempat yang agak sepi, Jonathan menghubungi seseorang. Dia menyebutkan nomor ponsel yang mengirimi tuannya pesan sialan itu sambil marah-marah

Bersambung....

Terpopuler

Comments

yuiwnye

yuiwnye

mampus lho arash, dikuras LG kocek lho 🤪🤪

2023-07-28

0

Ica Ica

Ica Ica

nenek lampir cari masalah ma arash kena loh nenek lampir di bantai ma arash

2023-07-26

1

Megabaiq

Megabaiq

tmben ceo gk becusss....

2023-04-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!