13

Arash duduk di balik meja besar berbentuk lonjong. Bersama dengan beberapa stafnya, mereka mengadakan rapat. Wajah angkuhnya dapat membuat suasana di ruang rapat ini hening seperti kuburan.

"Krisis sudah bisa diatasi, Pak Arash," kata

seorang perempuan berumur tiga puluh limaan.

Lidya, begitu tulisan di tag namanya. Dia sempat mencuri padang pada Arash yang tepat duduk di sampingnya. Wajahnya yang putih kentara sekali bersemburat merah sekarang.

"Memang harus bisa diatasi kan, Lidya?" tanya Arash datar.

"Benar, Pak. Saya sudah mengerahkan anak buah di divisi saya agar mereka bekerja lebih keras dalam melawan krisis. Saya bersikap tegas kepada mereka yang menolak lembur. Beberapa dari mereka saya ancam dengan pemotongan gaji karena mengemukakan alasan keberatan yang tidak masuk akal."

Sok anggun, Lidya menyematkan helaian rambutnya ke belakang telinga. Bibirnya yang berlisptik tebal dengan warna merah menyala tersenyum. Senyum menggoda.

Arash bukannya tidak menyadari, dia hanya enggan menanggapi. Untuk apa? Dia punya istri yang cantik jelita di rumah. Juga, istri yang muda dan polos ada di apartemen. Kurang apa lagi?

"Bagus lah kamu melakukan apa yang memang jadi tugasmu. Saya sempat mempertimbangkan untuk memecatmu kalau sampai detik ini kamu tidak bisa melakukan apa-apa untuk perusahaan."

Skakmat. Lidya langsung terdiam, menganga. Wajahnya mendadak merah karena malu. Arash menyindirnya di hadapan orang banyak.

"Kalau kamu tidak bisa meningkatkan kinerjamu, siap-siap saja kemasi berkas dan angkat kaki dari perusahaanku. Aku tidak mau mempekerjaan orang-orang malas!"

"Ba-baik, Pak."

Arash kembali membaca berkas di atas meja. membolak-balik dengan kening berkerut.

"Apa ini?!" katanya sambil merobek berkas menjadi dua bagian.

"Siapa yang mengerjakan data seperti anak TK ini?!"

Kertas yang dirobek Arash tadi dilemparkan ke udara. Jatuh, berhamburan di mana-mana. Pendingin ruangan tidak sanggup mendinginkan kemarahan Arash.

Wajah peserta rapat sudah pucat pasi. Mereka ingin segera pergi dari ruang rapat beserta bos kejam ini. Tepat saat Arash ingin berbicara lagi, Haris muncul dari ambang pintu. Setelah meminta maaf karena mengganggu rapat, dia lalu menghampiri Arash.

"Tuan, gawat!" bisiknya.

"Apa yang gawat, Ris?" tanya Arash dengan berbisik pula.

Haris diam sejenak sambil melihat berkeliling. Para peserta rapat melihat ke arah dia dan Arash dengan tatapan rasa ingin ingin tahu yang tinggi. Haris menundukkan badan, semakin mendekatkan bibirnya ke telinga Arash agar tidak ada seorang pun yang bisa mencuri dengar.

"Kata bi Ani, Nona Hilda hilang."

Arash terbelalak. "Hilang?" Alisnya berkerut.

"Minggat. Barang-barangnya juga tidak ada lagi," sambung Haris.

BRAK!

"APA?!" Teriak Arash spontan.

Pria berbadan super tegap itu tiba-tiba berdiri. Semua peserta rapat melihatnya dengan bingung. Tak sedikit yang ketakutan melihat Arash yang semakin murka.

"Kenapa bisa sampai minggat?! Bukannya

kusuruh bi Ani menjaganya?"

"Nona Hilda keluar tengah malam, Tuan."

Arash memijit panggal hidung. "Tentu saja dia akan pergi di waktu seperti itu. Sialan! Bukannya aku menyuruh dua orang berjaga di depan pintu apartemen? Ke mana mereka waktu itu?!"

"Katanya, mereka pergi ke kafe dua puluh empat jam yang ada di samping bangunan apartemen."

"Sialan! Pecat mereka sekarang juga! Aku benar-benar bodoh sudah mempekerjakan orang-orang pemalas."

Arash berdiri. Memasang jasnya yang sejak tadi tersampir di sandaran kursi. "Kamu gantikan saya memimpin rapat, Ris."

Arash berjalan menuju pintu. Di tengah kesunyian ruang rapat, sepatunya bergema nyaring memenuhi ruangan. Para peserta rapat menahan napas karena merasa ngeri. Ditambah wajah Arash yang kesangarannya naik berlaki-kali lipat.

"Tuan, bagaimana kalau saya saja yang mencari nona Hilda?" tawar Haris.

"Tidak perlu! Perempuan itu harus kutangkap dengan tanganku sendiri. Aku akan memberinya pelajaran di mana dia lebih memilih bunuh diri dari pada menerima itu."

Arash sudah menghilang di balik tembok pembatas ruang rapat dengan ruangan lain. Berdeham nyaring, Haris berusaha membuat perhatian peserta rapat kembali fokus ke permasalahan. Meskipun masih ada beberapa orang yang meributkan sikap Arash barusan, tapi Haris bisa mengatasinya dengan memberikan jawaban yang dikarang-karang.

"Kenapa pak Arash mendadak pergi, Pak Haris?" Lidya masih dengan gaya menggodanya bertanya pada Arash..

Secara dingin, Haris berkata, "Bukan urusan Anda."

"Apakah terjadi sesuatu yang lebih penting dari masalah perusahaan?" Peserta yang lain. berspekulasi.

"Iya, ya. Biasanya pak Arash tidak akan pergi kalau tidak ada masalah pelik," sahut yang lain.

"Ini pasti tentang wanita. Kalian dengar, kan, sebelum pak Arash pergi tadi, beliau sempat mengatakan kata "perempuan". Mungkin kah istri pak Arash sedang dalam masalah?"

Puas berspekulasi, mengemukakan pendapat dan membantah pendapat teman yang lain, akhirnya mereka menatap Haris. Meminta kejelasan.

Dasar! Sebegitu ingin tahunya masalah pribadi orang lain, maki Haris dalam hati.

Dengan tampang datar Haris berkata, "Kusarankan kalian berhenti saja bekerja di Erlangga Business Group. Kalian lebih pantas menjadi pemandu acara acara gosip daripada bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang furniture ini."

Mereka langsung diam. Tidak ada yang berani menyela atau bertanya lagi. Haris adalah tangan kanan Arash, orang paling dipercaya. Kalau mereka membuat Haris tidak nyaman, bisa saja Haris melaporkannya pada Arash lalu mereka dipecat.

Setelah keadaan terkendali, Haris mulai melanjutkan rapat. Singkat saja, lalu rapat ditutup. Haris tidak bisa membiarkan Arash yang mudah emosi itu menghadapi Hilda seorang diri. Dia takut terjadi sesuatuyang tidak diinginkan. Bisa saja Arash jadi kalap lalu membunuh Hilda. Kalau sudah begitu, yang salah adalah Arash.

Haris menelepon anak buahnya. Bertanya di mana posisi Arash. Setelah mendapat jawaban, Haris segera menaiki mobil dan melaju dengan kecepatan kencang menuju lokasi.

Lima belas menit kemudian, sampailah Haris di sebuah perumahan. Kondisi rumah-rumah di sini sangat memprihatinkan. Dindingnya dari papan dan sudah banyak yang rusak karena dimakan rayap. Kaca jendela banyak yang retak, mungkin karena terkena bola dari anak-anak yang bermain. Daun pintu yang tidak bisa menutup rapat. Pencuri tidak akan kesulitan membobol rumah-rumah ini.

Perumahan ini letaknya jauh dari apartemen

Arash, tapi dekat dengan rumah Kartika. Arash lebih dulu ke rumah Kartika sebelum ke sini. Karena rumah Kartika sudah rata dengan tanah, dan tidak ada seorang pun yang tahu ke mana perempuan itu pergi, maka Arash memutuskan berkunjung ke sini.

Di sinilah tempat tinggal Mina. Teman Kartika. yang juga seorang wanita penghibur. Arash yakin Mina pasti tahu ke mana Kartika pergi. Jika dia mengetahui keberadaan Kartika, maka Hilda pasti juga ada di sana, kan. Ibu dan anak ini sulit dipisahkan meskipun dia sudah membayar miliaran.

"Tuan Arash?"

Kening Haris berkerut ketika melihat tuannya sedang duduk di trotoar pinggir jalan dengan sebilah rokok menyala. Arash tidak pernah merokok kecuali pikirannya sedang kacau. Dan, Haris sangat yakin tidak ada hal yang bisa membuat Arash stress, bahkan perusahaan sekali pun.

Lalu kenapa sekarang Arash terlihat sangat kacau? Apakah karena Hilda? Benarkah karena gadis mungil itu? Tidak mungkin.

"Tuan mulai merokok lagi?" Haris memberanikan

diri bertanya. "Apa yang membuat pikiran Tuan jadi begini?"

Arash mengembuskan napas, bersamaan dengan asap rokok yang turut berembus dari hidung dan bibirnya.

"Lima miliarku hilang, Ris. Bagaimana mungkin. aku tidak kacau? Aku belum menikmatinya masa dia sudah hilang duluan?" Arash kembali mengisap rokoknya dalam-dalam.

"Menikmati?" Kepala Haris terteleng. "Apa maksud Tuan?"

"Jangan sok polos." Arash tertawa geli. “Kamu

pasti tahu betul apa maksudku, Ris."

Anak buah Arash yang berumur tiga puluhan itu terkesiap. Kikuk, menggaruk tengkuknya.

"Jadi ... Tuan belum menidurinya? Bukannya

Tuan sangat menginginkan anak?"

“Jika aku menidurinya apakah dia akan hamil?”

Haris mengedikkan bahu. "Tuan tidak akan tahu kalau tidak mencoba."

"Aku tidak sanggup mengkhianati Karmila." Arash menerawang ke seberang jalan.

Tak lama kemudian, seorang anak buah Arash yang berkepala botak dengan tato kalajengking di leher keluar dari sebuah rumah. Menyeret scorang wanita lalu di dorong sampai bersimpuh di hadapan Arash.

"Dia orangnya, Tuan."

"Kerja bagus, Jo," kata Ernan pada pria gundul tadi.

"Tu-tuan Arash, ada apa datang ke mari?" tanya Mina. Wajahnya menggambarkan ketakutan yang kentara. Wajar, dikelilingi oleh lima orang lelaki besar berwajah sangar siapa yang tidak ngeri?

Belum lagi pria paling besar di hadapannya ini seolah siap menguliti Mina hidup-hidup.

"Di mana Kartika?" tanya Arash to the point.

"Ti-tidak tahu."

Arash langsung menjambak rambut hitam

sebahu Mina sampai kepala perempuan itu

terdongak. "Nggak usah pura-pura nggak tahu. Kamu tahu kan saya nggak suka orang yang kebanyakan basa-basi."

Mina tersedak karena kepalanya yang terdongak

menyulitkannya meneguk ludah. "Saya ... benar-benar tidak tahu, Tuan. Sumpah."

Arash semakin kuat menjambak rambut Mina ketika berkata, "Kata tetangga Kartika, kamu menemuinya tiga hari yang lalu di rumahnya.”

"Cuma membahas pekerjaan. Tidak lebih. Setelah itu saya langsung pulang."

“Saya berkata jujur, Tuan,” iba Mina.

Tenggorokannya terasa mau putus karena terus dipaksa mendongak.

"Bagaimana dengan Hilda?" tanya Arash.

Mata Mona mengecil mendengar nama Hilda. "Bu-bukannya Tuan yang bersamanya?"

"Dia hilang," jawab Arash jujur. "Dia pasti pergi

dengan Kartika."

"Ka-Kartika tidak pergi bersamanya. Dia hanya

pergi dengan pria tua yang menjadi langganannya dulu. Katanya, setelah mendapat uang dua miliar dia ingin memulai hidup baru bersama pak Martin."

"Pergi ke mana?"

"Ti-tidak. A-ku benar-benar ti-tidak tahu mereka pergi ke ma-mana. Untuk... tahu jangka panjang... ak...ku, Tuan."

Napas Mina sudah setengah-setengah. Sadar kalau lawannya sudah hampir pingsan, Arash mengempaskan tubuh kurus Mina. Perempuan itu terbatuk-batuk, dan menghirup udara dengan rakus.

Haris menghampiri Arash. "Tuan, saya baru saja dapat kabar dari anak-anak."

“Katakan," titah Arash.

"Nona Hilda baru saja berangkat dari pelabuhan Tanjung Priok."

Arash menggemeretukkan gigi. "Mau ke mana gadis mungil itu? Kalau sudah tertangkap jangan harap aku akan melepaskanmu!"

Arash berdiri sambil berkata, “Suruh anak buahmu mengawasi dan terus memberikan kabar!"

"Baik, Tuan." Haris berlalu dengan gawai yang

ditempelkan di telinga.

"Jo!" panggil Arash dengan suaranya menggelegar.

Jonathan yang menyempatkan diri merokok di ujung jalan buru-buru rokoknya sebelum mendatangi Arash.

"Ya, Tuan?"

"Kita akan menyusul Hilda sore ini."

"Perlu kusiapkan anak buah kita, Tuan?" tawar

Jonathan.

"Tidak usah. Kita hanya berhadapan dengan tikus kecil. Tidak perlu sampai membawa pasukan tempur."

Arash berjalan penuh kemenangan menuju mobilnya. Bayangannya akan membuat Hildaa meminta ampun sudah tergambar jelas. Arash bersumpah tidak akan berbelas kasihan kepada orang yang tidak tahu terima kasih semacam Hilda.

Bersambung......

Terpopuler

Comments

Katherina Ajawaila

Katherina Ajawaila

gimana mau trima kasih tuan terhormat mulut mu aja sama kaya mmnya Hilda spt comberan

2023-07-14

0

༄༅⃟𝐐Vee_hiatus☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

༄༅⃟𝐐Vee_hiatus☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

ngapain kamu cari Hilda kalau cuma mau kamu sakiti saja rash

2022-10-23

0

𝓐𝔂𝔂🖤

𝓐𝔂𝔂🖤

hilda dikasarin..dikata2in.....dihina...sakit hati lah....minggat aja sekalian...kasar banget arash🙄

2022-10-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!