16

Nisa mengeluarkan gawainya dari kantong.

Menggulir layarnya sebentar sebelum

menempelkannya di telinga.

"Halo, Kak! Kamu di mana?"

"Aku sudah di parkiran pelabuhan! Kamu di sebelah mananya?" Nisa menanggapi dengan berteriak gusar.

"Ini gue udah di parkiran, dodol! Lo niat mau

nolong nggak sih?!"

"Oh? Kamu di dekat gerbang? Bilang dong, dari tadi."

Nisa memasukkan gawainya kembali ke saku celana. "Yuk, Hil."

Hilda mengikuti langkah Nisa. Mereka sampai

di gerbang pelabuhan. Perbatasan parkiran

dengan jalan raya. Benar saja di dekat gerbang ada sebuah pikap tua. Seorang pria yang terlihat seumuran dengan Nisa dan Hilda bersandar di pintu pikap.

"Heri!" pekik Nisa. Dia menghampiri pria yang dipanggilnya Heri sambil menarik tangan Hilda.

"Nih, kenalin, ini temanku, Hilda. Hilda, ini sepupuku, Heri." Nisa masih sempat-sempatnya memperkenalkan Hilda dengan Heri di saat mendesak seperti sekarang.

"Yuk, naik. Sebelum ada yang lihat," ajak Heri.

Nisa dan Heri sudah membuka pintu pikap di sisi berlawanan. Tapi, Hilda masih bergeming di tempatnya.

"Hill? Tunggu apa lagi? Buruan!" desak Nisa.

Hilda menggigit bibir. Ragu-ragu, berjalan ke arah Nisa. Sesampai di hadapan Nisa, gadis berambut lurus itu menggeleng.

“Kamu sudah terlibat terlalu jauh, Nis. Aku nggak sanggup melibatkan kamu lebih dari ini."

"Hildaa...." Nisa menggeram. Mengepalkan kedua tangannya sebagai bentuk pengalihan rasa kesal.

"Sekarang ini yang perlu kamu pikirkan adalah

diri kamu sendiri. Aku sudah bilang itu berkali-kali. Aku siap menerima balasan dari apa yang kulakukan hari ini. Dan, aku minta kamu tetap tenang karena aku dan Heri sudah memikirkan ini matang-matang."

"Nis...." Hilda masih mengajukan keberatannya.

"Aduh! Buruan kenapa, sih!" teriak Heri dari dalam pikap. "Kami sudah senekad ini demi bantuin kamu, Hilda. Tolong jangan sia-siakan pengorbanan kami."

"Heri benar, Hil. Kami melakukan ini demi

kamu. Aku nggak mau lihat kamu ditindas lagi."

Setelah dibujuk bahkan terkesan dipaksa, Hilda akhirnya menurut. Dia duduk diapit Heri dan Nisa.

Heri melajukan pikap dengan kecepatan tinggi. Beberapa kilometer jalan yang mereka lalui hanya diselimuti keheningan. Meskipun di sisi kiri dan kanan terdapat hamparan tanaman padi yang masih hijau, tidak mampu menarik perhatian mereka

Heri yang fokus menyetir, Nisa yang sibuk memainkan gawainya, dan Hilda yang pikirannya super kalut.

"Nis, kamu yakin nggak ada yang ngikutin kalian, kan tadi?" tanya Heri, memecah keheningan.

"Sejauh penglihatanku, nggak ada sih. Aku sengaja muter-muter agar mereka kehilangan jejak," jelas Nisa.

Perempuan kurus jangkung itu menyapu keringat dingin di pelipis Hilda. "Setelah sampai ke desa, semuanya akan baik-baik aja, Hil."

"Tapi... tetap aja aku takut, Nis. Yang kita hadapi ini bukan sembarangan orang."Hilda memijit pelipis. Wajahnya semakin frustrasi saja. "Aku nggak peduli kalau nanti aku dibantai Tuan Arash. Yang kukhawatirkan itu kamu."

"Cuma Nisa aja yang kamu khawatirkan, Hil?" Nada suara Heri terdengar seperti merajuk.

"Maaf...," lirih Hilda. Dia lupa kalau ada seorang lagi yang terjerumus ke dalam masalahnya. Menyadari itu membuat Hilda semakin merasa bersalah.

Nisa terkekeh pelan melihat wajah murung teman baiknya. "Malam tadi, setelah kamu tidur, aku menghubungi Heri. Maaf, aku cerita ke dia semua tentang kamu. Bukan bermaksud apa-apa, Hil. Heri cuma ingin tahu kronologinya aja."

"Aku yang nyuruh Nisa cerita biar aku tahu duduk permasalahannya dan enak buat bikin strategi pelarian yang mencengangkan," sahut Herri bangga.

"Iya, nggak pa-pa," jawab Hilda. "Makasih sudah membantu aku sampai sejauh ini."

"Kamu tenang aja, Hil. Kamu cuma perlu memulai hidup baru di kampung halamanku. Kamu bisa tinggal bareng Heri dan nenek."

"Nggak. Nggak bisa gitu, Nis," tolak Hilda mentah-mentah. "Aku nggak bisa menerima kebaikan kalian lagi."

"Tapi kami ingin membantu kamu sampai selesai, sedikit."

"Kenapa? Kenapa kalian mau membantu aku?"

Nisa dan Heri saling lirik. Mereka mengedikkan bahu secara bersamaan.

"Kita ini sebangsa, Hil. Berasal dari golongan rendahan yang tidak diakui sebagai manusia. Aku nggak mau melihat teman baikku dihina oleh manusia yang lebih hina dari kita," kata Nisa berapi-api.

"Aku masih punya uang beberapa juta, Nis. Aku akan menyewa rumah aja saat sampai di desa kalian nanti."

"Nggak bisa!" pekik Hilda. “Heri sudah cerita tentang kamu ke nenek dan beliau senang banget saat tahu kamu akan tinggal di rumahnya. Tolong jangan kecewakan nenekku."

"Tapi, Nis...."

"Nggak terima tapi-tapian."

Tak terasa satu jam perjalanan terlewati. Dari yang semula jalannya mulus, sekarang sudah mulai tidak rata. Pikap yang mereka naiki berguncang. Hilda mati-matian menahan mual. Semakin jauh pikap masuk, jalanannya semakin mengecil.

Heri menghentikan pikap saat memasuki halaman luas yang dihiasi pohon rindang. Mereka bertiga pun turun.

"Ini rumah kepala desa. Pikapnya juga punya kepala desa," jelas Heri.

"Yuk, kita jalan kaki sekitar satu kilo dari sini," ajak Nisa. Dia membawa Hilda berjalan

mengekor Heri.

"Jalan menuju rumah nenek cuma jalan setapak. Nggak bisa dilewati mobil. Harap maklum."

"Gak papa, Nis."

Siang itu cuacanya sangat menyengat. Keringat sebesar biji delima berguguran dari pelipis tiga anak muda ini.

Hilda tidak pernah menyangka kalau berjalan satu kilometer sangat menguras tenaga. Rasanya sudah cukup jauh mereka berjaln, tapi tidak sampai-sampai juga. Di sisi jalan pun bukan. rumah orang lagi yang terlihat. Melainkan pohon-pohon liar yang menjulang tinggi dan berdaun lebat.

"Rumah nenek kalian agak terpencil gitu, ya?" tanya Hilda.

"Iya," jawab Heri sambil menyeringai.

Mereka akhirnya berhenti di satu-satunya rumah. Dindingnya sudah lapuk dimakan rayap. Tanaman rambat melilit pada setiap tiang rumah, juga merambat menutupi permukaan atap.

"I-ini rumah nenek kalian?" tanya Hilda sangsi.

Rumah di hadapannya ini tidak mungkin ditinggali manusia. Mana ada manusia tinggal di rumah terbengkalai ini.

"Ah, aku lupa memasukkan kata “almarhum”.”

Nisa menyeringai.

"A-apa?" Hilda tergidik.

"Selamat datang di rumah Nenek, Hilda Chantika." Hilda mematung dengan tubuh gemetaran hebat. "Ka-kalian ...."

Menyadari situasi sudah berubah, Hilda segera mengambil langkah seribu. Berlari tunggang langgang ke titik semula. Semak belukar memperlambat larinya. Dia beberapa kali jatuh tersungkur dan lututnya berdarah.

"To-tolong!" teriaknya sekuat tenaga.

Hilda tersungkur lagi. Dahinya membentur akar pohon yang menyembul. Sebelum sempat bangkit, Nisa dan Heri sudah berjongkok di hadapannya.

“Kamu pikir kamu bisa lari?”

Wajah di hadapan Hilda ini bukanlah wajah Nisa yang dikenalnya. Bukan wajah penuh kasih sayang, melainkan wajah penuh tipu daya.

"Kamu ... kupikir kamu teman baikku, Nis.”

Hilda menitikkan air mata kecewanya.

"Kita memang teman baik, Hil. Sebelum kamu dinikahi oleh Arash!"

Nisa menjambak rambut Hilda. Pisau kecil ditempelkannya ke leher putih-mantan-teman baiknya itu.

"Kita lahir dan tumbuh di kasta yang sama. Sama-sama dihina, dicaci maki, dikucilkan. Tapi kenapa kamu sangat beruntung!? Kamu dinikahi oleh CEO terkaya di negeri ini, bukannya bersyukur malah melarikan diri."

Nisa menekan lebih dalam pisau di kulit leher Hilda. "Aku sudah banting tulang, kerja siang malam tapi hidupku masih gini-gini aja. Sedangkan kamu, hidup kamu berubah drastis. dalam semalam."

"Apa yang mau kamu lakukan, Nis?"

"Simpel aja. Aku mau jadiin kamu sandera. Biar Arash menebusmu dengan harga yang sama seperti yang dia beli dari ibumu."

"Kalian salah sudah menjadikanku sandera. Arash tidak akan mau mengeluarkan sepeser uang pun untuk menebusku. Tidak akan mau lagi."

Nisa melepaskan jambakannya dan ...

PLAK!

"Diam kamu!" pipi Hilda ditamparnya sampai sudut bibirnya berdarah.

"Sebentar lagi dia pasti akan datang," ujar Heri dengan keyakinan yang tinggi.

"Jika dia datang, belum tentu dia akan menebusku. Bisa saja kalian yang dibantai anak buahnya karena sudah berani main-main dengan mereka."

Hilda meringis saat meneguk ludah. Rasa ludahnya aneh. Mungkin karena bercampur dengan darahnya akibat ditampar Nisa tadi. Pipinya juga terasa perih. Sayang tidak seperih hatinya.

Bayangkan, teman baik yang selalu menemani di saat apa pun ternyata membelot. Hanya karena Hilda menikah dengan Arash, Nisa jadi membencinya. Jika bisa, Hilda ingin bertukar peran dengan Nisa. Dia ingin perempuan itu merasakan bagaimana sakitnya jadi istri yang tak dianggap. Jika sudah merasa, apakah Nisa akan tetap melakukan ini.

"Bawa dia masuk, Her. Ikat kaki tangannya. Setelah itu kirimkan fotonya pada Arash," titah Nisa.

Heri mengangguk. Mencengkeram lengan Hilda, pria berkulit sawo matang itu memaksa Hilda berdiri. Mendorong punggung Hilda agar kembali ke rumah terbengkalai itu.

Hilda hanya bisa pasrah ketika tangan dan kakinya diikat dengan tali besar. Dia di dudukkan di sebuah kursi goyang tua. Di tengah-tengah rumah yang remang-remang dan berbau lembap. Sekelilingnya tampak mengerikan.

Sungguh, kondisi ini tidak pernah terbesit di kepalanya. Pikirnya dia akan mendapat kehidupan yang harmonis di desa, nyatanya malah dijadikan sandera oleh teman sendiri. Jangan harap Arash akan mengeluarkan uang Lima miliar lagi untuknya.

Hilda tersenyum pilu. Sepertinya di sinilah akhir hidupnya. Meregang nyawa di rumah terbengkalai apakah jauh lebih terhormat dari pada hidup di apartemen mewah tapi bagai neraka.

Bersambung....

Terpopuler

Comments

Ica Ica

Ica Ica

kasihan banget kamu hilda dasar nenek lampir

2023-07-26

1

Aiur Skies

Aiur Skies

ya ampun,,, ternyata oh ternyata keluar dari sarang harimau, masuk ke sarang buaya,,,, bener2 nasib jauh dari kata beruntung kamu Hil

2023-05-12

0

Aiur Skies

Aiur Skies

makanya biar temennya gak sia2 nolongin, jangan telmi dan lelet dong neng, smart dikit napa sih wkwkwkwkwk

2023-05-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!