06

Subuh-subuh Hilda sudah sibuk di dapur. Menyiapkan makanan untuk sang suami. Katanya, Arash akan mengunjunginya pagi-pagi, sebelum berangkat ke kantor. Walalupun masih sakit hati atas perlakuan Arash, Hilda tetap mencoba mengesampingkan perasaan itu dan menguburnya dalam-dalam. Biar bagaimanapun juga, sekarang Arash adalah suaminya. Sudah menjadi kewajiban Hilda melayani pria itu dengan sepenuh hati. Tanpa mengharapkan apa-apa. Toh, tidak ada yang bisa diharapkan dari Arash. Mengaharapkan sikap baik pria itu sama saja dengan mengharapkan bulan di langit menjadi dua. Mustahil!

Menu sarapan Arash hari ini adalah bubur dengan ekstra sayur. Wortel, kentang, daun bawang, serta beberapa jenis sayuran hijau lain menjadi pewarna dari putihnya bubur yang Hilda buat. Hilda mencatat baik-baik di dalam kepala tentang makanan apa saja yang disukai Arash dan makanan apa saja yang tidak disukainya. Bi Ani mengatakan kalau tuannya itu pemakan segala makanan yang diberi campuran sayur. Ah, jangan pakai garam! Masih segar dalam ingatan Hilda emosi Arash yang meledak-ledak hanya karena tidak sengaja makan garam yang kadarnya sangat sedikit.

Kali ini Hilda tidak akan mencampurkan garam seujung kuku pun di masakannya. Harapannya Arash tidak akan naik pitan lagi. Tapi ... entahlah. Sepertinya apa pun yang dilakukan Hilda tetap salah di mata pria bongsor itu.

Terbesit di kepalanya minggat dari apartemen terkutuk ini. Sayangnya, dia tidak punya nyali. Percobaan pertamanya kabur beberapa waktu lalu hanya berujung pada omelan dan caci maki Arash. Bahkan sampai sekarang lehernya masih memar gara-gara kejadian itu.

Membayangkannya membuat Hilda tergidik. Arash benar-benar mengerikan. Hilda penasaran bagaimana kehidupan rumah tangga Arash dengan Karmila. Apakah Arash akan semengerikan seperti saat bersama dengannya?

Ah, tidak mungkin! Kata bi Ani, Arash sangat menyayangi Karmila. Apa pun yang Karmila inginkan akan diturutinya. Wajar, memang. Karmila adalah wanita yang dinikahi Arash karena cinta. Berbeda dengan dirinya yang dinikahi karena terpaksa. Sampai sekarang Hilda tidak merasa dirinya adalah seorang istri. Dia tidak lain adalah wanita simpanan. Bukan juga seperti itu. Entahlah, dia sendiri pun bingung dengan statusnya.

Asyik mengaduk bubur, bel berbunyi. Hilda segera membukakan pintu. Seperti dugaannya, Arash datang bersama seorang anak buahnya, Joe. Salah satu pria yang menyeretnya keluar rumah makan tempatnya bekerja dulu.

"Selamat pagi, Tuan Arash," sapa Hilda. Sekedar basa-basi saja. Dia sangat tahu Ernan tidak akan membalas sapaannya.

"Hm."

Nah, kan. Hanya dehaman yang Hilda terima sepagi buta ini. Tapi, syukurlah dari pada mendapat bentakan atau hinaan yang menyakitkan.

"Selamat pagi, Tuan Haris." Meera beralih menyapa Haris.

"Pagi, Nona. Ngomong-ngomong jangan panggil saya tuan. Panggil Haris saja."

"Eh? Tapi Anda lebih tua dariku," bantah Hilda.

"Pangkat Nona lebih tinggi dari saya," sahut Haris tak mau kalah.

"Tinggi dari mananya sih? Aku cuma anak wanita murahan."

"Sekarang Nona adalah istri Tuan Arash. Ingat itu, Nona. Jelas pangkat kita berbeda jauh."

Hilda cemberut, tapi detik berikutnya dia tersenyum lebar. Sejujurnya dia senang. Rasanya Haris lebih luwes daripada tuannya, si Arash. Haris lebih mudah diajak bercanda. Tampang Haris juga tidaklah seseram Arash. Di mata Hilda, Haris terlihat manis dengan lesung pipi di sebelah kiri pipinya. Seharusnya kan, anak buah seorang CEO terkaya itu tampangnya lebih sangar dari CEO-nya sendiri. Tapi kenapa ini terbalik, ya. Arash adalah satu-satunya CEO yang kesangarannya melebihi kesangaran anak buahnya. Bukan main!

"Biar terasa lebih akrab, panggil saya Mas Haris saja. Saya tidak keberatan."

"Ma-mas Haris? Itu terlalu lancang?"

Haris tertawa ringan. Ah, lesung pipi itu muncul. Membuat wajah Haris berkali-kali lipat lebih ramah. Hilda sedikit terpesona melihatnya.

"Lancang? Nona ini ada-ada saja. Mulai sekarang, panggil saja saya Mas Haris, begitu."

"Tapi..."

"Sudah! Diam kalian! Mau kunikahkan saja kalian berdua?! Sepertinya kalian cocok bersama." Arash meninju tembok apartemen dengan kuat. Akibatnya, tembok itu sedikit bergetar.

"Tu-tuan Arash ...," cicit Hilda. "Tuan hanya salah paham."

"Salah paham itu hanya terjadi pada anak ingusan, Hilda." Suara Arash meninggi. "Umurku sudah mendekati setengah abad, tidak ada yang namanya salah paham lagi. Aku mengerti semuanya."

"Ma-maaf Tuan Arash. Tapi Tuan benar-benar salah paham."

"Berhenti mengatakan kalau aku salah paham!" Mata Arash melotot. Dia menunjuk Meera sambil berkata, Kamu suka dengan Haris, Hilda?!"

"Ng-ngak!" pekik Hilda.

Apa-apaan si Arash ini?! Kenapa suaminya sendiri bertanya seperti itu. Seolah Hilda telah tepergok berselingkuh dengan Haris,Arash siap menceraikannya.

"Jawab jujur! Kalau kamu suka dia, detik ini juga kita bisa bercerai. Dan kalian akan saya nikahkan!"

"Tuan Arash...." Haris mencoba angkat bicara. Belum sempat menyampaikan pembelaan, Arash sudah mengancamnya.

"Kamu diam saja, Ris, atau gaji kamu saya potong tujuh puluh persen!"

Diancam begitu membuat Haris spontan mengatup bibir rapat-rapat. Dia mundur secara perlahan sampai punggungnya membentur pagar pembatas. Berdiri di sana adalah pilihan yang sangat tepat bagi Haris. Kalau masih nekad ikut campur, bisa saja besok dia sudah jadi gelandangan.

"Maaf kalau aku sudah kelewatan, Tuan Arash," lirih Hilda.

Wajahnya sudah pucat. Dia menunduk sambil menggigit bibir. Merutuki kebodohannya. Dia sudah menghancurkan suasana hangat yang tadi sempat sedikit tercipta. Sekarang, suasana berubah menjadi hening dan dingin.

Arash hanya diam. Dia memasuki ruang tamu lebih dulu disusul Hilda setelahnya. Lalu, Haris berjalan paling belakang. Arash duduk di sofa berwarna emas. Melonggarkan dasinya dan membuka satu kancing kemejanya yang paling atas. Raut wajahnya tampak lesu. Lingkaran hitam di bawah matanya cukup kentara.

Hilda hanya berdiri beberapa langkah dari Arash. Tidak apa-apa jadi patung hidup beberapa saat daripada melakukan hal-hal yang pasti akan membuat emosi Arash mendidih lagi.

"Mana bi Ani?" tanya Arash. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran soda. Sebelah tangannya diletakkan di dahi. Dia memejamkan mata.

"Bi Ani... sakit...." Hilda sengaja mengatakan itu dengan super lirih. Takut akan mendapat letusan emosi Arash lagi.

"Sakit, ya. Wajar sih, sudah tua. Apa perlu saya ganti saja, ya, Ris?"

Haris yang sejak tadi berdiri di seberang Hilda sambil menunduk kini mengangkatnya. dia sempurna. Dia hampir tidak percaya dengan apa yang diucapkan Arash tadi.

"Mengganti bu Ani, Tuan?" ulang Haris. Dia berharap salah dengar. Haris tahu betul Arash sangat menyayangi bi Ani. Wanita berumur enam puluh lima itu sudah merawatnya sejak kecil. Bahkan, Arash lebih menyayangi bi Ani daripada keluarganya sendiri.

"Jangan salah paham, Haris. Maksudku bukan seperti yang ada dipikiranmu." Arash menatap Meera sejenak sebelum menghela napas.

"Kemari, Hilda." Arash menepuk-nepuk sisi sofa yang kosong. Tepat di sebelahnya.

Hilda tercengang. Dia berkedip berkali-kali sambil melihat tangan Arash yang masih menepuk sofa. Mimpikah ini? Arash mau duduk berdampingan dengannya? Ada angin apa?

"Buruan duduk di sini." Arash menepuk sofa keras-keras. Kalau sofa itu adalah sofa di rumah Hilda, pasti sudah ambruk.

Hilda terksesiap. Suara Arash yang dalam berhasil membuat bulu romanya menari. Dengan tergesa, Hilda duduk di sofa. Cari aman. Bagi Hilda, Arash itu adalah bom yang siap meledak hanya dengan diberi sedikit sentuhan. Sayangnya, dia belum tahu bagaimana cara menjinakkan bom tersebut.

"Bi Ani memang sudah tua. Saya sebenarnya tidak tega menyuruhnya bekerja. Tapi, hanya dia satu-satunya wanita yang bisa saya percaya untuk merawatmu, Hilda."

"Iya, Tuan. Tapi sebenarnya saya bisa menjaga diri sendiri." Hilda hanya mengangguk. Menjawab jika ditanya. Diam, mendengarkan dengan khidmat ketika Arash mengeluarkan untaian kata. Ingat, dia sedang berada bersama bom besar berjalan yang timer-nya error. Salah melangkah, habis semua jadi porak-poranda.

"Kamu mau saya carikan pembantu yang lain kah?"

Eh? Eh? Apa ini?! Hilda terbelalak. Sejak kapan Arash peduli dengan pendapatnya? Bukannya kerjaan Arash jika bersamanya hanya marah-marah saja?

"Kenapa bertanya ke aku?" Hilda menelengkan kepala.

"Karena bi Ani adalah pelayan kamu. Gimana? Kamu mau ganti pelayan? Yang lebih muda dan sehat. Takutnya, kalau ngotot membiarkan bi Ani malah kamu yang repot merawatnya nanti."

"Aku nggak pa-pa!" jawab Hilda cepat. “Bi Ani sudah kuanggap ibuku. Aku menyayanginya, Tuan. Aku bersedia merawatnya kalau dia sakit. Kebetulan aku sudah memasak bubur. Rencananya untuk Tuan dan juga bi Ani."

Sebelah alis Arash terangkat. Dia sangsi dengan kesediaan Hilda merawat bi Ani. "Kamu yakin mau merawat bi Ani?"

"Yakin. Jangan ganti pembantu, ya, Tuan.”

"Oke."

Hilda tersenyum super lebar mendengar jawaban final Arash.

"Tapi jika setelah kamu rawat kondisi bi Ani makin parah, siap-siap saja kamu saya jebloskan ke penjara."

Hah?!

Bersambung....

Terpopuler

Comments

YK

YK

pantesan makan makanan rendah garam. lha wong darting melulu...

2023-07-19

0

Katherina Ajawaila

Katherina Ajawaila

majikan. Edan, ngk beralhlak

2023-07-14

0

༄༅⃟𝐐Vee_hiatus☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

༄༅⃟𝐐Vee_hiatus☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

karung mana karung, pengen ku karungin lalu ku tenggelamkan kedalam laut

2022-10-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!