15

Sepanjang perjalanan laut menuju desa kelahiran Nisa, perasaan Hilda tidak enak. Dia merasa diikuti dan diperhatikan oleh seseorang atau beberapa orang.

Perasaannya semakin kacau ketika bertemu dengan seorang pria berbadan besar berkepala botak dengan setelah jas hitam dan celana yang juga berwarna hitam. Persis seperti anak buah Arash. Pria itu nelintas di hadapan Hilda. Bibirnya menyunggingkan seringai mengerikan. Hilda buru-buru memutus kontak mata.

"Kamu kenapa sih, Hil?" tanya Nisa. Bingung

mendapati tingkah teman baiknya yang terus menengok ke belakang. Tak jarang Nisa mendengar napas Hilda yang tersendat-sendat.

"Kayaknya ada yang ngikutin kita."

"Perasaan kamu aja kali," sankal Nisa.

"Beneran, Nis. Ada orang bersetelan hitam tadi senyumin aku. Senyumnya janggal banget."

"Kali aja dia emang mau senyumin kamu. Senyum itu kan, ibadah, Hilda." Nisa menggeleng-gelengkan kepala karena terhibur dengan kelakuan Hilda.

"Sumpah loh! Aku merasa diawasi. Nis," rengek Hilda.

Nisa pun begitu. Dia pun sebenarnya juga merasakan demikian. Merasa ada seseorang mengamati dari jauh.

Nisa maklum kalau Hilda berperasangka kejauhan tapi tidak tahu orang itu siapa. Terkadang, bulu roma Nisa meremang ketika di otaknya terbesit adegan penculikan.

Nisa sadar kalau dia dengan suka rela melibatkan diri dengan masalah Hilda dan Arash. Ini Arash loh, pria kaya yang pelit senyum. CEO yang punya anak buah bertampang dan berkelakuan bar-bar seperti preman. Tidak berlebihan kalau dibilang yakuza.

Bisa dibilang kalau Nisa cari mati. Kalau orang lain pasti akan langsung lari begitu mendengar nama Arash. Tapi dia malah masuk lebih dalam. Dia sudah membantu Hilda minggat, pergi sejauh mungkin dari suaminya. Bukankah ini namanya mencampuri urusan rumah tangga orang.

"Sudah sejauh ini ... tidak bisa mundur lagi," kata Nisa tanpa sadar.

"Kamu menyesal sudah menolongku?” tanya

Hilda dengan raut sedih.

“Aku nggak menyesal, Hil. Aku cuma takut,” jawab Nisa jujur. "Tapi aku nggak bisa biarin kamu tersiksa di samping Arash. Kamu harus memperjuangkan kebebasan yang kamu impikan."

"Maaf, Nis. Harusnya aku nggak melibatkan kamu."Tampang Hilda terlihat begitu menyesal. Demi apa dia sudah menempatkan Nisa dalam bahaya besar.

"Nggak usah merasa bersalah kayak gitu, Hil,"

ucap Nisma menenangkan. "Aku yang dengan

suka rela mau bantuin kamu. Jadi, aku sudah

siap menanggung masalahku sendiri. Aku bisa kok jaga diri."

"Tapi, ini Tuan Arash, Nis. Aku nggak bisa bayangin kalau sampai kamu dijahatin sama dia. Dia itu manusia tanpa hati."

Nisa menepuk punggung Hilda, berusaha menenangkannya. "Dia CEO, bukan mafia. Aku yakin dia nggak bakal ngapa-ngapain kita. Lagian belum tentu dia nyusul kamu ke sini, kan?"

Bukannya tenang, Hilda malah merasa semakin frsutrasi. "Aku memang bodoh banget sempat berpikiran bisa lepas dari Tuan Arash. Dia orang berkuasa, nggak ada yang nggak mungkin kalau sama dia."

"Terus? Kamu mau kembali ke dia? Dan membiarkan dia menghina kamu lagi? Kamu bisa terima ketika nggak dianggap sebagai manusia? Apakah kamu suka nggak diakui orang lain? Apakah kamu bahagia dengan itu semua? Kita punya mimpi yang sederhana. Terus kamu kamu mengubur mimpi yang sederhana itu juga? Seenggaknya realisasikan mimpi itu, Hill."

Hilda mengangguk pelan. Dari dulu impiannya hanya satu. Hidup bahagia. Tinggal di tempat di mana orang-orang bisa mengakuinya sebagai manusia, bukan anak haram. Apa lagi anak pembawa bencana.

Hilda tidak berani berekspektasi tinggi ketika Arash menikahinya. Tidak pernah memimpikan akan mendapat kasih sayang dari pria kaya itu nan kejam itu. Tapi, sekejam-kejamnya Arash, dia tetaplah manusia. Dan, sayangnya semua manusia tidak menyukai Hilda. Artinya, Arash juga tidak menyukainya.

"Hildaa, dengerin aku." Nisa meremas bahu kecil Hilda. "Semua yang kita perlukan hanya bertahan. Bertahan sebentaaar lagi. Kalau kamu bisa melewati semuanya, kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan."

"Makasih, Nis." Hilda tersenyum dengan paksa. Hanya untuk menghibur teman baiknya ini saja.

Kapal yang mereka tumpangi akhirnya berhenti di pelabuhan. Hilda dan Nisa beserta penumpang lain turun sambil membawa barang-barangnya.

Nisa menuntun Hilda menjauh dari kerumunan secepat mungkin. Tungkai yang pendek membuat Hilda kesulitan mengimbangi langkah Nisa.

"Apa yang kamu coba lakukan, Nis?" tanya Hilda di sela-sela tarikan napasnya.

Gadis kecil itu sudah ngos-ngosan parah. Napasnya jarang-jarang. Rasanya dia benar-benar seperti buronan sekarang.

"Kita harus menyelamatkan diri." Nisa masih menarik tangan Hilda.

"Dari apa? Kita nggak bisa berhenti dulu? Aku

payah banget kalau masalah lari."

"Nggak bisa. Kita jangan buang-buang waktu. Seperti yang kamu bilang tadi, kita diikuti. Aku lihat beberapa pria bersetelan hitam terus memperhatikan kita sejak berangkat sampai kita duduk di kapal tadi."

Wajah Hilda langsung pucat. Ternyata perasaannya benar. Pria yang dimaksud Nisa sudah pasti adalah anak buah Arash. Bisa jadi Arash sudah ada di sini. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk membawa Hilda kembali. Lalu menghukumnya sampai mati..

"A-aku harus apa, Nis?" Hilda bergidik takut. Hampir menangis. "Aku takut banget."

Bayangan Arash dengan mukanya yang merah padam dan cambuk di tangan sukses membuat badan Hilda gemetaran. Dia menyesali keputusannya. Harusnya dia tetap diam di apartemen. Terkurung bersama mimpi-mimpinyal yang merindukan kebebasan.

"Kamu harus menurut sama aku, ya," bujuk

Nisa.

Hilda mengangguk cepat. Hanya ini yang bisa dia lakukan. Sudah kepalang tanggung untuk menyerah sekarang. Lebih baik terus berusaha melarikan diri, dan berharap Tuhan berpihak padanya sekali lagi.

Nisa membawa Hilda keluar dari pelabuhan. Hilda terus menoleh ke belakang untuk melihat apakah anak buah berhasil mengejar mereka atau tidak. Dia bisa bernapas lega karena para pria berbadan tegap dengan setelan hitam itu tidak terlihat batang hidungnya.

"Nis, harusnya kamu nggak menolongku sampai sejauh ini."

Hilda sungguh ngeri membayangkan nasib Nisa jika nanti dia sampai jatuh ke tangan Arash.

"Kamu tenang aja. Aku sudah siap dengan semua konsekuensinya."

"Nis." Hilda berhenti dan melepas paksa tangan Nisa. "Aku nggak mau melibatkan kamu lebih jauh lagi. Ini masalahku, Nis. Aku akan merasa sangat berdosa kalau sampai kamu nanti diapa-apain oleh Tuan Arash."

Nisa menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Nggak pa-pa, Hilda. Aku akan baik-baik aja. Sekarang fokus ke kamu dulu, ya. Yuk, buruan! Aku sudah meminta sepupuku untuk menjemput kita pakai pikap. Tugas kita sekarang adalah mencari pikap itu!"

Nisa kembali menarik tangan Hilda. Membawanya ke tempat parkiran yang penuh. dengan mobil dan kendaraan. Mereka seperti diburu waktu mencari keberadaan pikap. Ketika menemukannya dari kejauhan, mereka langsung menghampiri pikap itu.

"Sialan! Bukan yang ini!" umpat Nisa ketika tahu pikap di depan mereka bukanlah pikap yang dimaksud.

"Aduh! Di mana sih!" Nisa menendang roda pikap karena saking frustrasinya.

Mereka kembali meneruskan pencarian. Pikap yang ada di parkiran pelabuhan ini lumayan banyak. Jika mencari satu-satu, menghampiri pikap satu ke pikap lain akan memakan banyak waktu.

"Sialan! Sialan!" umpat Nisma berkali-kali.

Di kejauhan dia melihat tiga pria dengan setelan hitam berlari keluar dari pelabuhan.

"Nunduk, Hill!" Nisa berjongkok lebih dulu sebelum menarik tangan Hilda agar perempuan itu menuruti perbuatannya.

"Kita ketahuan?"

Nisa menggeleng. "Belum! Semoga aja nggak."

Setelah di rasa aman, mereka berdua kembali melanjutkan pencarian pikap.

Bersambung....

Terpopuler

Comments

Ica Ica

Ica Ica

jngan menyerah hilda

2023-07-26

1

Lutfi Adi

Lutfi Adi

aaaah aku ikut deg deg an.kampret

2023-07-25

0

YK

YK

tolong, Thor. banyak banget ini typonya. fatal lho...

2023-07-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!