07

Hilda, Arash, Haris, dan bi Ani duduk di meja makan. Inilah pertama kalinya Hilda merasa seperti punya keluarga. Bi Ani sebagai ibunya dan Haris sebagai kakaknya. Jangan lupa Arash, si manusia dingin sebagai suaminya. Meskipun bukan keluarga asli tapi Hilda benar-benar merasa bahagia. Salah satu hal yang hanya bisa dia mimpikan terwujud begitu saja.

Arash duduk berhadapan dengan Hilda. Haris berhadapan dengan bi Ani. Mereka makan dalam suasana khidmat. Tenang. Hilda bisa bernapas lega sejenak karena sepertinya Arash agak jinak. Mungkin karena pria itu kelelahan. Wajar saja, CEO mana yang tidak lelah dalam mengurusi bisnisnya. Apalagi, bisnis Arash sangat pesat. Cabangnya bukan hanya di kota-kota besar di Indonesia, tapi sudah merambat ke berbagai negara di penjuru dunia.

"Bubur buatan Nona Hilda enak sekali." Bi Ani tersenyum bangga ke arah Hilda.

"Enak apanya?! Hambar! Nggak ada asin-asinnya! Kamu masaknya nggak pakai garam?!"

"Nggak, Tuan," jawab Hilda sambil cengengesan.

"Kok ketawa?" Alis Arash mengerut, bingung.

"Ng-nggak ketawa."

"Nggak merasa bersalah?"

Hilda memiringkan kepala. "Maaf Tuan Arash. Tapi saya masih ingat kalau Tuan Arash nggak bisa makan pakai garam," ucap Hilda membela diri. Dia benar, kan? Arash pernah bilang kalau dia tidak bisa makan makanan yang dimasukkan garam. Lalu ketika keinginannya dituruti kenapa jadi marah-marah juga?! Arash ini tidak ubahnya seperti orang lanjut usia yang emosinya sangat labil.

"Membuat saya kekurangan yodium. Saya sakit gondok emangnya kamu mau tanggung jawab?" Arash membanting sendok ke meja. "Garam itu penting, Hilda."

Hilda menarik napas dan mengeluarkannya lewat mulut berkali-kali. Ya, bom meledak lagi. Pemantiknya adalah hal kecil saja. Garam. Kalau kemarin Arash marah karena masakannya pakai garam, sekarang Arash marah karena masakannya tidak pakai garam. Pria itu maunya apa? Hilda jadi frustrasi sendiri.

Arash tiba-tiba berdiri. Sambil membawa mangkuk berisi bubur yang baru dimakan sesendok, dia berjalan menuju wastafel. Di depan mata Hilda, pria itu membuang bubur buatannya. Meludah beberapa kali lalu berkumur-kumur.

Hilda meremas kuat ujung bajunya di balik meja makan. Sesakit ini ya rasanya tidak dihargai. Masakannya diperlakukan seperti sampah di hadapan orang yang membuatnya langsung. Manusia mana yang tidak tersinggung? Gadis itu sungguh ingin sekali memarahi Arash. Meluapkan segala rasa yang berserakan memenuhi rongga dada.

"Ris, sisa bubur di panci itu nanti dibuang, ya," kata Arash. Dia berlalu dari meja makan tanpa melirik ke arah Hilda. Padahal, Hilda ingin sekali memperlihatkan pada Arash kalau dia terluka oleh sikap pria itu.

"Buang. Jangan sampai ada sisa. Sampah begitu nggak pantas disimpan lama-lama."

"Baik, Tuan." Haris mengangguk patuh. Tapi dia dan bi Ani tetap menyendok bubur dan memasukkan ke dalam mulut.

"Saya mau istirahat dulu. Jangan ganggu."

Arash melirik Hilda yang tertunduk. Dia melihat jelas bahu Hilda yang bergetar halus dan sesekali tangan mungil itu menyusut mata. Seringaian tercetak di bibir Arash seolah melihat Hilda menangis adalah kepuasan tersendiri untuknya. "Kalau kamu mau memenangkan hati saya dengan cara membuatkan saya bubur, kamu berharap terlalu tinggi, Hilda. Nggak akan ada yang berubah walaupun kamu mengorbankan nyawamu untuk saya."

BAM!

Pintu kamar tertutup. Terdengar suara kunci diputar. Lalu hening. Tiga orang di meja makan diliputi perasaan tidak nyaman.

"Buburnya sangat enak, Nona." Haris mencoba mencairkan suasana dan menghibur Hilda.

"Iya. Teksturnya lembut," bi Ani menimpali.

Haris dan bi Ani makan dengan lahap. Mereka saling lempar argumen, memuji masakan Hilda.

Sayangnya Hilda sudah kehilangan selera makannya. Dia hanya mematung menatap bubur buatannya yang masih banyak di dalam mangkuk. Gadis itu akhirnya mendongak. Matanya pasti merah karena menangis dalam diam tadi. Dia menghapus jejak air mata yang tersisa di pipi dengan cepat lalu tersenyum manis ke arah Haris dan bi Ani.

Akhir-akhir ini kemampuan aktingnya meningkat drastis. Berakting seolah semuanya baik-baik saja sudah menjadi pekerjaan yang mudah. Mata disipitkan. Dua sudut bibir ditarik ke atas membentuk lengkungan. Topeng yang sempurna untuk memberitahu dunia bahwa dia baik-baik saja.

"Kalau nggak enak, buang aja Tuan Haris, Bi Ani," kata Hilda dengan murung.

Hilda menyendok bubur dan memasukkannya ke dalam mulut dengan ogah-ogahan. Selera makannya sudah hilang. Bubur yang hambar berubah menjadi pahit.

"Ini enak, kok," sahut keduanya hampir bersamaan.

“Aku tahu kalian cuma mau menghibur. Terima kasih. Tapi aku akan lebih suka kalian membuang buburnya daripada menghabiskannya.” Hilda berdiri. Dengan membawa mangkuk dia berjalan menuju wastafel. Melakukan apa yang Arash lakukan pada buburnya. Membuangnya, tanpa sisa. Setelah selesai mencuci mangkuk, Hilda berjalan gontai menuju ruang tamu. Dia duduk di sana sambil melamun. Sesekali menyusut mata dan hidung.

Benar-benar tidak ada harapan. Usaha Hilda untuk menjadi istri yang baik sepertinya tidak bisa diteruskan. Cukup sampai hari ini saja Hilda membuatkan masakan untuk Arash, ke depannya dia tidak mau peduli lagi apa yang Arash makan ketika mampir ke sini.

Hilda akhirnya benar-benar sendiri. Haris sudah pergi karena ada urusan kantor dan bi Ani kembali beristirahat di kamar. Kesepian adalah hal yang paling menyiksa Hilda. Hidupnya di sini memang lebih dari cukup. Makan terjamin. Tanpa perlu usaha banting tulang mencari uang untuk membeli makanan. Tempat tidurnya sangat nyaman. Empuk, tebal dan lembut. Berbeda dengan kasur di rumahnya. Kasur tua yang keras, tipis, dan mampu membuat badan pegal-pegal ketika bangun pagi.

Lamunan Hilda buyar ketika gawai canggih di atas meja tamu berbunyi. Gawai itu tepat berada di hadapannya. Milik Arash. Ada sebuah panggilan masuk. Hilda meraih benda berbingkai biru itu. Tulisan Istriku Tersayang muncul di layarnya. Rupanya Karmila yang menelepon Arash. Buru-buru Hilda meletakkan kembali gawai itu ke atas meja. Untung saja dia tidak spontan mengangkat telepon itu tadi. Apa yang akan terjadi pada rumah tangga Arash dan Karmila jika istri pertama Arash itu tahu kalau suaminya sedang bersama wanita lain.

Gawai Arash berhenti berdering. Hilda merasa tenang, setidaknya dia tidak perlu mengganggu waktu istirahat Arash. Sayangnya ketenangan itu hanya sementara. Gawai itu kembali berdering. Pemanggilnya masih sama, Karmila. Hilda gigit jari. Menghadapi situasi seperti ini membuatnya bimbang. Kalau bukan Arash, Hilda pasti sudah mengetuk pintu kamar dan memberitahu ada yang menelepon. Tapi ini Arash. Bom berjalan yang siap meledak tanpa kenal waktu dan keadaan.

"Nyonya Karmila ... tolong jangan buat aku menjadi gugup begini dong...." Hilda benar-benar dilema. Dia takut Karmila menelepon karena ada hal yang sangat penting sehingga tidak bisa ditunda, sedangkan dia tidak berani membangunkan Arash.

Tapi kalau dipikir-pikir, apa pun yang Hilda lakukan akan selalu salah di mata Arash. Ya sudahlah!

Hilda beranjak menuju kamar Arash. Mengetuk pintu berkali-kali. Awalnya ketukan ringan. Seperti orang ogah-ogahan. Lalu semakin kencang karena sepertinya Arash tidak akan bangun kalau tidak digedor pintunya.

"Tuan Arash! Ada telepon dari istri Tuan!" kata Hilda sambil menggedor pintu kamar.

Tak lama pintu terbuka. Wajah bangun tidur Arash terpampang di sana. Matanya agak bengkak dan memerah. Mungkin akibat tidak tidur dan kelelahan akut.

"Apa Hilda?" Arash menggeram. Tak ubahnya seperti singa jantan yang menggeram karena berhadapan dengan musuhnya. "Kamu ganggu tidur saya tahu, nggak!"

"I-itu telepon Tuan berdering....

"Ya cukup jangan diangkat aja! Nggak usah sampai bangunin saya! Saya nggak tidur tiga hari tiga malam karena perusahaan saya lagi nggak stabil. Kamu mana ngerti yang beginian, ya. Udah sana!"

Arash bersiap menutup pintu, untungnya Hilda berhasil mengadangnya.

"Telepon dari Nyonya Karmila."

Mata Arash membelalak sempurna. Spontan tangannya membuka pintu kamar lebar-lebar sebelum berlari menuju gawainya yang masih berbunyi entah sudah keberapa kali.

"Ha-halo, Sayang," sapa Arash ketika gawainya sudah ditempelkan di telinga. Sapaan Arash terdengar lembut dan penuh kasih sayang di telinga Hilda. Membuatnya tersenyum getir. Kelakuan Arash berbeda tiga ratus enam puluh derajat ketika bicara dengannya.

"Maaf ya, tadi lama angkat telepon karena lagi rapat." Arash melemparkan tatapan membunuh pada Hilda ketika mengatakannya.

Hilda hanya menunduk. Dirinya adalah sasaran empuk Arash ketika ingin melampiaskan amarah. Kecil, ringkih, tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak berguna. Kombinasi yang sempurna.

Gadis malang itu masih berdiri di depan pintu kamar ketika pembicaraan Arash dengan Karmila berakhir.

"Kenapa kamu baru bilang kalau Karmila nelepon saya?!"

"Aku ... nggak mau ganggu tidur Tuan.”

"Otak kamu dipake dong. Sudah tahu istri saya yang nelepon masa tetap nggak ngasih tahu saya lebih awal?!" Arash berdiri di hadapan Hilda. Sebelah tangannya meremas bahu Hilda sampai gadis itu meringis.

"Ma-maaf Tuan."

Arash menghela napas sambil melepaskan remasannya di bahu Hilda. “Bi Ani kayaknya jauh lebih berguna daripada kamu."

...Bersambung........

Terpopuler

Comments

Katherina Ajawaila

Katherina Ajawaila

rasa2 pengen lakban mulut Arsh

2023-07-14

0

Carlina Carlina

Carlina Carlina

arash ada kelainan jiwa kali yaaa🤔🤔😡😡😡😡

2023-07-07

0

Rita Mahyuni

Rita Mahyuni

arash suami labil gada yg benar serba salah...kabur aja lg hilda klw ga berhasil terjun bebas aja drpd hidup tertekan...

2023-07-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!