20. Gemas

Mobil pun sekarang tiba didepan rumah.

Kami semua bergiliran keluar dari dalam mobil.

Tampak Kakak sudah menunggu didepan rumah, setelah mendengar mobil parkir didepan rumah kami.

Tiba-tiba senyum kakak berubah jadi tanda tanya.

Kakak bingung melihat ekspresi kami bertiga, yang turun dari mobil dengan muka yang murung.

"Apa yang terjadi? Tanya kakak kebingungan dengan ekspresi kami semua.

"Hmmm..." Ibu hanya menarik nafas panjang karena emosinya belum terlalu turun.

Aku hanya mengkode kakak, untuk tidak bertanya lagi karena keadaan yang belum begitu kondusif.

"Ada apa?" Kakak berbicara sedikit berbisik ke telingaku.

"Nanti aku ceritakan," ujarku menjawab kakak yang begitu penasaran.

Ibu pun langsung duduk di sofa ditemani Om Candra.

Aku pun langsung berjalan masuk kedalam diikuti kakak yang berada dibelakangku.

"Kak, lebih baik kakak buatkan minuman yang segar-segar untuk Ibu dan Om Candra," ucapku meminta kakak, agar minuman itu bisa mendinginkan kepala Ibu dan Om Candra yang sedang memanas.

Kakak hanya menurut mendengar ucapanku barusan.

Tidak menunggu lama, dia pun membuatkan minuman dingin untuk mereka.

"Pasti ada yang tidak beres ini!" seru kakak sembari membuatkan minuman.

"Nanti aku introgasi Yuna," ucap kakak yang tidak sabar mendengarkan penjelasan ku.

Setelah selesai, kakak pun segera mengantarkan minuman, begitu juga cemilan untuk dihidangkan pada Ibu dan Om Candra.

"Ini Om, Bu. Diminum dulu," ucap kakak sambil meletakkan gelas dan beberapa toples ke atas meja.

"Makasih ya sayang."

"Oiya, cucuku mana? Kok tidak kelihatan?" Ibu mencari-cari keberadaan cucu tersayangnya yang sedari tadi tidak terlihat.

"Ada dikamar, Bu. Baru saja dia tertidur setelah aku suapin makan tadi," jawab kakak menjelaskan.

"Oiya Nak. Padahal Ibu kangen sekali ingin bermain sama Cucu ku," ucap Ibu mencoba mencari hiburan melalui cucu kesayangannya.

Tapi ternyata tidak berhasil, karena Arka ternyata sedang tertidur.

"Iya, Bu. Diminum dulu Bu, Om, biar segar karena cuaca sedang panas sekali," ucap kakak yang seketika dijawab Ibu.

"Benar , Nak. Hati dan Jiwa Ibu ikutan panas juga seperti cuacanya," ucap Ibu hingga membuatku semakin bertanya-tanya.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi? ucap kakak dalam benaknya.

"Kalau gitu aku tinggal kebelakang ya, Bu."

"Om aku tinggal dulu ya," pamit kakak pada keduanya.

Setelah mengantar nampan kedapur, segera kakak menyusulku kekamar.

"Dek, apa yang terjadi?" ucap kakak setibanya dikamar, membuat ku sedikit melompat karena terkejut.

"Astaga kakak! Ya coba diketok dulu kalau mau masuk, aku benar-benar terkejut."

"Bisa lepas juga jantungku kamu buat begini," ucapku melebih-lebihkan.

"Sory, dek. Aku begitu semangatnya sampai lupa jika bisa mengejutkanmu," ucap kakak merasa bersalah.

"Iya gak apa-apa kok. Aku hanya bercanda," ucapku padanya sembari mengulas senyum tanda berhasil mengerjai kakakku.

"Hmm.. Dasar. Aku benaran sudah panik, takut jantungmu keluar dari tempatnya," balas kakak bercanda padaku.

"Aduh sampai lupa kan aku, tadi mau nanya apa ya?" ucap kakak sambil berpikir.

"Hmm.. Oiya. Apa yang terjadi sama Ibu dan Om Candra, dek?"

"Mereka bertengkar?" tanya kakak penuh keseriusan.

"Bukan kak. Tapi Ayah!" ucapku yang kini kembali geram teringat perkataan Ayah saat menelpon tadi.

"Iya, kenapa dengan Ayah?" lanjut kakak semakin penasaran.

"Tadi Ayah menelpon Ibu. Katanya sudah menerima surat untuk sidang perceraian mereka."

"Lalu?"

"Kamu tau, apa yang Ayah bilang tadi?"

"Dia bilang akan datang ke persidangan, dan minta mediasi agar Ayah dan Ibu kembali rujuk!"

"Ayah sungguh keterlaluan kan?" ucapku sambil menekan kedua jemariku.

"Astaga Ayah. Bisa-bisanya dia berucap seperti itu!"

"Seperti sudah tidak ada malunya, seenaknya sekali mengeluarkan ucapan konyol seperti itu dengan Ibu."

"Dia anggap Ibu, apa? Seenaknya pergi dan datang sesuka hati!" ucap kakak bertubi-tubi tanpa henti karena terbakar amarah atas ucapan Ayah.

"Benar kak."

"Ayah memang tidak ada wibawanya lagi."

"Aku semakin membenci Ayah, dengan sikapnya yang membuatku sangat malu."

"Tadi sewaktu Ayah berbicara melalui telpon, semuanya pembiacaraan Ayah disaksikan Om Candra sendiri tadi!" ucapku membeberkan kejadian dimobil barusan.

"Apa?"

"Om Candra mendengar semuanya?" tanya kakak kaget mendengar ucapanku.

"Iya kak. Aku sungguh malu punya Ayah dengan sikap dan sifat seperti itu."

"Tidak gentle sekali!"

"Hobbinya cuma menyakiti hati perempuan saja, terutama Ibu," ucap ku semakin geram menceritakan perlakuan Ayah barusan.

"Iya dek. Kakak sampai tidak habis pikir, seburuk itu sifat Ayah."

"Semua ini pasti karena mendengar kabar Ibu, yang akan segera menikah."

"Ayah pasti tidak rela, jika Ibu mendapat lelaki hebat seperti Om Candra!" ucap kaka serius membahas alasan Ayah melakukan ini.

Karena sebulumnya, aku dan kakak sudah mengetahui jika Ayah berniat ingin menghalangi pernikahan Ibu.

Masih hangat diingatan kami berdua, saat Ayah begitu mempersulit, untuk tanda tangan permohonan perceraian mereka waktu itu.

"Kak.. Aku punya ide!" ucapku pada kakak, hingga membuatnya berhenti berpikir lebih jauh tentang kejadian sebelumnya.

"Ide apa dek?" tanya kakak penasaran.

"Kita harus halangi Ayah untuk hadir ke persidangan," ucapku serius sambil menatap tajam mata kakak.

"Aku setuju."

"Apa kita obrak abrik saja rumah Ayah?" tanya kakak yang sedang mengeluarkan jiwa premannya.

"Obrak abrik gimana?" ucapku bingung.

"Kita kacaukan saja rumahnya. Aku begitu kesal melihat tingkah mereka!" kakak berucap penuh kekesalan.

Terlihat dari tatapannya yang penuh amarah dan benci terhadap Ayah.

"Aku berencana ingin mengompori Eva saja kak!" ujarku berusaha menyusun rencana.

"Eva pasti tidak akan membiarkan, jika Ayah dan Ibu rujuk kembali."

"Pasti dia merasa seperti sampah setelah itu terjadi!" aku yang begitu serius berucap dengan suara lantang hingga membangunkan Arka dari tidurnya.

"Ueekkkk.. eukkkkk.." Arka menangis kencang karena terkejut dengan ucapanku yang begitu bersemangat menyusun ide yang cerdik.

"Cuppp.. Cuppp.." kakak segera bangkit dan menepuk punggung Anaknya perlahan.

"Kamu sih terlalu bersemangat bicaranya."

"Arka kan jadi bangun!" ucap kakak khawatir jika Arka benar-benar bangun, maka mereka tidak bisa melanjutkan pembicaraan untuk menyusun rencana.

"Iya.. Iyaa.. Maaf kak. Aku terlalu serius," ucapku sambil tertawa kecil dan menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Husttttt....! Bentar, kamu diam dulu ya."

"Biar Arka nyenyak lagi, terus kita lanjut bicaranya," ujar kakak sambil memberi kode tangan dimulutnya untuk tidak berisik.

"Oke!" aku pun mengacungkan jempol dan menunggu kakak sampai selesai menidurkan Arka anaknya.

*

*

*

Beberapa saat kemudian, Arka pun kembali tidur dengan nyenyaknya.

"Lanjut dek. Apa tadi kelanjutan rencana kamu!" ucap kakak segera melanjutkan pembicaraan yang tertunda setelah Arka tertidur.

"Kita hubungi Eva untuk bertemu, dan mengadukan semua ucapan ayah tadi."

"Sambil diberi bumbu-bumbu sedikit, agar dia semakin khawatir kehilangan Ayah, dan akhirnya menghentikan niat Ayah terhadap Ibu!" ucapku menjelaskan pada kakak.

"Aduh..! aku tidak sabar lagi merealisasikan rencana kita."

"Membayangkannya saja, membuat aku Gemas dengan tingkah Ayah," ucap kakak yang kini memasang tangan seperti sedang mengulak sambal.

"Kita cari tau tanggal sidangnya dek, biar tidak terlambat," lanjut ucap kakak padaku.

"Oke kak. Tunggu hati Ibu mereda, nanti pelan-pelan aku tanya Ibu," ucapku meyakinkan kakak.

...----------------...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!