19. Undangan

Kami pun akhirnya pergi dari pertemuan itu.

Mobil Om Candra pun melaju dengan kecepatan sedang.

Keadaan hening didalam mobil, seketika membuatku ingin berbicara untuk menghibur.

"Sudalah, Bu. Tidak usah terlalu dipikirkan, karena semuanya akan segera berlalu," ucapku mencoba menenangkan Ibu.

"Iya, Nak. Ibu juga berharap semuanya cepat selesai, agar tidak menjadi beban Ibu lagi," jelas Ibu padaku.

"Amin, Bu. Semoga semuanya dilancarkan," tuturku pada Ibu dan di aminkan oleh Ibu dan Om Candra.

*

*

*

Ditempat lain, dirumah Ayah dan Eva. Mereka baru saja didatangi seorang kurir yang membawa sebuah surat dari pengadilan.

Eva yang menerima surat itu, seketika berucap:

"Pasti ini sidang perceraian mereka," ucapnya setelah membaca tulisan didepan surat itu.

"Aku sebenarnya sangat senang, kalau mereka akhirnya bercerai karena dari dulu itulah yang kami inginkan."

"Tapi aku seperti tidak rela, jika Kak Maya mendapatkan pria yang lebih tampan dan kaya raya seperti calonnya sekarang," ucapnya merasa tersaingi.

Memang benar, ternyata Eva mengambil Ayah hanya karena uang.

Uang membutakannya, sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang dia inginkam.

Padahal yang aku tau setelah Ayah memilih Eva, kehidupan dan rejeki yang Ayah dapatkan, sangat jauh lebih sedikit dari yang pernah didapatkan selama menikah dengan Ibu.

Mungkin itulah roda kehidupan.

Eva yang sedari awal, sangat berharap menjadi kaya setelah merebut Ayah. Tapi kenyataannya tidak seperti yang diharapkan.

"Kenapa aku jadi sakit hati jika memikirkannya!" ucap Eva lagi sambil meremas surat dari pengadilan itu.

Ayah yang baru saja keluar dari kamar pun bertanya :

"Siapa yang datang barusan?" tanya Ayah pada Eva.

"Ini.. Tadi kurir memberikan surat ini!" ucapnya sambil menunjukkan surat yang dia dapatkan tadi.

"Surat dari pengadilan?" tutur Ayah.

Tiba-tiba saja perasaan Ayah pun menjadi tidak enak setelah menerima surat itu.

Padahal sejak awal, meninggalkan Ibu adalah pilihan Ayah yang tidak bisa diganggu gugat.

Terbukti sudah 7 tahun lamanya, Ayah pergi meninggalkan Ibu.

Tapi mengapa setelah mendapat surat untuk sidang perceraian, Ayah seperti tidak terima begitu saja?

Ingat, itu bukan karena Ayah tidak mau bercerai dari Ibu.

Lagi- lagi semua hanya karena rasa iri Ayah terhadap Ibu, karena mendapatkan pria tampan dan kaya raya seperti Om Candra.

Niat hati Ayah seperti ingin sekali mengacaukan pernikahannya.

"Aku harus datang ke persidangannya," ucap Ayah pada Eva.

"Untuk apa kamu datang? Bukankah lebih baik jika tidak datang, agar semuanya cepat selesai?" Eva pun bertanya penuh kecurigaan.

Eva sudah berpikiran, jika Ayah tiba-tiba ingin mediasi sama Ibu.

Eva hanya ingin pernikahan Ibu berantakan, tapi bukan dengan cara Ayah mediasi dan berujung rujuk sama Ibu.

Jika seperti itu kejadiannya, Eva lah yang dirugikan karena harus ditinggal Ayah kembali hidup bersama Ibu lagi.

"Aku tetap akan pergi," ucap Ayah sambil mencari handphone berencana menghubungi Ibu.

"Kamu mau kemana?" tanya Eva lagi pada Ayah dengan wajah serius, karena Ayah seperti berubah sesaat dia membaca surat dari pengadilan tadi.

"Handphone ku mana ya?" tanya Ayah pada Eva.

"Aku tidak tau," ucapnya sembari menyembunyikan Handphone Ayah dikantongnya.

Karena Eva tau, Ayah akan menghubungi siapa.

Dan tentunya Eva tidak rela jika Ayah melakukan itu.

Sampai beberapa saat, Ayah masih saja sibuk mencari posisi dia meletakkan handphonenya tadi di meja, tapi dia tidak menemukannya.

Tidak lama terdengarlah suara handphone Ayah, yang berada dikantong celana Eva.

"Loh, itu suara Handphone ku!" seru Ayah padanya.

Eva pun lalu mengeluarkan dari kantongnya, karena tidak bisa mengelak lagi dengan tuduhan Ayah.

Segera Ayah mengambil handphone itu, dan berusaha mencari nomor handphone Ibu.

"Tuuttt... Tuuutttt...." suara sambungan telpon Ayah yang tidak kunjung diangkat Ibu.

*

*

*

Dikeadaan lain, Ibu yang melihat layar Handphonenya, menampilkan nama Ayah yang sedang mencoba menelpon Ibu.

Ibu yang khawatir, lalu meminta saran dari Om Candra.

Kebetulan saat Ayah menelpon Ibu, kami masih berada dimobil yang sama karen masih dalam perjalanan pulang.

"Mas.. Ini dia menelpon. Pasti dia sudah terima suratnya."

"Tapi ada apa lagi dia menghubungi aku?" ucap Ibu cemas.

"Angkat saja, May. Barangkali ada hal yang perlu disampaikan," ucap Om Candra mencoba berpikir positif.

Kedua kalinya Ayah menelpon Ibu, tapi tidak kunjung diangkat pula.

Setelah ketiga kalinya, akhirnya:

"Iya ada apa?" tanya Ibu seketika mengangkat telpon dari Ayah dengan menggunakan loudspeaker, agar Om Candra pun mendengarkan, takut terjadi salah paham.

"Ini aku sudah dapat suratnya," ucap Ayah dari seberang sana.

"Iya, terus?" tanya Ibu lagi dengan singkat.

"Iya aku akan datang ke persidangan itu," ucap Ayah santai. Membuat jantung Ibu berdegup kencang.

"Kamu tidak perlu datang, agar semuanya berjalan lancar!" seru Ibu pada Ayah agar dia membatalkan niat tersebut.

"Aku tetap akan datang!" ucap Ayah pula dari seberang sana dengan nada tegas.

"Untuk apa?"

"Kamu mau mediasi!" tebak Ibu asal, karena Ibu berpikir itu tidak mungkin Ayah lakukan.

Meskipun mediasi tetap akan terjadi jika Ayah hadir, tapi pasti rujuk bukan tujuan Ayah.

Itulah yang Ibu pikirkan sekarang.

Tapi ternyata, Ayah benar-benar ingin mediasi dengan Ibu dengan maksud ingin rujuk kembali.

"Iya, benar. Aku ingin kita ada mediasi dan bisa rujuk kembali," ucap Ayah serius sehingga membuat emosi Ibu sungguh memuncak.

"Apa kamu bilang? Rujuk?"

"Kamu gila ya?" Emosi Ibu pun kini tengah berada dipuncaknya.

Om Candra yang mendengar perkataan Ayah, kini merespon dengan ekspresi wajah kebingungan.

Mungkin dalam hati Om Candra berkata: Ada apa ini sebenarnya? Apa Heri sudah gila? Mungkin itu yang sekarang sedang terlintas dibenak Om Candra.

"Benar. Aku ingin kita kembali lagi," ucap Ayah yakin.

"Tidak mungkin. Aku tidak sudi!" ucap Ibu lalu menutup telpon Ayah untuk mengakhiri pembicaraan konyol itu.

"Dasar laki-laki tidak tau diri!" ucap Ibu sambil memegang tengkuknya yang kini mulai meremang.

"Kamu yang sabar ya, May. Aku akan coba urus semuanya," ucap Om Candra meyakinkan.

"Apa-apaan sih Ayah. Semudah itu berucap mau rujuk, setelah 7 tahun pergi seenaknya," aku pun kini mulai emosi.

"Bagaimana kalau kita halangi saja Ayah, untuk tidak bisa hadir pada persidangan itu Om?" ajakku pada Om Candra untuk menghentikan perbuatan Ayah.

"Ide kamu bagus juga. Tapi Om belum terpikirkan bagaimana caranya, Nak?" kembali Om Candra melempar pertanyaan.

"Tenang aja Om. Nanti aku dan kakak yang menyerang Ayah kerumahnya."

"Agar Ayah tau, dimana posisi yang benar untuknya, setelah selama ini mencampakkan Ibu sebegitu kejamnya!" ucapku yang begitu geram dengan perkataan Ayah tadi.

"Aku sampai tidak habis pikir, begitu giatnya Heri mencoba ingin mengambil semua kebahagiaanku sekarang!" ucap Ibu yang dipenuhi kemarahan dan kini meneteskan air mata kehancuran.

Lagi-lagi, Aku dibuat tidak mengerti.

Apa sebenarnya isi kepala Ayah!

...----------------...

Hallo.. Semuanya🤗

Bagaimana menurut kalian dengan karakter si Ayah?

Gemas sekali bukan??😊

Semoga suka dengan ceritanya yaa🙏🙏

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!