14. Terharu

"Yah.." kakak sedikit berteriak, membuat Ayah tersadar dari lamunannya.

"Kenapa malah diam?" Ayah langsung melihat kearah kami berdua.

"Ayah mau Ibumu yang datang kesini, karena ada yang perlu Ayah bicarakan," ucap Ayah lagi dan lagi dengan alasan yang sama.

"Mau sampai kapan Ayah begini?"

"Ayah jangan terlalu banyak alasan, hanya akan mempersulit kami."

"Aku bahkan kemaren mendengar Ibu menelpon Ayah untuk bertemu langsung, tapi Ayah menolak kan..!"

"Kenapa sekarang tiba-tiba ingin bertemu Ibu ?"

"Sudah cukup Ayah."

"Aku hanya ingin Ayah tanda tangan dikertas ini, dan semua masalah kita beres," ucap kakak sambil menyodorkan kertas untuk persetujuan perceraian mereka.

Ayah menatap kakak dan aku dengan wajah murung.

Aku sebenarnya sangat sedih, karena harus melakukan semua ini.

Kami seakan berusaha menyuruh Ayah dan Ibu bercerai.

Tapi pergi meninggalkan kami selama 7 tahun, apa tidak sama saja seperti sudah bercerai sejak awal?

Akhirnya Ayah pun menandatangani surat perceraian itu.

"Baiklah, Ayah akan tanda tangan."

"Ayah tau kalian meminta ini, karena Ibumu ingin menikah kan?" ucap Ayah seperti orang yang paling benar.

Namun kakak tidak membiarkan Ayah seperti diatas angin.

"Lalu salahnya dimana? Apa salah kalau Ibu juga ingin kembali bahagia?"

"Apa kalian saja yang pantas mendapatkan kebahagiaan?" ucap kakak meninggi.

"Bahkan sekarang aku seperti tidak mengenal Ayah ku lagi."

"Ayah seperti tidak bisa membedakan lagi, mana salah dan benar."

"Aku bahkan sekarang lebih membenci Ayah," kakak menatap sinis wajah Ayah.

Setelah Ayah menandatangani surat itu, kakak langsung mengajak ku pergi dari rumah Ayah.

Kakak tidak tahan lagi dengan sikap Ayah.

Sangat membuat kesal.

"Pantas aja Ibu terluka begitu dalam, ternyata begini perlakuan Ayah," ucap kakak pada ku saat sudah berada didalam mobil.

"Iya kak. Aku bahkan tidak habis pikir, Ayah seperti sudah kehilangan akal sehat."

"Tidak ada wibawanya lagi seperti dulu," jawabku pada kakak.

"Aku begitu kecewa dengan sikap mereka," ucap kakak sedih.

"Aku hanya menyayangkan, orang yang bersikap begitu jahatnya adalah Ayah kita dek."

"Aku malu sendiri mendengar perkataan mereka tadi," kakak bercerita sambil menangis.

"Iya kak. Lebih baik kita jangan cerita pada Ibu, apa yang baru saja terjadi padi kita saat menemui Ayah tadi."

"Aku tidak ingin Ibu semakin kecewa dan terluka lagi kak."

"Bahkan takut terdengar oleh Om Candra. Aku malu jika Dia tau Ayah kita seperti itu," ajakku pada kakak.

"Iya benar dek. Kita rahasiakan ini semua dari Ibu dan Om Candra," jawab kakak menyetujui usul ku.

Mobil pun melaju meninggalkan perusahaan tempat Ayah bekerja.

Diperjalanan kami hanya bercerita tentang kejadian tadi.

Semua kami tumpahkan. Cerita yang begitu menyayat hati.

Bercerita sambil menangis meratapi kehidupan yang sudah dijalani sampai saat ini.

Hingga tidak terasa, hari pun mulai gelap. Dan kami berdua sampai dirumah dengan selamat.

...****************...

"Nak... Kok sudah gelap baru sampai rumah? Jauh sekali ya tempatnya?" tanya Ibu khawatir pada kami.

"Iya Bu," jawabku pada Ibu.

Padahal yang membuat kami lama, karena drama Ayah dan Eva yang menjengkelkan.

Tapi kami tutupi semua dari Ibu.

"Ya sudah. Kalian istirahat sebentar, setelah itu mandi ya."

"Biar kita makan malam sama-sama dengan Om kamu," ucap Ibu sambil menunjuk ke arah Om Candra yang sedang duduk diruang tengah.

"Iya Bu," jawab kakak setengah berbisik karena kecapean habis membawa mobil seharian.

"Yuna.. Tika.. Baru saja sampai?" sapa Om Candra yang kini menghampiri kami.

"Iya Om baru aja sampai," jawab kami bersamaan.

"Syukurlah kalian sudah sampai, istirahat aja dulu."

"Pasti kalian kecapean sekali karena habis perjalanan jauh," ucap Om yang memang sangat perhatian pada kami.

Om Candra bahkan dari sejak pertama bertemu, memperlakukan kami sudah seperti anaknya sendiri.

Begitu baik dan perhatian. Hingga sosok Ayah seperti sudah tergantikan.

Karena kebaikan Beliau yang begitu tulus pada kami.

Bahkan Adikku saja sudah memanggilnya dengan sebutan Papa sejak lama.

Hanya aku dan kakak yang masih canggung, hingga tetap memilih memanggilnya Om saja.

"Iya Om. Badan berasa pegal semua nyetir seharian," ucap kakak sambil memijat tangannya yang terasa pegal dan kaku.

"Mau Om panggilkan tukang urut kenalan Om?" tawarnya pada kakak.

"Ah gak usah repot-repot Om, gak apa-apa kok. Nanti juga hilang sendiri pegalnya," ucap kakak sungkan.

"Gak repot kok. Bentar ya, Om telpon dulu orangnya," tanpa persetujuanku, Om sudah berinisiatif memanggil tukang urut kerumah kami.

Ya, begitulah Om Candra. Baik dan perhatian pada kami semua.

Aku bahkan tidak sabar, ingin Om Candra segera meminang Ibu secara resmi. Agar Ibu bahagia bersama Om Candra.

"Makasih banyak Om," ucapku padanya.

...****************...

Kami pun makan malam bersama.

Selagi makan, Ibu mulai menanyakan apa saja yang terjadi disana tadi.

"Bagaimana tadi Nak, lancar aja kan urusannya?" ucap Ibu seketika membuat kakak dan aku saling melempar pandang.

"O..Oiya Bu, lancar kok," Ucapku terbata-bata.

"Nanti aku kasih ke Ibu ya suratnya," ucap kakak menimpali.

"Iya Nak. Makasih banyak ya, sudah membantu Ibu dan Om kamu menyelesaikan ini," ucap Ibu sambil melempar senyum pada kami.

"Iya Bu, sama-sama. Wajar aja kok, kami kan memang harus membantu Ibu."

"Kami bahkan juga tidak sabar menantikan hari itu," ucap kakak sambil melirik keatas membayangkan pernikahan Ibu dan Om Candra.

"Itu.. Diatas kepala Tika, sudah ada wajah kita berdua dipelaminan," celoteh Om Candra sambil tertawa melihat tingkah kakak yang sedang berhayal.

Gelak tawa pun terdengar dimeja makan. Begitu terlihat harmonis.

Entah kapan terakhir kali, aku merasakan suasana yang begitu bahagia seperti ini.

Melihat Ibu tersenyum begitu manis.

Melihat kakak dan adikku yang tertawa lepas. Semua terasa hangat.

Mungkin kami harus melewati 7 tahun ini dengan penuh perjuangan, untuk mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa dari Tuhan.

Begitu lamanya menantikan saat-saat seperti ini.

Saat-saat Ibu mulai melupakan masa lalunya yang begitu pahit.

Digantikan dengan cerita baru yang menenangkan jiwa.

"Om, makasih ya. Sudah membuat keluarga kami bahagia kembali."

"Aku sangat berharap banyak sama Om."

"Aku hanya ingin Ibuku bahagia lagi," ucapku membuat Ibu dan semuanya terharu setelah mendengar perkataan ku.

"Iya Nak. Om akan berusaha menjadi Papa yang baik buat kalian."

"Om hanya ingin kalian juga bahagia bersama Om."

"Bahkan Om yang harusnya berterimakasih pada kalian semua."

"Karena kalian begitu baik menerima Om, untuk menjadi Papa sambung kalian," jawab Om atas perkataan ku tadi.

"Iya Mas," ucap Ibu menimpali.

"Semoga rencana kita dilancarkan sampai waktunya tiba ya," ucap Ibu sambil memegang bahu Om Candra, tanda terimakasih karena sudah membuat Ibu kembali tersenyum.

Terpopuler

Comments

Susi Soamole

Susi Soamole

lanjut

2022-10-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!