Makan malam pun telah selesai.
Dilanjutkan dengan duduk santai didepan televisi, sambil ditemani cemilan ringan yang telah disajikan kakak.
"Kamu sepertinya kecapean sekali ya, Mas?" Ibu memecah pembicaraan.
"Sepertinya lumayan sih. Nanti aku minta asistenku menyuruh tukang pijat untuk datang kerumah aja," jawab Om Candra sambil menguyah cemilan diatas meja.
"Oiya, May. Aku kok tidak melihat Roni beberapa hari ini? Aku lupa terus mau tanya dari kemaren," Kembali Om Candra menanyakan kepergian Adikku.
"Oh, Roni sedang ada kemah disekolahnya. Jadi beberapa hari ini dia menginap disana," jelas Ibu padanya.
"Oh pantas tidak terlihat dari kemaren," ucap Om Candra sambil mengangguk tanda mengerti.
Tak berapa lama mengobrol didepan Tv, Om Candra pun pamit pulang.
"Ya sudah. Aku pulang dulu ya."
"Besok kalau sempat aku mampir kesini," ucap Om pada Ibu.
"Iya, Mas. Tapi kalau kamu sibuk, tidak usah dipaksakan."
"Bisa aja kok besok aku pergi sendiri," Ibu mencoba meyakinkan.
Besok Ibu ada janji untuk bertemu WO, untuk membicarakan persiapan acara pernikahan mereka nanti.
"Tidak apa, May. Inikan untuk acara kita berdua. Kalau waktunya ada, pasti aku datang menemani kamu," jelas Om Candra.
"Ok baiklah, Mas. Jika seperti itu mau kamu," ucap Ibu mengiyakan.
Lalu Om Candra pun berpamitan pada Ibu dan Aku juga yang kebetulan masih duduk bersama diruang keluarga.
"Aku pulang dulu ya, May. Sudah larut malam ini," ucap Om Candra pamit pada Ibu.
"Om pulang dulu ya, Nak" ucap Om juga padaku.
"Iya, Om. Hati-hati ya," ucapku padanya.
"Iya hati-hati ya, Mas. Pelan-pelan saja membawa mobilnya," ucap Ibu menimpali.
"Iya, May. Aku pamit ya," ucapnya sambil mengambil posisi berdiri dan berjalan kearah pintu depan.
Kakak yang baru datang dari dapur, menyapa Om Candra yang sudah berjalan kedepan rumah.
"Loh, Om. Udah mau pulang?" tanya kakak, membuat langkahnya terhenti.
"Iya, Nak. Om pulang dulu ya."
"Om sudah janjian sama tukang urut, takut dia lama menunggu disana," jelas Om Candra pada kakak.
"Oiya. Hati-hati ya Om" ucap kakak padanya, sambil kami bertiga pun mengantarkannya sampai kedepan rumah.
Dan mobil Om Candra pun melaju dengan kecepatan sedang malam itu, menuju rumahnya yang berada kurang lebih 1 jam untuk ukuran laki-laki berkendara dari rumah kami.
Karena Om Candra masih tinggal diperusahaan tempat dia bekerja.
"Ayo, Nak. Kita masuk," ajak Ibu pada kami berdua.
"Iya Bu," jawab kami bersama, dan sambil mengikuti langkah Ibu kedalam rumah.
"Ibu.. Air panasnya udah aku siapin dikamar mandi. Ibu mandi aja dulu, biar cepat istirahat," tutur kakak pada Ibu.
"Aduh, Tika. Kamu gak perlu repot-repot siapin Ibu air panas. Ibu gak apa-apa kok mandi air dingin jam segini," ucap Ibu sambil memegang bahu kakak tanda terima kasih.
"Gak apa-apa, Bu. Nanti Ibu masuk angin kalau mandi air dingin malam-malam begini," jelas kakak pada Ibu.
"Baiklah kalau begitu Ibu mandi dulu ya, Nak" Ibu pun berlalu kekamar mandi untuk membersihkan diri.
Aku pun setelah mengantarkan Om Candra tadi, kembali duduk didepan TV untuk menonton sinetron kesukaanku.
Lalu kakak datang menghampiri.
"Dek, nonton apa? Serius sekali kamu," tanya kakak yang langsung duduk disebelahku.
"Ini kak nonton sinetron. Ini ceritanya mirip kehidupan Ibu loh kak," jelasku pada kakak.
"Iya, perempuannya disini ceritanya sama seperti Ibu. Suaminya sama-sama diambil orang lain."
"Tapi disini suaminya diambil sama tetangganya," ucapku menjelaskan serius pada kakak.
"Oh gitu ya," ucap kakak sambil memperhatikan sinetron yang sedang aku tonton.
"Iya, kak. Aku kasian sekali sama Istrinya. Sangat menderita karena ditinggal suaminya,"
"Aku jadi sedih, teringat Ibu diperlakukan Ayah seperti itu," ucapku pada kakak.
"Iya, dek. Tapi semuanya telah berlalu berkat kesabaran Ibu."
"Ibu dulu dibuang Ayah, kini akan dinikahi sama orang kaya seperti Om Candra."
"Siapa menyangka, jika nasib Ibu pun berubah jadi lebih baik," ucap kakak bersyukur karena Ibu mendapatkan nasib baik karena bertemu Om Candra.
Orang yang begitu baik pada Ibu dan bisa dibilang, Om Candra adalah pria sukses dan kaya raya.
"Iya sih kak. Aku bersyukur, Tuhan telah memulihkan keadaan kita terutama Ibu."
"Kasian juga Ibu, jika seumur hidup harus menanggung derita akibat ulah Ayah dan Eva," ujarku menyayangkan perbuatan Ayah.
"Oiya kak. Aku lupa cerita sama kamu."
"Mau cerita apa, dek?" tanya kakak penasaran.
"Iya, kak. Beberapa hari yang lalu sewaktu Om Candra kesini, aku mendengar perbincangannya bersama Ibu."
"Perbincangan seperti apa, dek? Muka kamu kok serius sekali. Ada apa?" tanya kakak semakin penasaran.
"Makanya kamu dengarin aku dulu, janganlah kamu banyak tanya. Kan aku belum selesai," gerutuku padanya, karena begitu penasaran sampai kakak selalu memotong pembicaraan mereka.
"Iya.. Iya..," jawab kakak sambil mengangguk serius.
"Om Candra seperti mengajukan penawaran pada Ibu."
"Yang aku dengar, Om ingin mengajak Ibu untuk tinggal dikampung halamannya setelah menikah," jelasku pada kakak.
Kakak setelah mendengar perkataan ku, seketika terkejut cemas.
Khawatir dengan apa yang aku ucapkan.
Jika benar ucapanku, bahwa Ibu akan tinggal jauh dikampung halaman Om Candra, lalu bagaimana dengan kami?
Itulah yang sedang kakak pikirkan sekarang.
Sebenarnya tidak bisa disebut sebuah kampung juga sih, asal usulnya Om Candra.
Tempat tinggalnya adalah sebuah kota besar metropolitan. Tapi anggap saja itu kampung halamannya Om Candra. Karena dia lahir dan besar disana.
Yang pasti tempat itu begitu jauh, harus menyebrang pulau untuk menuju kesana.
Kakak hanya takut ditinggal Ibu.
Dia tidak bisa lagi ikut Ibu kemanapun dia pergi, karena status kakak yang sudah menikah.
"Aku harus bicara sama Ibu, dek" ucap kakak yang berusaha berdiri dari tempat duduknya.
"Jangan, kak!" tahanku. Kupegangi tangan kakak untuk memintanya duduk kembali.
"Kenapa? Gimana kalau Ibu benar pergi kesana? Bagaimana dengan kita?"
"Aku tidak mau berpisah dari Ibu," ucap kakak takut.
"Tenang dulu kak. Waktu itu Ibu memang tidak langsung menolaknya."
"Yang aku dengar, Ibu bilang akan meminta saran kita terlebih dahulu," ucapku pada kakak.
"Bahkan Om menawarkan, jika kita juga boleh dibawa semua kesana untuk tinggal bersama," ucapku berusaha menjelaskan apa yang telah aku dengar.
"Tapi bagaimana aku, dek? Aku sudah menikah. Dan tidak mungkin bisa untuk ikut pergi," ucap kakak khawatir.
"Aku harus bicara pada Ibu," lagi kakak berusaha bangkit dari tempat duduknya.
Namun berhasil aku tahan juga untuk kedua kalinya.
"Sabar dulu kak!"
"Jangan kakak tanya sekarang."
"Kenapa lagi, dek? Nanti semuanya terlambat," ucap kakak semakin khawatir.
"Aku tidak enak, kak. Karena nanti Ibu tau kalau aku telah menguping pembicaraan mereka."
"Kita tunggu saja dulu ya, kak. Sampai Ibu sendiri yang membicarakan ini lebih dulu pada kita," ucapku menenangkan kakak.
Kakakku mah memang gitu orangnya, gak sabaran!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments