“Aku takut Ibu setuju, dek.”
“Kalian mungkin bisa pergi, tapi bagaimana aku?"
“Aku belum pernah berpisah dengan Ibu!"
"Bahkan kamu tau, sekarangpun setelah aku menikah, aku tetap saja kalau malam tidurnya disini,” jelas kakak dengan raut sedih.
“Itukan karena suami kamu gak ada?” Celetukku pada kakak.
“Bukan seperti itu juga, dek. Kalau bisa memilih meskipun menikah, aku inginnya tinggal disini.”
“Namun tinggal bersama suami adalah sebuah keharusan seorang wanita setelah menikah, dek,” jelas kakak lebih lanjut padaku.
“Iya.. Iyaa.. tau kak! Aku barusan cuma bercanda,” ucapku mencoba mencairkan suasana.
Karena kakak begitu serius sekali, memikirkan apa yang terjadi setelah Ibu menikah.
“Sudahlah, kak. Jangan terlalu dipikirkan.”
“Nanti Ibu juga pasti meminta saran kita."
"Nah disitu kakak bisa memohon pada Ibu untuk tetap tinggal disini,” jelasku padanya.
Berharap kakak lebih tenang setelah mendengar penjelasanku.
“Lebih baik kita tidur aja, kak.”
“Udah larut malam ini,” ajakku padanya sambil tanganku mengambil remot TV untuk mematikannya.
“Hmmm...” hanya terdengar helaan nafas panjang dari kakak tanda dia setuju.
Dan kemudian mengikutiku dari belakang untuk masuk kekamar.
*
*
*
Semalaman kakak dibuat tidak bisa tidur, setelah mendengar ceritaku.
Rasa takut kehilangan, mulai mendera perasaannya sekarang.
Aku pun mengerti apa yang sedang dia rasakan.
Karena jika benar itu terjadi, yang akan tertinggal disini hanyalah dia.
Bahkan aku dan adikku pasti akan ikut bersama mereka.
Sedangkan kakak, pasti tidaklah mungkin.
Karena suami kakakku, orang asli dari kampung halaman Ibu.
Jadi dia pasti tidak bisa kemana-kemana, karena harus mengikuti dimana suaminya tinggal.
Perasaan gelisah pun melanda sepanjang malam.
Kakak hanya membolak balikkan badan dikasurnya.
Kebetulan kakak tidur satu kamar denganku, hanya saja beda kasur. Karena dia tidur bersama anaknya dikasur yang sama.
“Kak, kamu kenapa belum tidur?” tanyaku padanya.
Setelah ku liat jam di dinding, waktu menunjukkan pukul 3 pagi.
“Ayolah kak. Kita tidur ya?"
"Aku juga jadi terbangun, mendengar badanmu bergesekan dengan kasur,” ucapku sambil menutup telingaku karena merasa terganggu.
“Iya..” jawab kakak singkat.
*
*
*
Besok pagi-pagi sekali, setelah bangun dari tidurnya, kakak langsung mencari Ibu.
Dan benar saja, kakak sudah tidak tahan ingin mengungkapkan, apa yang sedang mengganjal dalam lubuk hatinya semalaman.
Perasaan tidak enak itu terus menghantuinya.
“Ibu..! Ibu...!" Seru kakak memanggil nama Ibu.
Ibu yang sedang didapur pun terkejut mendengar panggilan kakak padanya.
“Kenapa, Nak? Ada apa?” ucap Ibu khawatir.
Ibu berpikir, bahwa jika sedang terjadi sesuatu pada cucunya.
“Oh Ibu didapur!” gerutunya sambil menghampiri Ibu.
“Bu, ada yang ingin aku tanyakan,” ucap kakak tidak sabar.
"Iya, Nak. Ada apa?" ucap Ibu sambil menghampiri kakak.
"Kita duduk disini ya, Bu!" ajak kakak untuk duduk disebuah sofa diruang tengah.
Ibu pun menurut, dan duduk berdampingan disofa itu.
"Iya, Nak. Apa yang terjadi?" tanya Ibu semakin khawatir.
"Begini, Bu. Aku mendengar kabar, jika setelah menikah Ibu akan dibawa Om Candra ke kota tempat tinggal asalnya, kan?" ucap kakak dengan raut wajah serius.
Ibu terkejut mendengar perkataan kakak.
Padahal Ibu memang berniat menceritakan pada kami, hanya saja menunggu momen yang tepat.
Ibu terdiam sesaat, lalu memandangi serius wajah kakak.
"Ibu, jawab!" ucap kakak sedikit meninggi.
"Iya, Nak. Om Candra memang ada berkata seperti itu, namun Ibu juga belum memutuskan."
"Ibu juga masih ingin bertanya pendapat kalian tentang itu."
"Ibu pun bahkan masih memikirkan keinginan itu, apakah siap untuk berada jauh dari kampung halaman Ibu sendiri," ucap Ibu menjelaskan pada kakak.
Mendengar penjelasan Ibu, tidak terasa air mata kakak pun mengalir begitu deras membasahi pipi.
"Lalu jika Ibu pergi, aku bagaimana?"
"Aku bahkan tidak bisa ikut bersama kalian, Ibu tau itu kan?"
"Tidak bisa ku bayangkan, jika aku tidak bisa melihat kalian sama sekali disini."
"Bahkan aku harus seorang diri berada dikampung ini, tanpa keluarga kandungku, Bu!" ucap kakak sambil tersedu-sedu menahan tangis agar bisa bicara lebih jelas.
Mendengar itu, Ibu pun memeluk kakak begitu eratnya sambil berkata:
"Itulah yang Ibu pikirkan, Nak."
"Hati Ibu juga sangat berat untuk meninggalkan kamu sendirian disini," Ibu berucap sambil mengelus rambut dan punggung kakak.
"Bisakah Ibu tidak pergi saja?" tanya kakak penuh harap.
"Ibu akan pertimbangkan lagi ya, Nak. Andaipun tetap pergi, Ibu hanya berharap kita bisa pergi bersama," ucap Ibu menenangkan.
"Tapi itu sungguh tidak mungkin untukku, Bu!" ucap kakak dengan suara terisak tangis.
"Iya, Nak. Nanti kita pikirkan lagi ya."
"Ibu akan bicara pada Om kamu, saat waktunya nanti. Jika kita tidak bisa pergi kesana," ucap Ibu pada kakak hingga menghentikan tangisannya.
"Ibu janji, ya?"
"Untuk bilang pada Om Candra, kalau Ibu tidak bisa pergi kesana," aku pun memandang Ibu penuh keseriusan.
"Iya, Nak," jawab Ibu menenangkan kakak.
Lalu kakak pun memeluk Ibu begitu erat, seperti orang yang takut kehilangan.
Aku yang baru saja bangun, dikejutkan dengan adegan tangis dan haru.
"Ada apa ini pagi-pagi sudah seperti sinetron?" tanyaku pada mereka, membuat mereka terkejut dan melepaskan pelukan.
kakak yang sudah menangis sedari tadi, berusaha menghapus air mata yang sudah becek diwajahnya.
Aku sebenarnya tau saja apa yang sedang terjadi. Tapi aku pura-pura tidak mengerti, agar kakak berhenti bersedih.
"Engak apa-apa, Nak. Kemarilah," panggil Ibu padaku agar duduk disampingnya.
"Iya Bu," ucapku menurut.
"Pasti kamu sudah tau, apa yang Om Candra ucapkan beberapa hari lalu kan?" Ibu berkata seolah membenarkan sumber cerita itu dari aku.
"Iya, Bu. Aku tidak sengaja mendengarnya ketika kalian sedang berbincang saat itu," ucapku menjelaskan.
"Lalu bagaimana keputusan Ibu?" lanjut aku pun bertanya.
"Iya, Nak. Ibu memutuskan untuk tidak berangkat."
"Benar yang kakakmu bilang. Mungkin kita bisa saja pergi kesana, tetapi sulit untuk kakakmu."
"Bahkan mungkin dia akan tinggal disini sendirian."
"Ibu pun tidak ingin ada yang terpisah diantara kita Nak," ucap Ibu sambil memeluk kami berdua.
"Iya, Bu. Lebih baik kita tidak pergi saja."
"Untuk apa juga kita hidup dalam kemewahan, jika tidak bersama-sama lagi," ucapku pada Ibu hingga membuat kakak terharu dan kini menangis lagi.
Memang kakak orang yang sangat melow. Tidak bisa mendengar cerita sedih, pasti dia nangis. Nonton sinetron sedih, pasti nangis juga. Begitulah kakakku, yang hobbinya nangis melulu.
"Iya, Nak. Benar yang kamu ucapkan. Ibu hanya ingin kita bersama terus sampai akhir," peluk Ibu bertambah erat seperti tidak ingin lepas.
Disaat momen haru itu menyelimuti kami, terdengar suara yang tidak asing didengar.
"Kreooookk... Kreeookkk..." suara perutku memecahkan suasana.
"Aku lapar! Ayo kita sarapan Bu," ucapku sambil memegang perut.
Seketika suasana haru berubah jadi suasana yang penuh gelak tawa.
"Kamu ini. Dasar pengacau tuh perut kamu!" ucap kakak kesal namun akhirnya tertawa lepas.
Dan kami pun bergegas pergi kedapur, untuk sarapan bersama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments