7. Perjuangan

Sore itu, Ibu pun segera mencari Bus jurusan kota tempat tinggal Kami dulu.

Ibu bergegas untuk pergi.

Dengan perasaan gelisah, yang terus menyelimuti sepanjang perjalanan yang panjang.

Membutuhkan waktu dua hari satu malam untuk tiba ditempat tujuan.

Diperjalanan Ibu hanya menangis meratapi kehidupan buruk yang kini menimpanya.

Seperti tiada habisnya, Ayah terus menerus menghancurkan perasaan Ibu.

"Kenapa Kamu berubah seperti ini Heri."

"Menjadi orang yang begitu jahat, terhadap Ku bahkan Anak-anak Mu."

"Mana Heri yang dulu Aku kenal."

"Heri yang begitu mencintaiKu, dan tak pernah membiarkanKu menderita seperti ini."

"Aku bahkan sekarang tidak mengenalMu lagi."

"Kau sungguh kejam..!" ucap Ibu sambil menangis pilu.

Tangis Ibu pun mengalir deras membasahi pipi.

"Sekarang Aku sudah hancur."

"Hancur bahkan tak tersisa lagi."

"Tuhan.. Tolong Aku melewati semua ini," ucap Ibu sambil menangis tersedu-sedu.

Benar. Kini Ibu begitu hancur dan rapuh.

Ayah yang sangat Ibu cintai, kini pergi meninggalkan luka yang begitu perihnya.

Seperti tersayat-sayat sembilu.

Perih dan tak kunjung mereda.

Bahkan Ibu tak tau harus menaruh harapannya kemana.

Saudara kandungnya yang lain pun juga begitu menyakiti perasaannya.

Seperti senang diatas penderitaan Ibu.

Kasian sekali Ibu.

Ibu Ku yang malang.

...****************...

Besok harinya.

Sampailah Ibu di kota tujuan.

Tepatnya dirumah Kami dahulu.

Disana sudah ada teman Ibu, yang menunggu dan membawakan surat-surat rumah.

Kalau boleh memilih, Ibu sejujurnya sangat tidak ingin menjual rumah itu.

Sehingga setiap ada yang memberi penawaran atas rumah itu, Ibu menolak jika tidak sesuai dengan harga yang Ibu tetapkan.

Selain memang sudah sesuai dengan harga pasaran, tapi juga karena berat hati ingin menjual.

Tapi, Ibu berusaha ingin rumah itu terjual hari ini juga.

Setelah sampai, Ibu langsung datang kerumah tetangga terdekat.

"Bu.." sapa Ibu pada tetangga didekat situ.

"Oh Bu Maya, kapan datangnya?" balas tetangga itu menyapa Ibu.

"Baru aja Bu."

"Aku mau menawarkan rumahku sama kamu."

"Aku mau jual cepat rumah ku," ujar Ibu menimpali.

"Mau dijual berapa Bu," tanya nya lagi.

"10 juta aja, tapi Aku mau pembayarannya tunai dan dibayar sekalian," ucap Ibu menawarkan padanya.

"Hah.. Serius?" tanyanya lagi dengan perasaan tidak percaya karena terlalu murah untuk ukuran rumah yang cukup besar dan tanah seluas itu.

"Benar Bu. Aku serius," ucap Ibu meyakinkan.

"Oke baiklah. Aku beli rumahmu."

"Aku cuma punya uang 5jt sekarang."

"Kamu tunggu sebentar dulu ya."

"Kamu jangan tawarkan rumah mu lagi pada orang lain."

"Aku mau jual motor ku kepasar, agar uangnya cukup," ucap tetangga itu menjelaskan pada Ibu.

"Oke baiklah. Aku akan menunggu kamu dirumah ya," jawab Ibu.

Akhirnya rumah pun terjual dengan harga yang tidak masuk akal.

Semua karena Ayah.

Ibu takut Ayah merebut semuanya.

Ibu menjual rumah seperti menjual kacang goreng.

...****************...

Tak menunggu berapa lama, pembeli itu datang menghampiri Ibu.

Membayar semuanya sesuai permintaan Ibu.

"Ini Bu. Totalnya 10 juta."

"Coba di cek lagi ya," ucap pembeli pada Ibu.

"Baiklah, Aku akan membuatkan kwitansi penjualan rumah ini untukmu," ucap Ibu.

Tak lama transaksi jual beli pun selesai.

Dengan berat hati, Ibu menyerahkan surat-surat rumah tersebut pada pembeli itu.

"Ini Bu surat rumah dan kwitansinya," ucap Ibu padanya.

"Makasih banyak ya Bu Maya."

"Ini sangat membantu kami," ucap pembeli itu pada Ibu yang sangat bersyukur dapat rumah semurah itu.

Karena kebetulan pembeli tersebut belum mempunyai rumah sendiri dan masih ngontrak.

"Iya Bu sama-sama. Semoga rumah ini jadi berkat untuk Ibu sekeluarga," ucap Ibu pada pembeli itu.

Dan selesai bertransaksi, Ibu langsung meninggalkan kota itu.

Dan langsung menuju kampung halaman Ibu.

...****************...

Akhirnya Ibu sampai dirumah, dikampung halaman Ibu.

"Ibu.." panggilku senang saat melihat Ibu yang baru saja datang.

"Iya nak," jawab Ibu sambil memelukku.

"Ibu dari mana aja? Katanya pergi sebentar. Tapi kok lama sekali?" ucap ku pada Ibu penuh dengan pertanyaan.

"Iya, kenapa Ibu lama sekali perginya?" ucap kakakku menimpali.

"Iya, Ibu baru dari Kota tempat tinggal kita dulu."

"Ibu habis menjual rumah kita," ucap Ibu dengan raut sedih.

"Hah.. Sudah Ibu jual?" tanya kakakku tak percaya.

"Iya nak, harus Ibu jual cepat."

"Ayah mu mencoba merebut rumah kita," ucap Ibu mencoba menjelaskan pada kami.

"Astaga, Ayah kenapa tega sekali," ucapku pada Ibu.

"Iya, Ayah berusaha merubah nama pemilik rumah itu menjadi nama Eva," ucap Ibu geram.

"Ya ampun, apa belum cukup mereka menghancurkan kita seperti ini?"

"Sampaipun juga mengambil semua uang yang Ibu simpan," ucap kakakku yang mulai geram.

"Iya nak, Ayah mu sekarang sudah berubah."

"Sudahlah. Lupakan saja semuanya."

"Kita mencoba menjalani kehidupan kita yang baru," tutur Ibu mencoba menenangkan amarah Kakakku.

"Iya bu," ucapKu dan Kakakku sambil memeluk Ibu.

Kami pun menangis sambil berpelukan.

Meratapi nasib yang bahkan tidak tau seperti apa kedepannya.

...****************...

Seminggu setelah kepulangan Ibu kekampung, nampak wajah Ibu tidak begitu sehat.

"Ibu sakit?" tanya Kakakku yang melihat Ibu jalan sempoyongan.

"Iya sepertinya Ibu kurang enak badan, karena telapak kaki Ibu nyeri sekali," jawab Ibu pada Kakak.

Dihari yang sama pada saat Ibu ingin berangkat kekota untuk menjual rumah, pagi harinya ketika Ibu berjalan, tidak sengaja menginjak paku berkarat yang tepat mengenai telapak kaki Ibu.

Saat itu Ibu hanya mengeluarkan kotoran pakunya saja, tanpa berobat ke rumah sakit karena buru-buru mau berangkat.

Ternyata luka itu semakin parah dan membengkak.

Akhirnya Ibu dibawa untuk diperiksa kerumah sakit.

Dan benar saja, ternyata Ibu punya penyakit Diabetes. Penyakit turunan dari Kakek.

Itu yang membuat telapak kaki Ibu infeksi, karena luka yang tak kunjung sembuh.

"Aduh sakit," ucap Ibu pada dokter yang sedang memeriksa kaki Ibu.

Dokter berusaha membersihkan telapak kaki Ibu yang kini mulai bernanah.

"Aku suntikkan obat penghilang rasa sakit ya," ucap dokter menenangkan Ibu.

Bahkan pengobatan itu tidak hanya berlangsung sekali.

Tapi berrkali-kali.

Anehnya luka itu bukannya semakin kering dan sembuh, tapi malah semakin parah, bengkak dan kaki Ibu seperti hendak membusuk.

Satu bulan berjalan.

Dengan kondisi yang menurut dokter semakin parah, akhirnya Ibu dirujuk kerumah sakit dikota terdekat.

Tidak hanya luka itu yang kini diderita Ibu, namun kondisi kesehatan badan pun kini terganggu.

Ibu hanya terbaring lemas.

Lemas karena sakit yang diderita, juga karena makanan Ibu yang kini mulai dibatasi.

Ibu hanya boleh memakan kentang dan telur rebus aja.

Itu yang membuat Ibu semakin kehilangan tenaga.

Karena penyakit diabetes yang diderita, Ibu hanya diperbolehkan mengonsumsi makanan yang rendah gula.

Nasi pun tidak Ibu makan.

Hingga membuat sakit Ibu semakin parah, bahkan kini kesulitan untuk berdiri sendiri.

Akibat stres karena banyak pikiran, semua penyakit dalam tubuh Ibu bermunculan.

Ibu yang dikenal tidak pernah sakit, punya tubuh yang sehat, kini drop karena mental terganggu.

Mental dan pikiran Ibu yang kacau, membuatnya jadi sakit-sakitan.

Kasian sekali Ibuku.

Begitu banyak derita yang harus ditanggung sendiri.

Tiada henti penderitaan datang bertubi-tubi.

Apa yang Ibu terima seakan tidak adil.

Orang-orang yang menyakiti Ibu, hidup dengan tenang.

Sementara Ibu?

Hidup penuh dengan penderitaan.

Dan semua itu karena perbuatan Ayah.

"Semoga Tuhan membalas perbuatan mereka yang menyakiti Kami," ucapku geram.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!