Setelah menempuh empat jam perjalanan, Aku dan kakakku tiba dikota tempat tinggal Ayahku.
Kami pun menanyakan alamat yang diberikan Ibu pada orang sekitar.
“Permisi Pak, saya mau tanya?” Kakak menghampiri seorang pedagang yang kami temui.
“Iya Neng, ada yang bisa dibantu?” Jawabnya sambil memandangi kami dari atas sampai bawah.
“Bapak tau alamat ini?” Kakak mulai menunjukkan seracik kertas bertuliskan alamat Ayah.
“Oh tau neng,” jawabnya singkat.
“Bisa minta tolong tunjukkan arahnya Pak?” Ucap kakak meminta pertolongan.
Karena sebelumnya kami memang tidak pernah datang kekota ini.
Dan pada waktu itu, aplikasi penunjuk arah belum bisa digunakan dikota tersebut.
“Iya Neng. Nanti didepan ada pertigaan, terus belok kiri."
"Kemudian Neng Lurus aja, nanti kalian ada ketemu bundaran lalu belok kanan."
"Nanti disitu kalian ketemu Pos satpam. Nah bisa tanya aja sama petugasnya disana untuk mencari rumahnya,” ucap Bapak tersebut menjelaskan panjang lebar.
“Kok ada satpam? Itu komplek perumahan?” tanya kakak yang mulai bingung.
“Bukan Neng. Itu perusahaan. Yang Neng kasih adalah alamat perusahaan."
"Memangnya Neng gak tau?” kembali bapak tersebut balik bertanya.
“Iya Pak. Karena baru pernah kesini. Aku juga gak dikasih tau kalau ini alamat perusahaan” jawab kakak menjelaskan.
Ternyata Ayah dan Eva bekerja dan sekaligus tinggal disebuah perusahaan pertanian.
“Dari sini dekat aja kok neng. Kurang lebih 15 menit udah sampai,” kembali pedagang tersebut menjelaskan.
“Oke Pak. Terimakasih infonya ya. Kami jalan dulu,” ucap kakak sembari berpamitan.
Kami pun melanjutkan perjalanan.
Ditengah perjalanan, aku merasa perutku mulai keroncongan.
“Kak, apa kita gak singgah makan siang sebentar? Ucapku yang kini merasa lapar.
Karena memang sudah jam makan siang.
“Oke dek. Nanti kalau ada warung makan, kita berhenti sebentar."
"Kakak juga sudah lapar nih,” jawab kakak yang juga merasakan hal yang sama.
Baru jalan kurang lebih 5 menit dari toko pedagang tadi, terlihat ada sebuah warung makan kecil disebelah kiri jalan.
“Itu kak, sepertinya ada warung makan,” ucapku sambil menunjuk kearah warung.
“Oh iya. Kita makan disini aja ya,” ajak kakak padaku.
Kami pun akhirnya sampai disebuah warung makan untuk makan siang dan beristirahat sebentar.
Selagi kami menikmati makanan, tidak sengaja kami bertemu Ayah.
Ayah bermaksud ingin pesan makanan diwarung yang sama tempat kami berhenti.
“Ayah...” ucap kakak menyapa tapi sedikit berteriak.
Ayah yang mendengar pun terkejut dan segera melihat kearah kami.
“Tika.., Yuna..,” ucap Ayah seketika setelah melihat kami.
“Kalian kok disini?” Ayah mulai bingung dengan keberadaan kami.
“Iya Yah. Kami kesini memang mau ketemu Ayah,” ucap kakak menjelaskan.
“Bagaimana kalau kita kerumah Ayah saja? Kami ada keperluan sebentar,” kakak mulai menawarkan pada Ayah untuk berbicara dirumahnya.
"Tapi Ayah..." ucap Ayah terhenti karena kakak langsung memotong pembicaraannya, karena Dia tau Ayah pasti menolak.
Ayah pasti sudah menebak, tujuan kami datang mencarinya.
"Apa harus kita bicarakan disini agar semua orang mendengar perbuatan buruk Ayah?" kakak langsung membuat Ayah terdiam tidak bisa mengelak.
"Ok.. oke.. oke. Kita bicara dirumah Ayah," jawab Ayah akhirnya menuruti permintaan kakak.
Setelah kami menyelesaikan makan siang, langsung kami bergegas kerumah Ayah.
Ayah mengendarai motor berjalan lebih dulu untuk menujukkan arah.
"Sejujurnya aku malas bertemu Eva. Tapi dari pada Ibu yang menghadapinya, lebih baik kita aja yang menemui mereka."
"Aku gak mau hati Ibu terluka lagi karena berurusan dengan mereka," kakak berucap selagi kami diperjalanan menuju rumah Ayah.
"Iya kak. Aku juga mikirnya seperti itu."
"7 tahun memang bukan waktu yang singkat."
"Mungkin kita sudah terbiasa tanpa Ayah. Tapi tetap saja, luka Ibu pasti belum sembuh," ucapku sedih mengingat Ibu.
"Iya dek. Bagaimana pun caranya, Ayah harus menandatangi surat cerai ini."
"Aku tau Ayah pasti menolak, tapi bukan karena masih perduli dengan Ibu."
"Tapi hanya ingin Ibu tidak bahagia," kakak pun mulai geram karena Dia kemaren kebetulan mendengar percakapan Ayah dan Ibu Via telpon.
"Iya kak," jawabku singkat.
Kurang lebih 10 menit perjalanan, sampailah kami diperumahan khusus untuk karyawan diperusahaan tersebut.
"Jadi selama ini Ayah tinggal disini," ujar kakak berbicara sendiri.
"Memang tempat seperti ini, pasti mengizinkan laki-laki dan wanita berada dalam satu rumah yang sama meskipun tidak menikah," gerutu kakak kesal mengingat lagi perbuatan Ayah dulu.
"Sudahlah kak," ucapku menenangkan.
"Kita fokus untuk mendapatkan tanda tangan aja. Gak usah memikirkan hal lain."
"Hmmm.." kakak mendengus kesal.
Lalu kami pun turun dari mobil dan mengikuti Ayah masuk kerumah.
"Masuk Nak.." ucap Ayah pada kami berdua.
"Iya Yah," ucapku singkat.
Disana kami pun bertemu juga dengan Eva.
"Loh kok kalian bisa ada disini?" tanya Eva kebingungan dan sedikit terkejut melihat kedatangan kami dirumah mereka.
"Iya kami ada perlu sama Ayah," jawab kakak singkat.
"Aku mau minta tanda tangan Ayah, untuk surat pengajuan perceraikan Ayah dan Ibu," kakak langsung memberitahu maksud tujuan kami datang bertemu Ayah.
"Kenapa kalian yang datang?"
"Harusnya Ibu mu yang datang kesini," ucap Eva pada kakak.
Seketika kakak geram mendengar ucapan Eva.
"Kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu ucapkan?"
"Coba kamu tau malu sedikitlah Eva," kini kakak memanggilnya hanya dengan sebutan nama karena begitu kesalnya
"Kamu sudah mengambil suami kakak kandungmu, masih berani kamu berucap seperti itu?" ucap kakak penuh emosi.
"Kak.. tahan," ucapku menenangkan kakak.
"Benar juga kata Eva," ucap Ayah yang kini makin membuat kakak semakin geram.
"Kalian harusnya tidak boleh ikut campur masalah orang tua," lanjut Ayah beralasan agar tidak menandatangani surat tersebut.
"Ayah...!" Panggil kakak sedikit meninggi.
"Ayah sudah meninggalkan Ibu tanpa status yang jelas."
"Bahkan Ayah sudah tinggal dengan wanita ini selama 7 tahun. Bukan waktu yang sikat Yah."
"Dan sekarang Ibu ingin bercerai secara resmi, lalu untuk apa Ayah tahan?"
"Mau ayah apa?" nada ucapan kakak mulai meninggi.
"Bukankah bercerai dari Ibu adalah keinginan kalian sejak awal?" timpal kakak penuh emosi.
Dan kini tangisan kakak pun pecah. Air mata begitu deras membasahi pipinya.
Tidak habis pikir dengan jalan pikiran Ayah. Begitu sangat ingin menyakiti Ibu terus menerus.
Ayah hanya terdiam. Sedih pun tidak.
Seperti tidak ada rasa bersalah sedikit pun. Terlihat tidak ada rasa penyesalan atas perbuatannya selama ini.
Diam hanya untuk mencari alasan, agar tidak memenuhi permintaan kami.
Ayah benar-benar sudah berubah.
"Sudah cukup. Cukup menyakiti Ibu."
"Ayah sekarang tanda tangan saja disini."
"Biar Ibu dan kami benar-benar putus hubungan dengan Ayah," kakak sampai mengeluarkan perkataan seperti itu karena begitu kesalnya diperlakukan Ayah dan Eva.
"Kenapa kamu berucap seperti itu Nak?" Tanya Ayah seperti tidak terima dengan perkataan kakak.
"Kalian tetap anak Ayah," ucap Ayah mencoba meluluhkan hati Aku dan Kakak.
"Kalau memang menganggap kami masih Anak Ayah, kenapa Ayah begitu teganya menyakiti kami?" aku mulai mengeluarkan perkataan yang sudah ku pendam selama ini.
"Sudah Yah. Tanda tangani surat ini, dan kita hidup seperti biasa."
"Seperti 7 tahun terakhir yang sudah kita lewati dengan kehidupan kita masing-masing," ucapku tajam pada Ayah.
Ayah kini menatap ku begitu dalam.
Entah apa yang ada dalam pikirannya. Diam saja tanpa bicara.
Apa Ayah berpikir jika perkataan ku benar?
Atau Ayah masih berusaha mencari cara untuk beralasan lagi pada kami?
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments