Seperti di arena balap liar, Asep maupun Ucok tidak ingin sama-sama saling tersalip. Saat Asep melajukan motornya lebih cepat, Ucok tak ingin kalah jauh. Tak urus dengan orang-orang yang ikut memakai jalanan umum ini. Mereka beradu kecepatan bukan untuk mendapatkan siapa cepat dia dapat.
“Cepetan Sep cepet!” Khaira berseru seolah memberikan Asep semangat untuk melajukan motornya mengalahkan Ucok yang hampir saja bisa menyalipnya.
“Ra, kamu ada masalah apa sih sama dua bodyguard Om Bonar?!” teriak Asep membersamai dengan laju motornya yang semakin kencang.
“Udah cepetan Asep! Nanti aku jelasin!” Khaira terus melihat ke belakang, dimana Ucok yang sedang mengejarnya. “Ngapain sih mereka mengikuti ku, aku kan nggak lari bawa uang mereka. Pasti paman Bonar yang memerintahkan mereka guna memata-matai ku. Dasar sinting!” umpat Khaira geram.
Asep teramat sangat serius, begitupula dengan Ucok. Ucok tak ingin kalah begitu saja, ia melajukan motor bebeknya dengan kecepatan tinggi tak perduli dengan Toha yang terombang-ambing.
“Woy Sep berhenti!” teriak Ucok kepada Asep yang tepat berada di depannya.
“Enggak!” teriak Asep bersamaan dengan Khaira.
Ucok sekilas melihat Toha dari kaca spionnya, “Toha, Ha. Kenapa kamu diam aja!”
Dengan suara gemetar Toha menjawabnya, “Aku berasa mau muntah, Ucok!”
“Lah bagaimana ini,” konsentrasi Ucok terbagi dua. Satu fokus untuk mengejar Asep, satu lagi fokus atas perintah, “Toha, ingat apa kata Bos!”
Semangat tidak semangat Toha meneriaki Khaira dengan suara lamban, “Kha-khaira, berhenti! Kamu ja-jangan pergi. Bos mau bicara sama kamu!”
“Alah moso ngomong lendek koyo kui [Alah masa bicara lamban kaya gitu]” Ucok meledek Toha. Ia pun meneriakkan suaranya yang cukup menggelegar sampai-sampai orang-orang yang sedang melajukan motornya teralih fokus menatapnya, “Woy Khaira berhenti!”
“Cepet Sep!” Khaira kembali berseru, seolah ia sedang yel-yel untuk Asep. Supaya Asep tidak kalah cepat dari Ucok.
Asep kembali menancapkan gasnya lebih dalam lagi dan secara kebetulan lampu lalulintas menunjukkan warna hijau yang akan berganti lampu berwarna merah.
Asep serta Khaira pun lolos dari kejaran Ucok dan Toha. Khaira menoleh kebelakang, ia melihat Ucok dan Toha yang tertahan di bawah lampu lalulintas yang berwarna merah. Khaira girang bukan kepalang. “Yeay kita menang Sep! Kita memang!”
Asep ikut senang ia tertawa terbahak-bahak. Tak perduli terhadap orang-orang yang tengah memperhatikannya. Entah mengapa ia selalu saja merasa senang jika sudah tertantang dan melewati bersama dengan Khaira. Seolah Khaira adalah kembarannya sendiri.
Khaira pun tertawa renyah. Sampai-sampai ia melambai-lambaikan tangannya kepada dua bodyguard Bonar. “Da-dah!” teriak Khaira yang sudah semakin menjauhi Ucok dan Toha.
Ucok memukul setang motornya, “Ah sial!” ia melihat dengan tatapan hampa tidak bisa membawa Khaira kehadapan tuannya.
Tak berselang lama, Asep sudah berhenti di terminal bus yang menjadi tujuan gadis yang sedang diboncengnya.
Khaira lantas turun dari boncengan dengan membawa beban berat yang ada di punggungnya. Ia menadahkan wajahnya menatap awan berarak di hamparan luasnya langit biru.
Lalu mengedarkan pandangan melihat ke penjuru terminal. Ada bus yang masih stan by terparkir, ada pula bus yang siap akan berangkat ke tujuannya masing-masing. Tiket bus yang diperoleh dari Abah ia cermati, dan kembali melihat deretan bus yang berbaris terparkir. Khaira manggut-manggut merasa sudah menemukan bus yang dicari.
Asep memarkirkan motornya, ia melihat Khaira. Serasa ada yang mencubit relung hatinya. Entah perasaan suka atau sekedar mengaguminya saja. Karena Khaira adalah gadis yang kuat dan tegar, bahkan selama ia berteman dengan Khaira tak pernah ia mendengar Khaira bertutur kata manja. Mengeluh apalagi merengek.
Ya bagi Asep, semua wanita di dunia ini begitu sangat merepotkan. Maka dari itu, ia lebih tertarik terhadap sesama jenisnya. Tapi berbeda dengan Khaira, seperti ada magnet yang terus menerus membuatnya ingin dekat, ingin terus akrab. Bahkan ingin sekali memeluknya erat
Tapi Asep tahu, Khaira bukanlah seorang wanita yang gampang baperan hanya karena gombalan. Lamanya Asep memandangi Khaira, ia menyadarinya bahwa ia memang sudah tertarik sejak lama terhadap Khaira Ningrum.
“Ra, aku-” ucapan Asep mengambang di udara, kala Khaira mengucapkan kata terimakasih.
“Sep makasih ya, makasih sudah membantuku dan sudah mau mengantar ku sampai ke sini,” ungkap Khaira ia bersitatap dengan Asep.
Asep termangu, mengapa ada perasaan tidak rela? “Ra, kamu belum cerita apa masalahmu yang sebenarnya, sampai-sampai kamu harus pergi,”
Khaira bingung akankah ia bercerita kepada Asep tentang masalahnya. Namun ia tak mau sesumbar, ia tak mau terlihat tidak berdaya dalam menjalani hidupnya. Nampaknya ia harus mencari alasan yang pas untuk menjawab Asep yang sedang menunggu jawabannya, “Aku hanya ingin mencari pengalaman di kota Sep, aku ingin berpengalaman. Agar suatu saat pengalaman bisa menjadi guru terbaik ku,”
Asep menatap dalamnya manik mata Khaira. Mengapa ada perasaan mengganjal dengan jawaban Khaira, tapi memang masuk akal. Karena pengalaman adalah guru terbaik, “Ya udah hati-hati ya Ra, sesampainya nanti, jangan lupa hubungi aku,”
Khaira mengangguk mantap, “Pasti!” sekilas ia melihat jam di pergelangan tangan kanannya, waktu sudah menunjukkan pukul 08:25. Lagi dan lagi suara dua orang itu memanggilnya.
“Khaira!”
“Khaira!”
Asep maupun Khaira menoleh kearah sumber suara. Keduanya tercengang melihat Ucok dan Toha yang sedang berlari menuju dimana keduanya berdiri.
“Sebenarnya mau ngapain sih mereka Ra?” tanya Asep bingung dengan tingkah Ucok dan Toha yang selalu saja mengejar Khaira. Saat ia mengalihkan pandangannya, Khaira sudah berlari pergi menuju bus yang akan membawanya.
Asep kembali melihat Ucok dan Toha yang masih terus berlari menujunya, ia melihat Khaira dan kembali melihat Ucok serta Toha. “Nggak bisa dibiarkan!” ia mencoba untuk mengecoh kedua bodyguard Bonar.
Asep merentangkan kedua tangannya menghadang Ucok dan Toha, “Mau apa kalian sebenarnya?!”
“Hey Asep menyingkir lah dari hadapan ku!” sergah Ucok menyingkirkan tangan Asep yang membentang di hadapannya.
“Asep biarkan kami mengejar Khaira!” Toha mencoba berdiskusi secara halus dengan Asep. Namun nampaknya Asep menggeleng.
“Enggak, aku nggak akan membiarkan kalian mengganggu Khaira!” Asep melihat Khaira yang akan memasuki bus. “Cepet Ra!” teriaknya pada Khaira.
Asep, Ucok dan Toha pun menjadi pusat perhatian di sekitaran terminal bus. Asep menyadari satu hal untuk membuat Ucok maupun Toha tidak lagi mengejar Khaira.
“Tolong! Tolong! Mereka ini mau merampas tas saya!” teriak Asep meminta tolong kepada orang-orang yang sedang memperhatikannya.
Spontan saja orang-orang yang memang sedang memperhatikan Asep pun langsung menghampiri Asep dan menghakimi Ucok serta Toha.
Tepat pada waktunya bus pun jalan dan Khaira sudah ada di dalam bersama penumpang lainnya.
Asep melihat Khaira yang sudah masuk kedalam bus yang siap akan berangkat. Ia spontan melambai-lambaikan kedua tangannya. “Hati-hati Ra!” teriaknya dari kejauhan.
Dari balik kaca jendela bus Khaira melihat Asep yang melambaikan tangannya. Hatinya sungguh perih, melihat Asep seperti itu, buliran air mata tanpa disadari membasahi pipi. “Aku bakalan kangen kamu Sep.” gumamnya lirih.
Khaira merunduk lusuh. Berjalan dengan langkah gontai menuju kursi yang tertera pada tiketnya, tak ia hiraukan penumpang bus yang sedang memperhatikannya.
Hari di saat mentari begitu cerah menyorot pagi, namun tak mampu menembus jiwanya. Khaira kini hanya bisa mengikuti kemana kah takdir akan membawanya? Sulitkah? Mudahkah? Akankah ia mampu menjalaninya. Perasaannya saat ini benar-benar kacau, ia mengedarkan pandangannya menatap keluar jendela yang memperlihatkan situasi ramai di sudut jalanan kota Jogja.
•••
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Kinay naluw
ngapain si Ucok ngejar-ngejar.
2022-11-28
1
Nike Ardila Sari
Yang sabar dan kuat Ra. Pergi dari rumah itu adalah jalan terbaik bagimu, agar kamu bisa terhindar dari si Tua Bangka itu.
2022-10-31
1
Nike Ardila Sari
Aduuh, Aseep
2022-10-31
1