Dalam mimpinya Khaira sedang berada di dalam sebuah pertunjukan konser musik reggae. Sangat riuh tepuk tangan dalam menyambut sang bintang.
Alunan musik santai menggema tapi hanya di rasa dalam bawah alam sadarnya. Namun secara tiba-tiba musik reggae tergantikan oleh suara gedoran pintu yang cukup terdengar keras.
Brak! Brak! Brak!
Masih dengan mata terpejam, Khaira mengerutkan keningnya karena lama-kelamaan suara gedoran pintu semakin jelas terdengar. Secara bersamaan ia merasa dari riuhnya pertunjukan konser, ternyata ia hanyalah seorang diri di gelapnya mimpi. Seolah terjebak dalam pusaran waktu yang terhenti.
“Dimana aku?” gumamnya dalam mimpi.
Terdengar kembali suara pintu yang di gedor-gedor dengan lebih keras.
Brak!! Brak!! Brak!!
Membuatnya sontak saja membuka mata. Khaira menghela nafas panjang serta celingukan ke kanan dan ke kiri, refleks ia mengelus dada merasa lega, “Hahhh ternyata konser itu cuma mimpi?”
Mengingat kembali betapa riuhnya pertunjukan konser yang terlihat ramai, namun pada akhirnya ia hanya seorang diri. Membuat Khaira bergidik ngeri.
Khaira merasa kerongkongan kering, ia butuh air guna meredakan rasa hausnya. Ia melihat kakinya yang mulai tidak lagi membengkak seperti saat sore tadi. Akan tetapi rasa sakit masih ia rasakan. Menahan rasa sakit di pergelangan kakinya, ia perlahan berjalan keluar dari kamar.
Sesaat setelahnya sampai di dapur, Khaira mengambil gelas di rak piring dan menuangkan air dari teko yang berada di atas meja makan. Lantas duduk dan meminum air sampai tandas.
Tiba-tiba saja Khaira dikejutkan kembali oleh gedoran pintu. Persis sama, saat ia mendengarnya di mimpi, dan ternyata bukanlah sekedar mimpi, memanglah nyata ada gedoran pintu rumah sampai membangunkan nya.
Brak! Brak! Brak!
Khaira membulatkan matanya menatap gelas yang sedang dipegangnya. “Siapa itu? Apa mungkin Abah?” ia memiringkan sedikit kepalanya mengigit bibir bawah lalu beralih menatap rak piring, “tapi kalau Abah, kenapa Abah menggedor pintu, bukannya Abah bawa kunci?”
Khaira semakin penasaran, siapakah gerangan yang ingin bertamu malam-malam. Memang tidak ada waktu lain, seumpamanya di siang hari. Atau jangan-jangan vampir yang takut matahari?
Ah entahlah, mencekam memang. Tapi bagi Khaira sebelum ia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri, ia belum merasa puas hati. Ia melewati ruang tengah jam menunjukkan pukul 00:00. Khaira sedikit terkejut melihat jam yang ia lihat di dinding.
Andai saja ia punya cctv, pasti takkan ia biarkan rasa penasaran menghantui. Abah biasanya akan pulang jam dua sampai jam tiga pagi. Mengingat kasus pencurian kambing membuat warga di kampung Situ Babakan menggencarkan siskamling malam.
Kembali terdengar gedoran pintu bersamaan dengan teriakan bersuara berat yang memanggil namanya.
Brak! Brak! Brak!
“Khaira! Khaira!” suara seorang laki-laki dari luar pintu.
Khaira menelan ludahnya yang serasa mengganjal, ia membulatkan mata. Suaranya tak asing, ingin berpikiran buruk takut salah orang, tapi tetap saja pikiran buruk mengarah pada satu orang yaitu “Bonar!” ia mengendap-endap menuju jendela, lampu sengaja ia tidak nyalakan.
Memegangi ujung gorden warna cokelat tua, Khaira mengintip dari balik gorden yang ia buka sedikit. Betapa terkejutnya saat melihat seseorang yang berdiri di depan pintu sambil membawa sebotol miras.
“Mau apa Paman kemari? Apa dia mau mencari masalah lagi?” bisik Khaira seorang diri. Takut berbaur menjadi satu dengan rasa penasarannya. Pada akhirnya Khaira duduk bersimpuh di bawah jendela.
khaira tentu terkejut dan merasa suasana semakin mencekam, apalagi ia hanya seorang diri di rumah. Seolah ia sedang berada di suatu film di mana pembunuh akan masuk ke dalam rumah.
Suara dari grandal pintu yang coba di buka oleh Bonar membuat Khaira terkesiap.
“Dasar paman gila, dia memang sikopat!” umpat Khaira lirih.
“Khaira aku tau kamu di rumah, aku hanya ingin bicara padamu. Paman mu ini janji, nggak akan melakukan hal biadab padamu, paman janji,” seru Bonar di luar pintu rumah, ia sesekali mencoba membuka pintu yang terkunci.
Khaira diam saja, sambil membekap mulutnya sendiri agar tidak menimbulkan suara. Namun mendadak ada suara yang sangat familiar di telinganya.
Yah, itu suara Abah. Khaira secara refleks menyibakkan gorden dan benar saja itu Abah.
“Bonar!” teriak Abah lantang, berdiri di halaman rumah.
Bonar membalikkan badannya, memunggungi pintu. Samar-samar ia melihat Kakak iparnya itu yang tersorot dari cahaya lampu yang tertutupi dedaunan mangga, “Eh Mas Ahmad udah pulang toh?”
Abah mendekati Bonar dan langsung saja mencengkram kuat kerah baju yang Bonar pakai.
“Woh-woh, santai saja Mas Ahmad,” kata Bonar bersuara serak-serak basah, sembari memegangi tangan Abah yang tengah mencengkram kuat kerah bajunya.
Abah geram melihat tampang Bonar yang terlihat menyebalkan. Tercium aroma miras yang menguar di udara ketika Bonar berbicara. “Sedang apa kamu di rumah saya, Bonar!”
Bonar memasang wajah slengean, ia tersenyum licik mendengar pertanyaan dari Kakak iparnya itu, “Aku hanya ingin melihat keponakan ku saja, Mas. Dia sangat mirip dengan Purwasih, aku merindukannya,”
Abah berang lantas melepaskan cengkeramannya begitu saja, hingga Bonar terhuyung-huyung dan jatuh ke lantai teras rumahnya, “Dengar Bonar, saya ndak akan membuang waktu untuk berbicara pada orang sepertimu! Pantaskah jika saya mengirim mu ke neraka, Hah?!”
Abah mulai mengeluarkan golok dari tempatnya. Sorot mata Abah menyiratkan ketidaksukaannya terhadap pria bernama Bonar Sumargo ini.
Bonar masih saja bersimpuh di lantai, ia tertawa renyah. “Hahaha...” ia kemudian mencoba untuk menopang tubuhnya. Berdiri di hadapan Abah, dari penerangan lampu teras. Ia sayup-sayup melihat pancaran kebencian dari sorot mata Abah, “Ya, jika itu yang membuat Mas senang, setelah Mas merebut Purwasih dariku, Mas juga akan membunuhku?” Bonar menepuk-nepuk dada Abah.
Abah masih tetap berdiri gagah, meskipun dadanya sedang tepuk Bonar cukup kuat.
“Bunuh saja aku Mas, bunuh saja, setelah itu buang saja mayat ku di tanah lapang agar di makan burung gagak!” Bonar menarik golok yang dipegang oleh Abah, untuk ia dekatkan di lehernya. Seolah pasrah saja, jika memang ia harus mati detik ini pula.
Abah tercengang mendengar pengakuan Bonar. Beliau mengerti satu hal, mengapa Bonar terus menerus mengganggu putrinya, Bonar telah terjebak di antara masa lalu. “Saya ndak merebut Purwasih dari mu Bonar, saya juga ndak tau kalau kamu dulu menyukai Purwasih,”
Bonar terdiam, ia memang salah telah mencampakkan Purwasih, dan itulah yang membuatnya menyesal seumur hidup. Demi bisa melupakan Purwasih yang kala itu menikahi Ahmad Khoirun, Bonar pun menikahi adik dari Purwasih.
Khaira terperangah dengan apa yang dilihatnya. Tidak ingin sesuatu yang mengerikan terjadi. Ia berjalan menuju pintu dan membukanya, “Abah!” ia berseru melihat Abah dan beralih melihat Bonar.
Abah maupun Bonar terkejut melihat Khaira yang sudah berdiri di ambang pintu. Abah sontak saja menurunkan goloknya dari leher Bonar. Sedangkan Bonar tersenyum bengis menatap anak dari wanita yang dicintainya.
“Aku akan datang lagi!” Bonar pun pergi dari rumah Abah dengan berjalan sempoyongan di halaman rumah dan berikutnya menuju jalanan.
Khaira mendekati Abah, “Abah!”
Abah merasa lega melihat putrinya baik-baik saja. Pikiran kalut akan terjadi sesuatu hal yang buruk seketika sirna, beliau merangkul putri satu-satunya, “Abah sangat lega kamu baik-baik saja, Ning,”
“Abah, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Paman menyebut nama Ibu?” Khaira mendengar percakapan antara Bonar dan Abah, dan membuat rasa penasarannya kembali membuncah.
Abah kembali melihat halaman rumah, Bonar sudah tidak terlihat. Lantas kembali menatap putrinya, “Ndak ada apa-apa Ning, masuklah. Abah ingin bicara padamu.”
Khaira menuruti perkataan Abah, ia masuk kedalam rumah dan duduk di sofa ruang tengah. Setelah mengunci pintu, Abah pun menyusul Khaira lantas duduk tidak jauh dari putrinya.
Abah menatap penuh kasih, matanya mulai berkaca-kaca mengingat beliau tidak bisa hidup tanpa putri kecilnya yang sekarang sudah tumbuh menjadi gadis dewasa, “Anakku, pergilah dari sini. Abah mohon.”
•••
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Kinay naluw
hadeh si Bonar cinta lama belum move on.
2022-11-27
2
Maulana ya_Rohman
masih nyimak thor
2022-11-18
2
Nike Ardila Sari
Kasih sayang seorang Ayah, ya mungkin Abah nggak ingin anaknya diganggu sama Bonar lagi 😥
2022-10-24
1