Khaira sampai di kamarnya yang mungil, ia merebahkan diri ke kasur yang tidak terlalu empuk tapi baginya sangatlah nyaman.
“Kenapa Abah selalu membicarakan soal menikah, menikah, dan menikah? Padahal aku kan belum genap 22 tahun,” selorohnya kesal jika sudah membahas tentang pernikahan.
“Abah menikah sama Ibu, wanita yang sangat Abah cintai, tapi Ibu tega meninggalkan Abah dan anaknya begitu aja,” gumam Khaira lirih, ia teringat akan sosok Ibu dan membuat hatinya serasa sesak.
Kelopak matanya serasa memanas, tak terasa buliran air mata jatuh membasahi pipi, Khaira sontak saja menghapus air matanya dengan kasar, “Aku menangis bukan karena nggak punya Ibu, tapi aku menangis karena Ibu tega! Kenapa Ibu membiarkan Abah larut dalam dilema kehampaan selama ini. Bahkan Abah selalu menolak jika aku memberinya saran untuk menikah lagi.”
Khaira duduk melamunkan diri di bawah jendela, “Ibu, apa Ibu tau. Abah selalu berkata, bahwa Ibu adalah wanita yang sangat Abah cintai. Itulah sebabnya Abah selalu menolak untuk mencari pengganti Ibu. Meskipun ada beberapa wanita yang mencoba mendekati Abah, termasuk Mbok Damirah si bakul sego (pedagang nasi),”
Lagi-lagi Khaira menghela nafas panjang, menopang dagunya dengan kedua tangan, ia melihat foto Abah bersama dirinya di atas meja kecil persis didepannya, “Abah selalu menyalahkan diri sendiri atas kepergian Ibu, Abah selalu merasa menjadi seseorang yang nggak bisa membahagiakan Ibu dengan materi. Jika benar seperti itu, apakah Ibu seorang wanita yang materialistis?”
Tak ada lagi foto sang Ibu, karena ia sudah menyingkirkannya sejak ia merasa tidak ada harapan lagi untuk Ibu kembali. Persisnya sudah sepuluh tahun yang lalu.
Khaira menyadari, ia adalah seorang gadis yang tumbuh dari keluarga yang sangat sederhana. Meskipun sang Ayah sudah berjuang untuk mencari rupiah, tapi tetap saja sang Ibu pergi entah kemana. Ia merasakan kehancuran keluarga yang membuatnya nestapa.
Dari kehancuran keluarga yang tidak harmonis itulah sebabnya Khaira memandang rendah terhadap ikatan pernikahan. Dan membuatnya tidak memikirkan tentang pernikahan apalagi rencana untuk berumah tangga.
Khaira merasa takut, jikalau ia menikah dan memiliki pasangan. Ia akan ditinggalkan begitu saja oleh pasangannya sama seperti hidup Ayahnya yang ditinggal pergi oleh istri yang dicintainya, dan hanya menyisakan kehampaan di sisa hidup sang Ayah.
••
Keesokan harinya Khaira kembali berdagang ayam chicken. Yah, sama seperti saat ia sebelum bekerja di warnet pamannya.
Bukan hanya dagang ayam chicken, akan tetapi Khaira juga pernah menjajaki beberapa pekerjaan di sebuah garment pada saat itu garment mengalami kebangkrutan dan semua karyawan di PHK secara masal.
Pernah juga bekerja di supermarket, namun tak berselang lama, karena adanya masalah internal antara ia dan seorang karyawati yang suka mencari muka terhadap manajer supermarket tersebut.
Dan pernah juga menjajaki pekerjaan di pasar sebagai pedagang sayuran. Akan tetapi, adanya persaingan yang sengit, membuatnya harus gulung tikar. Dan jatuhlah pilihan di ayam chicken, pada saat masanya, ayam chicken buatannya sangat digemari dan di tunggu-tunggu oleh para pelanggan.
Namun, seperti biasa. Adanya pedagang nakal, yang menggunakan ilmu hitam untuk membuat dagangannya tidak laku terjual.
Itulah sebabnya Khaira menerima tawaran paman Bonar untuk menjaga warnet plaza miliknya.
Khaira keliling tidak menggunakan motor, ia menggunakan sepeda ontel milik Abah. Yah begitulah, Khaira beranggapan jikalau menggunakan bahan bakar, maka ia harus membagi hasilnya untuk membeli bensin.
Sedangkan ayam chicken jualnya dengan harga yang relatif murah dari pedagang chicken lainnya. Dengan harga enam ribu rupiah per satu potong ayam chicken.
“Ayam chicken, ayam chicken!” teriak Khaira lantang menyuarakan dagangannya.
“Khaira, beli!” seorang Ibu menghentikan laju sepeda Khaira.
Dengan gesit dan penuh semangat, Khaira langsung saja mengerem laju sepedanya, “Mau beli berapa Bu Lastri?”
“Dua aja,” jawab Bu Lastri, ia adalah pelanggan yang masih setia menunggu ayam chicken buatan Khaira.
“Nggak tiga aja Bu, aku kasih diskon deh,” tawar Khaira, karena masalah kemarin membuatnya sepi pelanggan.
“Kalau saya beli tiga dapet diskon berapa?” jawab Bu Lastri penasaran.
“Saya kasih enam belas ribu, Bu yang biasanya tiga potong ayam delapan belas ribu,” jawab Khaira antusias.
Nampaknya tawaran Khaira membuat Bu Lastri tergiur, “Oke deh saya beli tiga,”
“Wih, Alhamdulillah,” Khaira nampak senang gembira riang, ia langsung saja mengambil ayam chicken menggunakan capitan dan memasukkan ayam satu persatu ke kantong plastik bening.
“Ini Bu Lastri,” ucapnya memberikan kantong plastik berisikan ayam chicken pada Bu Lastri.
“Ini uangnya.” kata Bu Lastri memberikan uang kepada Khaira.
Khaira tersenyum sumringah dan langsung menanggapi uang Bu Lastri, “Makasih Bu Lastri,”
“Iyah sama-sama.” jawab Bu Lastri, lantas pergi dari hadapan Khaira dan menuju kerumahnya.
Khaira melihat ayam chicken nya yang masih ada setengahnya dari kotak books berukuran sedang. Ia menghela nafas, “Ya Allah semoga satu putaran lagi, ayam-ayam ini habis terjual. Supaya bisa ada pemasukan.”
Khaira kembali mengayuh sepeda ontelnya. Tanpa patah semangat, ia kembali meneriakkan ayam chicken nya.
“Ayam chicken, ayam chicken!”
Teror pertama pun dilayangkan oleh Bonar. Pada saat Khaira sedang berkeliling menjajakan dagangan ayam chicken nya.
Bukan Bonar sendiri yang akan melayangkan teror, tapi dua bodyguardnya yang sedang bersembunyi di balik semak-semak dan pepohonan besar di pinggiran jalanan.
Toha melempar batu yang lumayan besar, dan tepat mengenai sasaran pada roda sepeda ontel yang sedang berputar.
Khaira terkejut rodanya mendapatkan lemparan batu, “Woy siapa itu yang melempar batu?!” ia menoleh ke kanan dan ke kiri tapi tidak ada yang terlihat mencurigakan.
Semua orang yang melintas terlihat normal, justru ialah yang seolah tidak normal karena tiba-tiba saja berteriak tidak jelas.
Lemparan pertama Khaira masih bisa menyeimbangkan sepeda ontelnya untuk melaju pelan. Dan datanglah lagi lemparan batu yang lebih besar dari sebelumnya.
“ABAH!!!” teriak Khaira jatuh menghantam aspal.
Kali ini Ucok yang melemparkan batunya, dan tepat sasaran. Ia melihat dari balik pepohonan Khaira terjatuh ke aspal sedangkan sepeda ontel masuk kedalam parit serta ayam chicken berhamburan ke mana-mana.
“Haduh-haduh sakitnya punggung ku, telapak tangan ku, pergelangan kakiku,” Khaira mengusap-usap telapak tangannya yang terkena kerikil kecil dan menyebabkannya tergores serta luka-luka.
Beberapa orang yang lewat pun menolong Khaira, ada yang mengenalnya dan ada juga yang tidak. Orang-orang membantu Khaira berdiri dan ada pula yang membantu mengambil sepeda ontel yang bengkok pada bagian setangnya.
Toha dan Ucok segera berlari meninggalkan tempat kejadian dimana Khaira sedang di tolong oleh warga.
Khaira mengedarkan pandangannya dan tidak sengaja sekilas ia melihat Toha dan Ucok lari terbirit-birit. Sambil menahan sakit, pikiran buruk mulai terbesit.
“Makasih Mbak, makasih Mas.” ucap Khaira kepada orang-orang yang telah menolongnya.
“Sama-sama, lain kali hati-hati Mbak.” jawab seorang pria yang telah menolong Khaira.
“Iyah.” jawab Khaira pasrah, ia kembali menuntun sepeda ontelnya yang setangnya bengkok sebelah. Perasaannya semakin sedih, kala melihat ayam chicken nya kotor di atas aspal dan di pinggiran jalanan terkena rumput liar. Ia menghela nafas panjang.
“Ya nasib, mengapa jadi begini? Ingin menangis tapi nggak ada yang mencubit, ingin berteriak nanti disangka orang gila. Bagaimanakah mengekspresikan perasaan kecewa ku ini?” Khaira berjalan pincang dengan menuntut sepeda yang ikut jadi korban, “Apa kata Abah nanti, sepeda ontel kesayangannya mengkong? [bengkok]”
Asep sedang mengendarai sepeda motornya, ia baru pulang dari tempat kerjanya dan tidak sengaja melihat seseorang yang dikenalnya sedang menuntut sepeda ontel sambil berjalan terpincang-pincang.
Asep menghentikan laju motornya, “Khaira?”
Merasa ada yang memanggil namanya. Khaira spontan saja menoleh kearah seberang jalan, dan melihat Asep. Ingin sekali rasanya menangis dihadapan lelaki itu, dan bersandar pada bahunya. Tapi ia tidak ingin orang lain menganggapnya lemah tak berdaya. “Asep!”
Asep menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati sejenak lalu lalang kendaraan yang melintas. Setelah sepi, ia menyeberang jalan dan mendekati Khaira di tepi jalan. Ia mengamati Khaira dari ujung kaki sampai ujung kepala. Empati dan ingin tertawa berbaur jadi satu, “Hahaha kamu kenapa Ra?”
Khaira tentu saja merasa kesal, melihat Asep yang tertawa setelah melihat kondisinya, “Jadi kamu manggil aku cuma mau ketawa doang?!” ia kembali berjalan pincang dan menuntun sepeda ontelnya meninggalkan Asep.
“Lah dalah, dia marah?” Asep menggaruk kepalanya, “Hey Ra! Jangan marah gitu dong,” Asep kembali menarik gas motornya lalu membuntuti Khaira.
Khaira masih saja terus berjalan, “Sudah sana pergi, kalau kamu mau ketawa ya silahkan aja. Tapi jangan ngetawain orang yang baru aja terkena musibah!”
“Yah tentu saja aku tau jikalau Khaira terkena kecelakaan kecil, bukti dari kecelakaan kecil itu. Berupa jalannya yang pincang, setang sepeda ontelnya mengkong, serta wadah books ayam yang pecah,” jawab Asep masih membuntuti Khaira yang nampak enggan untuk berhenti jalan.
“Terus kenapa kamu masih ketawa? Seneng iya lihat aku begini adanya? Iya seneng?” ucal Khaira merajuk kesal.
“Iya-iya maaf, aku nggak ketawa lagi. Abis aku lihat setang ontel kamu yang mengkong ini lucu, hahaha,” seloroh Asep melihat setang sepeda ontel yang memang bengkok.
Khaira spontan saja menggejuk bumi dengan kakinya yang keseleo, hingga membuatnya mengerang sakit. “Aduh sakit!”
Asep terkesiap dan langsung saja mematikan mesin sepeda motor serta memarkirkan nya, “Kamu keseleo Ra?”
“Udah tau, nanya?!” jawab Khaira galak.
“Ya udah sini aku yang bantu kamu bawa sepeda ontel, kamu naik motorku aja,” tawar Asep.
Tanpa penolakan Khaira mengangguk.
Asep menuntut sepeda ontel Khaira sedangkan Khaira mengendarai motor matic milik Asep.
Selama satu jam lebih, Asep maupun Khaira lewati sembari bercengkrama mengingat semasa sekolah. Tak terasa telah sampai di halaman depan rumah Abah.
Abah yang baru saja keluar dari dalam rumah dengan memakai sarung dan baju koko hendak berangkat ke mushola pun dikejutkan dengan kepulangan anaknya yang nampak lusuh dan beralih mengamati sepeda ontelnya yang masih dipegang oleh Asep.
“Astaghfirullah, ada apa ini?” seru Abah menghampiri Khaira yang baru saja memarkirkan motor milik Asep.
•••
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Kinay naluw
balas aja tuh duo kacung itu.
2022-11-26
1
Nike Ardila Sari
Aduuh Khaira
2022-10-19
0