Abah menghela nafas panjang, “Sudah saatnya kamu memikirkan untuk mencari pendamping hidup. Abah ndak akan mungkin terus menerus menemani kamu, nduk,”
••
Khaira menatap Abah, matanya serasa memanas serasa ada air mata yang akan tumpah dari sana. Namun Khaira menahannya agar tidak menangis dihadapan Abah, “Abah, tanpa menikah pun Ning akan baik-baik saja, dan Ning nggak akan merasa hidup kesepian. Dan juga Abah, akan hidup lebih lama lagi,”
Abah kembali menghela nafas panjang, selalu saja sama jawaban anaknya itu, enggan membahas soal pernikahan, “Percayalah sama Abah, mau ndak mau. Siap ndak siap, jika Allah sudah berkehendak maka ndak ada yang dapat mengingkarinya, Ning,”
Khaira menengadahkan wajahnya, matanya melihat susunan genteng serta kayu yang sudah usang, “Siapapun laki-lakinya, jika dia mampu membuat Ning merubah sudut pandang Ning tentang pernikahan. Maka Ning akan berusaha menerima kenyataan bahwa memang kodrat manusia setelah cukup usia adalah menikah dan berumahtangga,”
Abah tersenyum mendengar jawaban putrinya. Ada secercah harapan untuk mencarikan putrinya laki-laki sebagai pendamping hidup.
Khaira kembali menatap Abah, sekilas ia melihat sajadah Abah yang terlampir di sandaran sofa, “Abah nggak pergi ke mushola, udah waktunya adzan magrib loh Bah,”
Abah beranjak dari duduknya, lantas mengambil sajadah di sandaran sofa, “Jika Abah belum terlihat di mushola, maka ada seorang pemuda yang akan menggantikan Abah adzan,” tak lama setelah mengatakan itu, terdengar lantunan kumandang adzan yang sangat merdu. “tuh kan,”
Khaira tersenyum simpul meskipun kakinya masih di dera rasa sakit.
Sebelum Abah keluar dari ruang tamu, Abah menoleh kearah putrinya yang duduk selonjoran di sofa, “Kamu mau tau siapa pemuda yang memiliki suara adzan merdu itu?”
Khaira menggeleng.
Meskipun putrinya menggeleng, tapi tetap saja Abah menyebutkan pemuda yang tengah mengumandangkan adzan magrib, “Dia bernama Alwi Zulkifli.” setelah menyebut pemuda Muazin yang selalu menggantikannya adzan. Abah kemudian pergi dari ruang tamu dan menuju ke mushola.
Khaira terkekeh geli melihat sikap Abah, “Abah-abah buat apa coba sebutin tuh nama? Memangnya aku perduli?” Khaira mengangkat kedua bahunya, dan kembali menekan-nekan pergelangan kakinya yang keseleo dan mendesaah sakit manakala menekannya terlalu kuat, “Sssshhh... sakit.”
Rasa sakitnya membuat Khaira teringat saat kejadian yang membuatnya terjatuh ke aspal. “Lagi apa Ucok sama Toha di sana?” ia berpikir bahwa mungkin saja yang membuatnya terjatuh akibat ulah kedua bodyguard Bonar. “Jangan-jangan yang melempar batu, itu kerjaannya si Toha sama Ucok?”
Khaira menggeleng-gelengkan kepalanya, “Tapi buat apa mereka melempari ku batu?”
••
Pukul 22:11 wib
Abah sudah siap untuk menjalankan tugasnya di pos ronda. Karena saban hari rabu Abah akan melakukan kegiatan siskamling guna menghindari masalah pencurian atau sesuatu hal yang tidak di inginkan mengenai kampungnya.
Abah terlebih dahulu pamit kepada putrinya, kendati anaknya itu sudah mengetahui bahwa setiap malam rabu sang orang tua tunggalnya akan siskamling.
Abah membuka pintu kamar Khaira, beliau melihat putrinya masih terjaga dengan buku dari fakultas kedokteran, “Abah mau siskamling, Ning,”
Khaira langsung menyembunyikan buku yang ia pinjam dari Asep, “Eh, iya Bah,”
Abah berjalan menghampiri Khaira yang duduk di kursi samping jendela kamar, “Buku yang kamu sembunyikan, Abah sudah melihatnya. Bukankah buku itu buku fakultas kedokteran? Pasti kamu meminjamnya dari Asep kan?”
Khaira tersenyum hambar, ia kemudian menunjukkan buku yang semula ia sembunyikan dan menunjukkannya pada Abah, “Cuma iseng aja Bah,”
Abah menghela nafas pelan, lalu mengangkat tangan kanannya dan mengusap pucuk kepala putrinya, “Maafkan Abah, karena ndak bisa memberikan mu pendidikan yang layak kamu dapatkan,”
Khaira menggeleng, lalu menaruh buku yang dipinjamnya dari Asep di atas meja kecil, “Enggak Bah. Ning nggak masalah walaupun Ning nggak sekolah sarjana, bagi Ning sudah lulus setingkat SMK pun Ning sudah merasa bangga, lihat tuh temen-temen SMP Ning, mereka ada yang putus sekolah dan ada juga yang sudah menikah dan punya anak,”
Abah manggut-manggut, “Kalau begitu kenapa kamu ndak mau menikah?”
Khaira dleming, ia kemakan omongannya sendiri. Ia mengigit lidahnya sendi, “Aih si Abah mah, selalu saja bisa membahas perihal pernikahan?” monolognya dalam hati.
Khaira jadi merasa malas untuk membahasnya lebih lanjut, “Abah, masa depan Ning masih panjang, masih cerah, Ning nggak mau terjebak ke dalam pernikahan yang akan membuat Ning nggak punya kesempatan untuk menjadi orang sukses dalam berkarir, Abah,”
Abah terkekeh mendengar berbagai alasan putrinya untuk tidak membahas masalah pernikahan, “Hahaha... Baiklah-baiklah, alasan yang kamu gunakan selalu berbeda-beda Ning,”
Abah berbalik badan hendak menuju pintu kamar, namun sebelum keluar Abah kembali melihat putrinya yang duduk termenung di samping jendela kamar, “Ning, jangan tidur terlalu malam, kaki mu masih sakit,”
Khaira mengalihkan atensinya dari semula menengadah wajahnya menatap bulan sabit di luar jendela kamarnya kini melihat Abah.
“Iya Abah, Abah juga hati-hati saat siskamling. Kalau lagi ngejar maling, jangan sembarangan mengeluarkan golok!” ujar Khaira memperingati Abahnya agar tidak mudah menggunakan senjata tajam, ia mengingat beberapa minggu yang lalu terjadi kasus pencurian kambing milik warga.
Abah manggut-manggut, “Abah membawa golok hanya untuk berjaga-jaga saja Ning, mengingat maling sekarang nekad, dan bisa saja melukai seseorang yang memergoki saat mereka beraksi.” lantas Abah menutup pintu kamar putrinya.
Khaira melihat pintu kamarnya yang di tutup oleh Abah, pintu kamar yang menjadi saksi atas senangnya, sedihnya. Bahkan ketika ia meratapi nasibnya, “Hehh... Abah nggak tau seberapa besar aku trauma dengan yang namanya pernikahan dan jatuh cinta. Meskipun aku belum pernah tau apa seperti apa itu pernikahan, tapi aku pernah jatuh cinta pada seorang pemuda letong. Kalau aku bisa memilih maka aku ingin menjadi wanita karir saja,”
Khaira kembali teringat Asep, ia mengalihkan atensinya menatap buku yang dipinjamnya dari lelaki letong itu.
“Sep, kenapa kamu nggak sejantan yang ku kira! Aku merasa gagal telah terpana kala melihat mu Sep.“ gumamnya lirih, ia kembali menengadahkan wajahnya menatap bulan sabit yang nampak cerah di langit gelap.
“Khaira Ningrum, kenapa kamu bisa memiliki perasaan ini sama cowok letong itu?” Khaira merasa kesal, karena ia telah salah menaburkan benih-benih cinta terhadap pria yang bernama Asep.
Khaira menghela nafas panjang lantas menutup gorden jendela kamar, dan berjalan terpincang-pincang ke ranjang mungil miliknya. Merebahkan diri ke atas kasur yang tidak terlalu empuk, ia menatap plafon putih yang sudah mulai usang.
Yah, semua yang ada di rumah yang Abah bangun kurang lebih sudah sembilan belas tahun lamanya memanglah lumayan usang. Namun, Khaira merasa bersyukur. Karena rumah orangtuanya bukanlah rumah sengketa ataupun rumah mengontrak. Sehingga ia tidak perlu takut di usir. Kecuali jika Abah yang menganggapnya anak durhaka dan ia di usir dari rumah.
Tapi itu mustahil, Abah bagi Khaira adalah malaikat tanpa sayap. Abah bisa menjadi figur seorang Kakak, seorang Ibu dan terlebih lagi menjadi seorang Ayah.
Memang benar ungkapan kata-kata yang mengatakan, bahwa Ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Khaira tidak memungkiri itu, bahwasanya ia merasa Abah adalah pahlawan kala dirinya di ejek oleh teman-temannya saat SD dulu. Saat ia menghadapi masalah, Abah akan selalu menjadi garda terdepan untuk melindungi putri satu-satunya.
Dalam keterombang-ambingan hidup yang tidak menentu, kadang senang, kadang sedih. Khaira selalu berusaha berpikir positif thinking tentang situasi dan kondisi hidupnya. Jikalau berpikir lebih bijak, dari hidup sederhana memang ada sesuatu yang sepatutnya disyukuri. Daripada terus membanding-bandingkan diri, dan melupakan kebahagiaan yang hakiki.
Khaira mencoba menggerakkan kaki kanannya, masih sangat-sangat terasa nyeri. Ia mengkhawatirkan besok, bisa tidaknya ia berjualan ayam. Khaira kembali menghembuskan nafas panjang.
“Khaira, semua akan baik-baik saja. Jadi pejamkan saja matamu, dan lupakan rasa sakit di pergelangan kaki mu.” mencoba menguatkan diri. Khaira memulai membaca doa dan memejamkan mata. Membayangkan ada seorang pangeran berkuda putih datang menjemputnya, “Hahaha... Kuda putih dari Hongkong!” tawa Khaira masih memejamkan mata, kala membayangkan sosok pangeran berkuda yang ada di cerita dongeng hanyalah kebohongan semata.
•••
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Kinay naluw
si Abah nih nyuruh nikah mulu calonnya aja belum ada yang click.
2022-11-27
1
Nike Ardila Sari
Mana tahu Asep datang di mimpimu sebagai pangeran berkuda.😍
2022-10-20
0
Nike Ardila Sari
Kamu salah lihat dan salah paham kali Ra.
2022-10-20
0