"Aku ikut senang akhirnya kamu bebas Ra,” ujar Meta, kini ia telah bisa berlapang dada membuka diri tentang perasaannya sebelum dijatuhi hukuman mati.
"Aku akan sering-sering ke sini untuk menjenguk kalian, tapi kalau aku nggak kesini bisa jadi aku lagi sibuk nonton Wiro sableng di YouTube,” ujar Khaira menyembunyikan rasa sedih akan berpisah dari ke-lima wanita yang baru beberapa hari sudah menjadi kawannya.
Sontak saja ucapan Khaira tentang Wiro sableng membuat suasana haru berubah menjadi gelak tawa.
"Haha... Itu kan film jaman Emak masih muda Ra,” ujar Rani mengenang kembali masa-masa mudanya.
“Yang lirik lagunya gini kan?” ujar Sali, “Wiro sableng, dasar sableng. Gurunya gendeng, muridnya sableng!”
“Wah kamu hapal Sal lagunya?” tanya Ani mencubit paha Sali.
Sali mengusap paha yang terkena cubitan Ani, “Tau dong, kan saben hari aku nonton filmnya pas aku masih kecil,”
"Hehe Emak jadi ingat kan sama kakanda Yanto,” Susi masih mengingat cerita sederhana yang pernah diceritakan oleh Rani, bahwa mantan pacar Rani adalah si hitam manis tukang sol sepatu.
"Apaan sih kamu Sus!” Rani nampak malu-malu.
"Ahaayy Mak Rani malu-malu kucing,” seru Sali ikut menggoda Rani.
"Ehem-ehem... Siapa Kakanda Yanto, almarhum suami Mak Rani atau pacar Mak Rani di lapas ini?” tanya Khaira, ia tidak tahu cerita yang dikisahkan oleh Rani, karena sebelum itu, ia belum datang.
"Sini ta bisikin,” Susi menarik lengan Khaira dan berbisik-bisik hingga keduanya sontak saja tertawa.
“Hahaha... masa Mbak Sus?” Khaira tertawa renyah.
Susi mengangguk, “He'em.”
"Susi ceritanya nggak begitu yah, kamu jangan mengubah alur yang sudah ku ceritakan,” Rani mengibaskan tangannya di depan Susi.
Susi hanga mengangkat bahu sambil crengengesan, "Cuma beda alurnya sedikit Mak, tapi tenang. Emak masih aman.”
"Emak memang cantik meskipun sudah tua dan banyak keriputnya pun masih terlihat cantik apalagi sewaktu masih muda. Uuuhhh pasti banyak bujangan mengantri, hehe” kata Khaira memuji kecantikan Emak Rani yang masih terlihat sampai detik ini dan diakhiri dengan terkekeh kecil.
"Bisa-bisa nih ya, kalau aku dulu seumuran Mak Rani nggak bakalan ada yang melirikku,” Sali ikut-ikutan mengimbuhi ucapan Khaira.
"Kalian itu bicaranya ada-ada saja.” ujar Rani menggeplak paha Khaira yang saat ini dibalut celana panjang warna hitam.
Saat ini sel tahanan yang ditempati Khaira nampak riuh dengan diselingi senda gurau. Semua wanita di sel tahanan ini saling menghargai satu sama lain, kendati mereka adalah tersangka kasus kejahatan yang berbeda-beda.
Namun tidak ada yang pernah memojokkan atas apa yang sudah membawa wanita berbeda generasi serta berbeda ras ini sampai ke penjara. Semua orang punya caranya masing-masing untuk menjalani hidup.
Saat tengah berbincang riang gembira, seorang polisi memanggil Khaira, "Saudari Khaira Ningrum.”
"Ra kamu di panggil tuh,” seru Meta menunjuk seorang polisi.
Khaira menoleh kebelakang, karena memang posisinya membelakangi pintu sel tahanan. "Iya Pak polisi,”
"Ayah kamu sudah menunggu di luar,” kata petugas polisi.
"Sudah saatnya kamu pulang Ra, kamu memang bukan orang jahat, nggak sepantasnya kamu berada di sini,” Ani ikut bersuara.
Khaira mengecap, "Cick.. Mbak Ani ngomong apa sih Mbak, kita semua sama. Kita ini manusia baik-baik, hanya saja memang kita ini berbeda, beda alur kisahnya.”
"Kalau nanti aku sudah keluar dari sini, aku pasti main ke rumah mu Ra,” ujar Sali mengusap pipi Khaira, wanita yang hanya beda dua tahun dari Khaira merasa berat untuk berpisah.
"Udah jangan pada mewek ahk, aku kan masih hidup.” Khaira tersenyum hambar, ada dua perasaan yang tercampur aduk menjadi satu di dalam hati. Yaitu antara senang bisa keluar dan bebas dari apa yang dituduhkan, sedih karena harus berpisah dari ke-lima wanita hebat yang sudah berjuang demi hidup. Tapi, ia juga tidak mau berlama-lama di penjara.
"Iya Pak," jawab Khaira, lagi dan lagi ia menatap satu persatu dari kelima wanita yang sedang tersenyum simpul menatapnya. "Nggak terasa lima belas hari aku kenal kalian, tapi aku berasa banget kaya menemukan sebuah keluarga baru.”
"Kita juga sama Ra, kamu orang yang ceria, dan semoga selalu ceria,” ucap Sali.
"Kamu juga selalu ngingetin supaya kita rajin ibadah, padahal mungkin kamu sendiri sering meninggalkan sholat,” Susi berkata lirih.
"Hahaha kamu tau Mbak Susi, aku hanya sok-sokan biar terlihat kalem. Padahal jenis musikku reggae dan DJ,” Khaira tertawa, mengingat alirannya memang tidak sekalem dugaan orang-orang.
"Khaira kamu mau pulang atau tetap di sini.” petugas polisi memberikan Khaira peringatan karena terlihat Khaira betah di dalam sel.
Mendengar peringatan petugas polisi membuat Khaira seketika terkesiap dan spontan berdiri. "Siap Pak, jelas saya mau pulang.”
Khaira mengambil barang-barang yang dibawakan Abah. Tak terbayangkan selama lima belas hari setiap kunjungan Abah, Abah selalu membawa barang. Dan inilah hasilnya hampir dua karung berukuran lima puluh kilo gram. Terseok-seok Khaira menarik dua karung yang berisikan barang-barangnya.
Setelah sampai di luar pintu sel tahanan, Khaira berbalik dan melihat kelima wanita yang sudah berdiri dari balik jeruji besi.
"Baik-baik ya kalian di sini, Makasih Mak Rani, Mbak Susi, Mbak Ani, Mbak Sali, Mbak Meta. Aku akan sering-sering berkunjung.” ungkap Khaira menatap sendu kepada lima wanita yang sudah seperti keluarga baginya.
Haru terbawa suasana, kelima wanita ini kembali menangis termasuk Khaira.
"Kamu juga, jangan lagi kejebak sampai ke sini lagi. Awas aja, kalau sampai kamu kejebak lagi, kami akan pura-pura nggak kenal sama kamu.” ujar Meta menjabat tangan Khaira.
Khaira mengangguk mantap dan menjawab satu persatu tangan dari kelima wanita yang lebih tua darinya. "Aku pergi.”
Kelima wanita ini pun mengangguk, dan hanya menatap Khaira yang mulai berjalan meninggalkan depan sel tahanan.
Khaira berjalan menjauhi sel tahanan dengan melambaikan tangannya, begitu juga sebaliknya. Rani, Meta, Susi, Sali dan Ani melambaikan tangannya kearah Khaira hingga gadis itu menghilang di balik tikungan dinding sel tahanan lain.
••
Di depan gedung kepolisian sudah ada Abah yang menunggu anaknya keluar dari penjara.
"Terimakasih Pak, sudah memberikan tumpangan kepada saya secara gratis, dan juga ngasih makan yang sebenarnya kurang layak di konsumsi, hehe. Canda Pak jangan setegang itu,” seloroh Khaira terkekeh kecil.
Polisi atas nama Fildan Silalahi ini pun tersenyum, “Kamu jangan lagi membuat orang tua mu khawatir, sudah sana. Abah kamu sudah menunggu,”
Khaira memberi hormat, “Siap Pak!”
Khaira kembali mengambil kedua karungnya yang semula ia tanggalkan. Lantas menoleh kearah Abah yang sudah menunggunya.
"Abah.” Khaira segera berlari menghampiri Abahnya dengan menarik dua karung berisikan bantal, selimut dan pakaian yang Khaira pakai selama berada di penjara.
Abah tersenyum sumringah menyambut putri semata wayangnya yang telah bebas dan terbukti tidak bersalah.
Akan tetapi bukannya memeluk Abah ataupun hanya sekedar menjabat tangan orang tua yang telah merawatnya seorang diri, Khaira justru melayangkan protes, "Abah, kenapa Abah bawa barang kesini tuh banyak banget, sumpah Khaira nggak sadar Bah sewaktu di dalam. Tapi pas Khaira mau pulang dan beresin semua barang ini, subhanallah Bah sampai hampir dua karung nih.”
"Hahaha itu kan hanya pakaian serta selimutmu,” Abah terkekeh geli, beliau sangat bersyukur akhirnya setelah lima belas hari tanpa kehadiran juga tanpa cerewetnya sang putri hidup Abah serasa hampa. Setelah kepergian Purwasih wanita yang beliau cintai, ada seorang gadis kecil yang seolah menjadi obat pelipur hati.
Melihat cerianya wajah Abah, Khaira jadi merasa bersalah. "Maafin Ning ya Bah sudah merepotkan Abah. Ning belajar satu hal lagi, ternyata Ning bisa hidup tanpa Ibu tapi nggak bisa hidup tanpa Abah.” kata Khaira merangkul pundak Abahnya.
Abah menoel hidung putrinya yang tidak terlalu mancung tidak juga pesek, "Sebesar apapun alasan mu untuk tidak menerima figur seorang Ibu, tapi tetap kamu lahir dari perut Ibumu yang bernama Purwasih, Ning.”
Khaira menarik diri, ia merajuk. “Iya Abah, sudah jangan membicarakan itu. Ningrum lapar, Abah.”
“Ya sudah ayo kita beli bakso di tempat biasa.” ajakan Abah langsung diiyakan oleh Khaira.
"Ya ayo!” Khaira kembali mengambil karungnya, namun Abah mengambil alih dari tangan putrinya.
Abah membawa dua karung di tangan kanan dan kirinya dengan cara di panggul, karena memang barang yang ada di dalam karung cukup ringan.
"Ayo Bah, kita pergi dari sini. Mereka nggak butuh kita lagi, mungkin kita harus menemukan jalan pulang.” seperti biasanya, Khaira tidak kehabisan akal untuk bercanda. Seolah-olah seperti yang ada dalam sinetron, ketika pemeran protagonis di usir.
Abah geleng-geleng kepala melihat tingkah polah anak semata wayangnya, "Ada-ada saja kamu Ning.”
Keduanya tertawa renyah sampai di parkiran motor. Khaira membonceng dengan membawa satu karungnya dan satu karung lagi berada di depan Abah.
Sepuluh menit menyusuri jalanan, sampai pada jalanan simpang tugu pal putih Abah dan Khaira lalui. Dan sampailah di tempat yang di tuju.
•••
Bersambung
Di mohon untuk tinggalkan jejak.
Terimakasih •_•
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Kinay naluw
itu nasib Bonar gimana udah playing viktim kok melenggang gitu aja.
2022-11-26
1
Maulana ya_Rohman
bingung mau comend apa🤭
2022-11-18
1
Nike Ardila Sari
Bener banget Khaira.
2022-10-17
0