Dari dalam rumah Khaira sedang membawa nampan berisi gelas dan teko air teh untuk ia berikan kepada Abahnya yang sedang sibuk di bengkel. Semua nampak baik-baik saja saat melewati halaman rumah yang di kanan dan kirinya terdapat pohon mangga harum manis.
Namun ia terkejut manakala sampai di pintu belakang bengkel, kedua bola matanya langsung tertuju pada dua orang berseragam polisi. Tiba-tiba saja ia merasakan tubuhnya tegang bersamaan dengan panas dingin, kecemasan menyelimuti hatinya. Meskipun belum tahu apa yang dilihatnya sekarang menyangkut dirinya atau bukan. Tapi perasaannya sudah tidak karuan.
"Bisa nanti dijelaskan di kantor Pak, sekarang apa saudari Khaira Ningrum berada di rumah?” tanya polisi bernama Bagas pada Abah.
"Tapi Pak, anak saya nggak bersalah, lagipula Bonar adalah pamannya, jadi mana mungkin dia melaporkan keponakannya sendiri,” kata Abah mencoba menjelaskan.
Kedua polisi yang bertugas tidak menggubris apa yang Abah coba jelaskan.
"Apa anak Bapak sedang berada di rumah?” Bagas bertanya lagi kepada Abah tentang keberadaan orang yang ia cari.
Abah semakin dalam dilema
Glek... Khaira menelan ludahnya yang serasa alot, hatinya mulai bertanya-tanya ada apakah gerangan, "Dua orang polisi itu menanyakan hal tentang ku? Dan Abah menyebut Paman? Apa yang sebenarnya terjadi,”
Khaira terdiam bingung, keringat mulai membasahi keningnya. Bola matanya mengamati Abah dan kedua orang polisi secara bergantian.
Tiba-tiba matanya terbelalak dan mengira-ngira dalam hatinya, Khaira tidak percaya hal seperti itu bisa mendatangkan dua orang polisi kerumahnya, "Apa jangan-jangan si tua itu melaporkan ku ke polisi? Nggak-nggak!” Khaira menggeleng tidak percaya.
"Apa yang harus kulakukan Ya Allah.” lagi Khaira bergumam dalam kecemasan di hati.
Abah nampak terlihat cemas, beliau bingung. Saat Abah melihat kedua orang polisi yang tengah memperhatikan sesuatu dari samping belakangnya, Abah mengikuti kemana arah pandang kedua orang polisi tersebut dan melihat Khaira sedang berjalan mendekatinya lantas berdiri tepat di sebelah Abah.
"Ningrum.” gumam Abah melihat putrinya.
"Saya Khaira Ningrum Pak polisi,” dengan berani Khaira mengakui bahwa dirinya orang yang dicari, ia merasa jika memang ia di tangkap maka harus ada kejelasan agar tidak menjadi beban pikirannya.
"Silahkan saudari Khaira ikut kami ke kantor polisi,” ujar polisi bernama Retno Dwi Safitri.
Khaira menghela nafas panjang, "Baik.”
"Tapi Pak polisi, anak saya nggak bersalah dia melakukan itu untuk melindungi diri dari pamannya yang telah melakukan hal ndak pantas terhadap anak saya Pak polisi,” Abah tidak ingin melepas begitu saja putrinya untuk pasrah di bawa ke kantor polisi.
"Kami menerima laporan dan kami juga sudah diberi kuasa oleh pimpinan untuk membawa anak Bapak ke kantor polisi, Pak. Untuk selebihnya Bapak atau anak Bapak bisa jelaskan setibanya di kantor,” kata Polisi Bagas.
"Nggak apa-apa Abah, Ning yakin kalau Ning nggak bersalah. Lagi pula ini juga salah Ning karena meninggalkan Paman yang pingsan di dalam warnet. Kalau saja Ning berani, pasti polisi nggak sampai datang ke rumah,” jelas Khaira, ia juga merasa bersalah karena meninggalkan Paman Bonar dalam keadaan terkapar di warnet.
"Bapak boleh ikut kami juga ke kantor polisi, guna kami mintai keterangan lebih lanjut,” kata polwan Retno.
Polwan Retno pun mengambil borgol yang tergantung di samping celana dinasnya.
Khaira melihat salah seorang polwan mengambil borgol, "Tolong Bu polisi saya nggak mau di borgol, saya bisa kooperatif. Dan saya juga akan bertanggung jawab sepenuhnya jika benar saya bersalah telah melakukan tindakan yang melanggar hukum.”
Polwan Retno melihat wajah pucat pasi Khaira.
"Sungguh Pak polisi dan Ibu polisi. saya nggak akan kabur. Lagipula tuduhan yang dialamatkan kepada saya belum tentu terbukti benar, saya hanya nggak mau orang-orang di kampung menganggap saya seorang kriminal.” Khaira memohon untuk meyakinkan kedua orang polisi yang ditugaskan untuk menangkapnya.
Polwan Retno melihat rekannya dan mendapat anggukan, tanda memberikan isyarat agar tidak memborgol Khaira. Polwan Retno kembali menggantungkan borgolnya. "Baiklah.”
Khaira cukup merasa lega, karena ia tidak seperti maling kelas peyek. Saat ia berjalan menuju mobil, sudah pasti kedatangan mobil polisi menyita perhatian tetangga.
Dengan percaya dirinya, Khaira melambaikan tangannya kepada para tetangga yang lebih dominan Ibu-ibu dan anak-anak. Seolah dia adalah seorang artis yang sedang dikawal.
"Da-dah semua!” ucap Khaira kepada para tetangganya.
Sontak saja berbagai macam tanggapan tetangga mengenai Khaira.
"Dia kenapa sampai di datengin sama polisi?”
“Nggak tahu!”
“Aku dengar-dengar karena Khaira berantem sama Pak Bonar.”
Tingkah polah Khaira membuat kedua orang petugas polisi geleng-geleng kepala.
“Aneh-aneh nih anak, nggak berasa apa jika kurungan penjara menantinya.” gumam Retno lirih.
Meskipun gumaman Polwan Retno lirih, namun sayup-sayup Khaira mendengarnya. Ia hanya melirik sekilas kearah polwan yang kemungkinan berusia tiga puluhan.
“Dia nggak tau aja, kalau omongan para tetangga lebih pedes daripada bon cabe level 30 dan lebih panas dari bara api.” gerutu Khaira dalam hati.
Kemudian Khaira di suruh untuk masuk kedalam mobil polisi oleh Polwan Retno, perlahan mobil polisi pun bergerak meninggalkan jalanan depan rumah Abah.
Khaira melihat dari kaca jendela mobil, rupanya kedatangan dari pihak kepolisian ke rumahnya cukup menyita perhatian orang-orang yang penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi. Ia menoleh kebelakang, Abah mengikuti mobil polisi dari belakang.
“Ya Allah kasihan Abah, jahat banget sih kamu Ra. Sampai-sampai Abah susah payah karena ulahmu.” Khaira mengumpati dirinya sendiri dalam hati.
Dua puluh menit sudah di perjalanan ke kantor polisi dengan Khaira yang hanya terdiam membisu seribu kata. Mobil patroli polisi pun sampai di parkiran yang luas.
Abah mengikuti mobil polisi dari belakang dan memarkirkan motor tuanya. Harap-harap cemas, serta berzikir dalam hati. ”Ya Allah, Semoga nggak akan menjadi suatu masalah yang berkepanjangan pada putri hamba.”
Khaira keluar dari mobil, melihat gedung kepolisian saja sudah membuat bulu kuduknya merinding apalagi sampai menjadi tahanan. Suara dari polwan Retno pun membuyarkan lamunannya.
"Saudari Khaira Ningrum, silahkan ikut kami.” kata polwan berambut pendek sebahu.
Khaira tidak menjawab, ia hanya bisa pasrah dan mengikuti kemana langkah polwan Retno membawanya.
Khaira melihat Abah, hatinya sungguh tersayat sembilu, ia merasakan sedih yang teramat sangat mendalam. Perasaannya berkata, "Ya Allah Abah, maafkan Ningrum. Bukannya Ning membuat Abah bangga, malah membuat masalah.”
Di ruangan penyidik Khaira langsung di tanyain beberapa pertanyaan. Dari mulai ia akan bergegas pulang, sampai memergoki Paman Bonar yang masuk kedalam warnet bersama seorang wanita seksi, dan terjadilah sesuatu yang diluar dari keinginannya.
"Sungguh Pak polisi saya nggak benar-benar memukul kepalanya, bahkan saya lah yang menelepon rumah sakit agar mendatangkan ambulans ke warnet.” ungkap Khaira jujur.
"Lalu kenapa kamu bergegas pergi, tidak menunggu sampai ambulance itu datang dan mengantarkan Bapak Bonar ke rumah sakit?” seorang polisi yang bertugas sebagai penyidik terus mencecar pertanyaan kepada gadis berwajah pucat pasi di hadapannya.
Beberapa kali Khaira menarik nafas dan membuangnya kasar, "Pada saat itu saya takut Pak, saya benar-benar takut. Karena saya takut makanya saya lari,”
"Kalau memang kamu tidak melakukan tindakan yang salah mengapa kamu takut, seharusnya kamu menolongnya bukannya lari. Kalau kamu lari itu membuktikan bahwa kamu sudah melakukan tindakan yang salah?” kata penyidik.
Khaira merasa kehabisan kata-kata, ia mengusap wajahnya kasar, air mata yang sejak tadi terbendung akhirnya menganak sungai di pipi. Namun segera ia mengusap air matanya yang menetes tanpa permisi dengan kasar.
Sekali lagi, Khaira menarik nafas dan membuangnya kasar, "Pak polisi, pada saat itu saya benar-benar takut dan saya nggak melakukan tindak penganiayaan. Saya lari karena saya syok Pak!”
Seorang penyidik bernama Hafizh ini akhirnya memberikan jeda kepada Khaira yang terlihat frustasi. Lantas menunjuk salah satu rekannya untuk memasukkan Khaira kedalam sel tahanan sementara. "Lestari tolong masukan dia kedalam sel tahanan sementara.”
"Siap!” jawab Polwan Lestari.
"Apa, tahanan?!” Khaira terperangah, namun ia mencoba untuk tegar. Ia merasa harus tegar, agar Abahnya yang sedang menunggu di depan ruangan penyidikan tidak terlalu mengkhawatirkannya.
"Kamu harus tegar Khaira, kamu nggak bersalah.” gumam Khaira dalam hati, mencoba menguatkan diri.
•••
Bersambung
Yuk simak terus, jangan lupa tinggalkan jejak. Jika ikhlas, vote, hadiah, like dan komentar hangat bin bijak untuk penyemangat pada penulisnya.
Terimakasih •_•
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Kinay naluw
ya lah tentu saja lari gegara gemel lari Ning ikutan lari.
2022-11-26
0
Nike Ardila Sari
Kasihan banget kamu, Ning. Semoga saja ada keajaiban.😥
2022-10-08
0