Abah mulai berkeliling desa bersama rekannya yang bernama Udin. Tentunya bukan Udin sedunia yang hanya sesingkat waktu saja buming di ranah jagat maya.
“Kang, saya ikut senang Ning bisa bebas dari kantor polisi,” kata Udin kepada Abah.
“Alhamdulillah Din, itu juga berkat bantuan Asep yang membawa bukti jika Ning memang ndak bersalah,” jawab Abah seraya membenarkan sarungnya yang beliau selempangkan di pundak.
Udin manggut-manggut dan menduga ada hubungan dekat antara Asep dan Khaira, “Apa mungkin Ning sama Asep pacaran Bah?”
Abah tersenyum bersamaan dengan menggelengkan kepala, “Saya sudah tanya pada Ningrum, tapi dia bilang ndak ada hubungan seperti itu,”
“Anak muda memang pandai menyembunyikan kedekatannya Kang,” ujar Udin yang merasa jikalau memang anak muda selalu saja tidak mengakui pacaran, tapi mendadak melangsungkan pernikahan.
Abah menengadahkan wajahnya menatap langit, bulan sabit bintang yang bersinar nampak begitu samar. Karena mulai tertutupi awan mendung, “Malam ini cuacanya sedikit mendung,”
Udin ikut menengadahkan wajahnya menatap langit, namun hanya singkat saja, “Iya Kang, mungkin akan turun hujan,”
Abah kembali fokus melihat jalanan lengang dan memegang senter sembari beliau arahkan ke penjuru jalan dan semak serta beberapa tempat-tempat yang gelap. Tempat yang tidak terlampaui cahaya dari lampu penerangan jalan.
“Apa Warni sudah melahirkan Din?” Abah bertanya mengenai istri dari Udin yang memang sedang dalam keadaan hamil besar.
Udin menggeleng, “Belum Kang, kandungannya baru memasuki tahap delapan bulan,”
Abah manggut-manggut, terlintas ingatan ketika Abah menemani Purwasih melahirkan. Membutuhkan perjuangan yang sangat hebat, untuk bisa melahirkan seorang anak. Itulah mengapa beliau tidak ingin anak yang dilahirkan dari rahim Purwasih membencinya, meskipun Purwasih sudah tega menelantarkan putri satu-satunya.
“Purwasih, putri kita sudah tumbuh dewasa. Dia cantik dan baik, dia juga menjadi anak yang ceria dan dia juga pekerja keras serta bisa hidup mandiri, tapi ada satu hal yang membuatku takut, dia mengalami traumatis tentang pernikahan. Aku takut, jika aku tak berumur panjang, anak kita akan sendirian.” monolog Abah dalam hati seraya memandangi langit yang gelap.
Ketika Abah dan Udin sedang berjalan-jalan mengelilingi kampung, empat orang yang sedang terlihat asik mengobrol serta bermain karambol di salah satu teras rumah warga.
Abah dan Udin mengamati keempat orang tersebut, tak lain dan tak bukan ternyata dua diantaranya adalah Toha dan Ucok. Abah dan Udin saling bersitatap dan dirasa aman tidak adanya minuman beralkohol yang ditenggak oleh orang-orang itu, berarti tidak akan ada yang membuat gaduh.
“Ayo Kang,” Udin kembali mengajak Abah untuk melanjutkan siskamling.
Abah mengangguk
Abah maupun Udin kembali melanjutkan kembali langkahnya. Akan tetapi langkah kaki Abah terhenti manakala salah satu dari keempat orang tersebut menyebut nama putrinya.
“Aku kasihan e sama si Ning, dia sampai jatuh di jalanan, apalagi sepedanya yang ikut nyungsep di parit dan ayam chicken jatuh berserakan,” ujar Toha membayangkan kejadian saat tadi sore, “ada ayam chicken yang jatuh ke jalanan ke rerumputan, bener-bener kasihan,” Toha geleng-geleng kepalanya ringan, sembari memainkan permainan karambol.
Ucok mengupas kacang tanah dan memasukkannya kedalam mulut, sambil mengunyah ia menjawab, “Lah kita kan melempari si Ning batu bukan karena kita yang mau, Ha. Kita cuma menjalankan tugas,”
“Maksudnya apa sih kalian? Ning sama batu? Apa hubungannya?” tanya seorang teman Ucok bernama Satya.
Toha menyeruput kopi susunya dan setelahnya ia menjawab, “Iya, Ning jatuh dari sepeda karena di lempari Ucok batu yang cukup gede,”
Ucok mendelik menatap Toha, “Apa sih kamu Ha. Kenapa buka kartu?”
“Siapa yang buka kartu, udah tau aku lagi nggak main kartu,” jawab Toha salah mengira.
Satya dan seorang temannya lagi yang bernama Samsuri bingung akan apa yang dibicarakan Toha dan Ucok.
“Maksud kalian Ning siapa?” tanya Samsuri seraya bermain karambol.
“Lah bocah, nggak tau Ning siapa?” Ucok menoyor kepala Samsuri.
“Di kampung kita ini, nama Ning bukan cuma satu, dua orang aja Ucok Baba!” Samsuri mengusap kepalanya yang mendapat toyoran dari tangan besar Ucok.
“Wah ni bocah, Ucok ya Ucok aja. Nggak usah di kasih Baba!” balas Ucok kembali menoyor kepala Samsuri.
“Wah mentang-mentang tanganmu gede main toyor-toyor kepalaku!” protes Samsuri kepada Ucok.
“Apa jangan-jangan Ningrum anaknya Abah Ahmad ya?” Satya menduga-duga bahwa yang di maksud Toha dan Ucok adalah Khaira Ningrum.
“Memang tuh anak salah apa sampai kalian lempari Ning dengan batu?” tanya Samsuri penasaran.
“Dia nggak salah apa-apa, kita nya aja yang usil,” jawab Ucok santai.
Toha dengan kebodohannya sendiri mengutarakan apa yang mejadi landasannya melempari Khaira dengan batu. “Iya, kita malah di suruh menero-” ucapan Toha mengambang di ujung lidah, manakala ia mendapat senggolan keras dari Ucok. Sontak saja Toha menatap Ucok yang sedang melotot menatapnya.
Kode keras Ucok layangkan agar rekannya itu tidak membocorkan rahasia yang ditugaskan Bonar padanya.
Satya dan Samsuri saling bersitatap heran, mereka tidak mengerti mengapa bisa Ucok dan Toha melempar Khaira dengan batu.
Samsuri mengedarkan pandangannya dan tidak menyangka orang tua dari gadis yang sedang mereka bicarakan sedang berdiri di sudut rumahnya, Samsuri spontan saja berdiri.
“Abah Ahmad!” seru Samsuri.
Seruan Samsuri ternyata membuat ketiga kawannya ikut melihat kemana arah pandang yang dituju pemuda cungkring itu.
Terlebih untuk Toha dan Ucok, keduanya sama-sama tercengang dan langsung melempar tatapan satu sama lain. “Pak Ahmad!”
Abah segera saja mendekati kedua bodyguard Bonar, beliau ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, “Siapa yang melempari putri saya dengan batu?”
Ucok dan Toha saling tunjuk, Ucok menunjuk Toha, sedangkan Toha menunjuk Ucok.
“Yang bener! Atau saya segera panggil polisi!” gertak Abah meradang.
Toha dan Ucok sama-sama mengangkat jari telunjuknya, keduanya memang berbadan besar dan tegap. Tapi mereka membusungkan dada jikalau sang tuan sudah memberikan titahnya untuk mengacak-acak rumah orang-orang yang berhutang pada sang tuan.
“Kita nggak salah Pak Ahmad, kita cuma di suruh Bos, buat neror Ningrum,” Toha menjawab Abah jujur. Karena merasakan kasihan terhadap Khaira yang tidak salah apa-apa tapi selalu saja Bonar mengganggunya.
Ucok merasa cemas atas mulut Toha yang leemes, “Toha! Lunyu nemen kui lambemu! [Toha! licin sekali bibir mu itu!]”
Abah melotot menatap Ucok, “Heh Ucok, saya ndak ada urusan utang piutang dengan tuan lintah darat mu itu! Jadi jangan membuat saya mengeluarkan parang untuk membantai mu detik ini pula!”
Ucok merasa ngeri telah melihat keganasan dari jawara silat di kampung Situ Babakan ini, ia menelan ludahnya. Meskipun Abah sudah tua, tapi tak bisa ia anggap enteng, apalagi kini orang tua yang sedang menggertak nya sedang memegangi sarung kulit yang menutupi golok.
“Mu-mungkin sekarang ini, Bos Bonar sedang mendatangi rumah Pak Ahmad, untuk meneror Ning. Karena Bos Bonar tau, Pak Ahmad lagi nggak ada di rumah,” ungkap Ucok menjelaskan bahwa sebelum pulang dari rumah Bonar, ia melihat Bonar sedang menenggak miras dan meracau untuk mendatangi Khaira.
Abah membelalakkan matanya, tidak menyangka sampai sejauh itu yang akan dilakukan Bonar. “Apa salah putriku pada lintah darat itu?”
Abah mencengkram kuat sarung kulit yang menutupi goloknya. Golok yang selalu Abah bawa tatkala sedang menjalankan tugas siskamling. Tanpa pikir panjang. Abah segera berlari menuju rumah, meninggalkan Toha, Ucok, Udin dan dua pemuda lainnya.
“Ning anak ku!” monolog Abah dalam hati merasakan dilema, beliau terus berlari tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi putrinya.
•••
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Kinay naluw
nah loh hayoooo buruan selamatkan Ning, giring si Bonar ke bui.
2022-11-27
1
Nike Ardila Sari
Walah😂😂
2022-10-24
0