Khaira tercenung mendengar apa yang barusan saja Abah sampaikan. Ia diam saja, seolah pendengaran menuli. Perasaannya mulai tidak karuan, debaran jantungnya berdegup kencang.
Abah melihat putrinya dengan seksama, beliau menghela nafas panjang. Air mata keluar begitu saja dari kelopak matanya yang telah mengeriput, “Pergilah dari sini putriku, kamu akan aman jika kamu pergi,”
Kelopak matanya memanas, tak karuan rasanya sampai-sampai ingin sekali menjerit-jerit dan meronta. Khaira menatap Abah, “A-apa maksud Abah? Apa salah Ning, sehingga Abah tega mengusir anak Abah sendiri?”
Abah menunduk sesaat kemudian beliau kembali menatap seorang anak yang beliau besarkan tanpa seorang Ibu. “Ini demi kebaikanmu, Ning. Abah ndak mau kamu disini terancam karena Bonar. Dia menganggap mu seperti Ibumu, dia sudah gila!”
Khaira menggeleng, menolak permintaan sang Ayah. “Nggak Abah! Ning nggak bisa pergi dari sini dan meninggalkan Abah seorang diri, lagipula apa salah Ning sama Paman? Ning nggak pernah cari masalah sama dia,” ia menyeka air matanya yang kian luruh tak terbendung.
Abah menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan nya perlahan, beliau menengadahkan wajahnya sesaat.
“Ning ya Ning, Abah. Ibu ya Ibu, kenapa bisa paman Bonar menganggap aku sama Ibu adalah orang yang sama? Sedangkan Ibu sudah pergi meninggalkan ku begitu saja!” dengan perasaan getir Khaira mengingat kembali saat masa kecilnya.
Rasa sedih kian membuncah saat melihat putrinya menangis tapi tak bersuara. Abah mengerti tidak ada kesalahan fatal sehingga mengharuskan putrinya untuk pergi dari rumah. Beliau juga tahu, bahwa putrinya memanglah berbeda dari perempuan yang telah melahirkan nya, tapi Abah merasa ada ancaman yang Bonar terhadap Khaira.
“Ini sudah keputusan Abah, Ning,” dengan perasaan berat hati Abah mengatakan itu.
Khaira mendekati Abah dan bersimpuh di kaki beliau, ia menangis meraung rintih. Ia mempertanyakan takdirnya, mengapa kah kebahagiaan seolah menjauhi takdirnya. Mengapa harus dengan linangan air mata dan kesedihan. Mengapa bisa Tuhan seolah sedang mempermainkan nya.
Dan mengapa kah Tuhan tidak melihat kesungguhan hatinya yang sudah berusaha menerimanya kenyataan pahit dalam hidup, apapun itu.
“Nggak Abah, Ning nggak bisa meninggalkan Abah,” menangis sesenggukan mencoba membujuk sang Ayah agar tak jadi menyuruhnya pergi dari rumah. “Ning minta maaf seandainya Ning sudah menjadi anak durhaka, atau sudah banyak mengecewakan Abah. Ning minta maaf karena Ning sudah membuat Abah kesusahan, Ning minta ma-af Abah,”
Tangis kian pecah, Khaira menghentikan kalimatnya. Ia merasa lidahnya seakan kelu untuk berbicara, “A-abah, Ning mohon, Ning janji, Ning akan menjadi anak yang penurut, Ning mohon Abah,”
Ayah mana yang tidak trenyuh melihat betapa sengsaranya seorang anak yang beliau besarkan tanpa merasakan kasih sayang dari seorang Ibu.
Abah melihat Khaira yang bersimpuh di kakinya, lantas mencoba membangunkan putrinya agar tidak bersimpuh. “Abah sangat beruntung memiliki anak seperti kamu Ning. Kamu satu-satunya putri Abah. Tapi kamu akan aman jika kamu menjauh dari kampung ini,”
Kali ini Abah membiarkan air matanya bercucuran begitu saja. Tidak seperti biasanya, beliau akan menyembunyikan rasa sedihnya bahkan air matanya pun tak beliau izinkan untuk dilihat oleh putrinya. Tapi kali ini, keputusan yang Abah ambil sudah tekadnya. Meskipun berat hati, tapi seyogyanya bisa menjauhkan putrinya dari lintah darat itu cukup membuat Abah merasa lega.
Khaira merasa sesak nafas, mengapa demikian Ibunya telah lama pergi. Tapi tidak sekalian membawa kesedihan ini.
Abah melihat putrinya yang duduk bersimpuh di samping kakinya, begitu lusuh dan terpuruk, “Kemarin Abah sudah menelepon Mita sepupumu. Abah tau, kamu pasti nggak akan enak hati jika tinggal bersama paman dan bulekmu. Maka dari itu, Abah menghubungi Mita,”
Belum sepenuhnya Khaira dapat mencermati apa yang Abah bicarakan untuk memintanya pergi dari rumah, nyatanya tanpa sepengetahuan dirinya. Abah sudah menghubungi sepupu, anak dari bibik dan paman dari pihak Abah.
”Nggak bisakah Abah memberi Ning waktu untuk berpikir, apakah Ning mau atau enggaknya untuk pergi dari rumah dan meninggalkan Abah seorang diri?” ujar Khaira memelas menengadahkan wajahnya menatap Abah.
Abah merunduk melihat putrinya yang berwajah murung, “Abah sudah pikirkan ini sudah jauh-jauh hari Ning. Karena perasaan Abah ndak enak hati saat kamu berada didalam penjara,”
“Tapi Abah,” dalam kepasrahan Khaira mencoba untuk membujuk Abah, “Ning akan menjaga diri Ning, agar paman Bonar nggak mengganggu Ningrum lagi Abah, Ning janji. Tapi jangan suruh Ning pergi dari rumah,” bujuk Khaira berwajah sendu.
Abah menerawangkan pandangannya menatap dinding ruang tengah, “Abah tau kamu bisa mandiri dan bisa menjaga diri, tapi Abah akan sangat merasa lega jika kamu pergi dan tinggal bersama Mita,” Abah mengalihkan atensinya menatap Khaira dan membelai lembut pucuk kepala putrinya, “Apa kamu tau, bahwa kamu jatuh dari sepeda karena akibat ulah Toha dan Ucok, mereka yang melempari mu dengan batu,”
Khaira tercengang dan berpikir apa yang dilihatnya sore tadi memang benar, Toha dan Ucok.
“Itu hanya batu Ning, bagaimana jika nantinya menyangkut nyawamu. Abah bisa saja melindungi mu untuk saat ini, tapi ndak mungkin Abah akan seterusnya melindungi mu. Bonar adalah orang yang bisa melakukan kekejaman apa-pun,” Abah mencoba membuat Khaira mengerti akan keputusannya menyuruh putrinya pergi dari rumah, menjauhi kampung halamannya.
“Tapi nanti Abah akan seorang diri?” Khaira menatap Abahnya, pedih, perih. Mengapa selalu saja takdir mempermainkan nya.
“Jangan khawatirkan Abah, Abah lebih mengkhawatirkan mu Ning.” keputusan Abah sudah mutlak, cara terbaik untuk melindungi anaknya dari Bonar adalah menyuruh putrinya pergi.
Khaira tak dapat lagi berkata-kata, ia bahkan tidak ingin lagi membahasnya lebih lanjut lagi. Jika memang keputusan Abah adalah yang terbaik, maka ia akan menuruti tanpa harus melukai perasaan Abah.
“Ning sangat menyayangi Abah.” setelahnya mengungkapkan rasa sayangnya terhadap orang tua tunggalnya. Khaira berjalan gontai menuju kamarnya.
••
Keesokan harinya Abah sudah sibuk membenarkan setang sepeda ontelnya di bengkel. Meskipun perasaanya sedang gundah, karena akan berpisah dari anak semata wayangnya. Tak pernah sekalipun putrinya itu jauh, bahkan ketika sedang berada di kantor polisi pun Abah merasa hampa. Tapi Abah ingin anaknya terhindar dari masalah, yang mungkin saja datang tanpa di sadarinya.
Sedangkan Khaira tengah menyiapkan teh yang seperti biasa ia siapkan untuk Abah. Ia menatap kepulan uap dari air teh yang sudah mulai berwarna kecokelatan. Masih terngiang-ngiang ucapan Abah yang memintanya untuk pergi dari rumah.
Tak terasa buliran air mata membasahi pipi, dan tak bisa dipungkiri. Kini perasaannya sangatlah pedih. Suara Abah dari luar membuyarkan lamunannya.
“Ning!” seru Abah memanggil putrinya.
“Iya Bah!” Khaira terkesiap dan sesegera mungkin mengambil gelas dari rak piring dan menyiapkan nampan.
Khaira mengusap air matanya dan kemudian membasuh wajahnya di air kran yang mengalir. Menarik nafas dan membuangnya kasar, Khaira mencoba untuk bersikap tegar. “Semuanya akan baik-baik saja Khaira.”
Setelah itu ia menaruh gelas dan teko poci di atas nampan tak lupa juga Khaira membawa sepiring pisang goreng buatannya. Rasa sakit di kakinya seakan hilang begitu saja. Khaira berjalan dengan perlahan menuju bengkel Abah.
Khaira berdiri di ambang pintu belakang bengkel, ia melihat sang orang tua tunggal sedang sibuk membenarkan setang yang bengkok. Kembali ia menarik nafas dan membuangnya perlahan.
“Abah ini tehnya, sama Ning buatin pisang goreng,” Khaira mencoba untuk bersikap ceria seperti biasanya lantas menaruh nampan di atas meja.
“Iya terimakasih Ning,” jawab Abah Masih fokus membenarkan setang sepeda ontelnya.
Khaira menghampiri Abah dan beralih menatap sepeda ontel yang ikut menjadi korban atas kejahilan Ucok dan Toha, “Apa rusaknya parah, Bah?”
Abah melihat putrinya sekilas dan kembali membenahi bentuk sepeda ontelnya, “Ndak begitu parah,” Abah lantas meminta Khaira untuk mengambilkan obeng yang berada di atas meja kecil tempat menaruh barang-barang bengkel, “Ning, tolong ambilkan obeng,”
Khaira segera saja mengambil obeng yang diminta Abah. “Ini Bah,”
Abah menerima obeng yang disodorkan oleh putrinya, “Abah sudah meminta Udin untuk memesankan kamu tiket bus, mungkin besok kamu sudah harus pergi.” kata Abah tanpa melihat putrinya, begitu perih jikalau melihat putrinya yang berwajah sembab. Beliau memesankan tiket bus dari Udin, karena Udin bekerja sebagai penjual tiket bus antar provinsi.
Tanpa menjawab Khaira menatap Abah nanar, entah mengapa semua terasa berat. Bahkan untuk melangkahkan kakinya pun seakan tidak mampu.
“Iya Abah.” setelah menjawabnya Khaira pergi dari bengkel Abah.
Abah melihat kepergian putrinya, rasa sedih kian terasa. “Maafkan Abah Ning. Sejak kecil kamu ndak pernah berpisah lama dari Abah, mungkin saja karena itu kamu merasa berat untuk meninggalkan Abah seorang diri. Tenang saja anakku, Abah sudah terbiasa hidup dalam kehampaan setelah kepergian Ibumu. Semoga kebahagiaan selalu menyertai hidup mu Nak.”
•••
Bersambung
Terimakasih untuk segala bentuk dukungan. •_•
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Kinay naluw
manut aja lah dari pada tar si Bonar makin ga waras.
2022-11-27
1
Maulana ya_Rohman
🤧😢😢😢
2022-11-18
1
Nike Ardila Sari
Ya Allah, nyeseknya😥😥
2022-10-28
1