Khaira serta Asep terus menerus berlari sampai menjauhi keramaian di kawasan pedestrian. Sambil sesekali Khaira maupun Asep menoleh kebelakang.
Keduanya berlari diselingi tawa, meskipun nafasnya tersengal-sengal. Namun, Khaira dan Asep suka dengan sesuatu yang menantang. Sama halnya, saat mereka berdua mencoba untuk bolos sekolah, dikarenakan ingin merasakan seperti anak-anak nakal lain.
Akan tetapi kenakalan Khaira maupun Asep saat remaja tidak mendukungnya untuk menjadi remaja yang nakal. Karena setelah keduanya mencoba untuk bolos, keesokan harinya orang tua Asep maupun Abah Ahmad di panggil ke sekolah oleh guru walinya masing-masing.
Pada akhirnya, Khaira maupun Asep menerima hukumannya. Sama-sama di kurung di dalam rumah selama sebulan penuh oleh orang tua masing-masing. Dan itu cukup membuat mereka kapok.
Merasa sudah aman, Asep memperlambat larinya. Sambil terengah-engah ia duduk di trotoar pedestrian, “Capek! Benar-benar capek!”
Khaira ikut duduk di sebelah Asep yang terlihat semakin ganteng kala cowok letoy itu mengusap peluh yang membasahi keningnya.
“J-jangan lakukan itu Sep!” ucap Khaira terengah-engah sambil mengusap keringat yang membasahi kening.
Asep bingung atas apa yang dikatakan Khaira, “Me-memang aku melakukan apa?”
“Me-mengusap keringatmu,” jawab Khaira seraya mengatur nafasnya.
Asep semakin heran mengapa Khaira melarangnya mengusap keringat yang jelas saja mengucur deras, “Loh, memangnya kenapa?”
Khaira mengedarkan pandangannya, “Karena kamu terlihat semakin ganteng, dan aku nggak mau semakin tresno ambi awak mu,” [cinta sama kamu] seloroh Khaira dalam hatinya.
Khaira mengalihkan atensinya, menatap Asep, “Karena kamu?” ia terdiam, mengamati Asep yang menunggu jawabannya. “Ah sudahlah, ayo kita pulang. Ini sudah semakin sore.”
Khaira lantas berdiri dan membenarkan hijabnya yang tak beraturan.
Asep mendongak menatap Khaira, “Asem banget kamu Ra, kamu habis dari mana aja sih? Kamu pasti menggunakan metode klasik pake acara pergi ke toilet, padahal nggak mau bayar jajanan yang udah kita makan kan?” Asep masih terduduk sambil selonjoran.
“Ih mana ada ya aku begitu, walaupun aku nggak punya banyak uang buat traktir kamu. Tapi aku masih punya harga diri,” jawab Khaira melihat Asep yang masih enggan untuk beranjak.
Asep dleming, memikirkan apa yang barusan ia dengar. “Apa, apa? Kamu bilang harga diri? Eh Khaira, apa hubungannya mentraktir, kabur, sama harga diri?”
Khaira bingung, dan berpikir, “Iya juga, apa hubungannya sama harga diri? Ah sudahlah!”
Asep menampol betis Khaira, “Heh, di tanya malah bengong!”
Khaira melirik Asep dengan lirikan tajam, “Sudah ayo cepat, aku mau pulang. Kalau kamu nggak mau pulang, ya terus aja selonjoran disitu sampai lebaran ayam!”
Asep melihat Khaira mulai meninggalkan nya, “Dih tuh anak, ngomongnya makin ngawur. Mana ada lebaran ayam, mentang-mentang dia jualan ayam!”
Asep lantas berdiri dan mengibaskan pantatnya yang mungkin saja kotoran atau debu menempel, “Hay Khaira tungguin aku!”
“Ogah!” Khaira kembali berlari menjauhi Asep.
“Lah tuh bocah nggak ada capeknya apa?” Asep ikut berlari, kendati betisnya sudah merasa ngilu.
••
Rupanya kebebasan putrinya dari kantor polisi tidak serta merta membuat Abah terbebas dari Bonar. Pekerjaan Abah harus terganggu atas kedatangan Bonar ke bengkel Abah.
Tangan yang masih menghitam karena mengganti sparepart motor pelanggan menunjukkan bahwa memang Abah masih sangat sibuk. Beliau enggan menanggapi keberadaan Bonar yang sudah satu jam yang lalu menunggu untuk berbicara padanya.
“Mas Ahmad.” beberapa kali Bonar memanggil pria paruh baya yang rambutnya sudah banyak beruban.
Abah masih sibuk mengganti sparepart motor pelanggan, tidak menggubris panggilan si muka tebal macam Bonar.
“Mas Ahmad!” kali ini Bonar memanggil Ahmad dengan nada suara sedikit meninggi. Namun tetap saja Abah seolah tidak menganggapnya ada.
Bonar menghela nafas kasar, ia lantas beranjak dari duduknya di kursi plastik. Lantas mendekati Abah dan berjongkok tepat di sampingnya. Ia melihat tangan hitam Abah serta sedang mengganti rantai pada motor manual. Bonar melihat Kakak iparnya itu dari samping.
“Apa dia budek?” kata Bonar dalam hati.
“Mas Ahm..” baru saja Bonar akan kembali memanggil Abah, tapi panggilannya langsung terhenti manakala Abah sudah menaruh telapak tangan yang menghitam di moncong bibir Bonar.
Abah menarik telapak tangannya yang baru saja beliau gunakan untuk membuat Bonar berhenti memanggil-manggilnya, “Saya ndak budek Bonar!”
Nampak jelas cap telapak tangan hitam di wajah Bonar, hingga membuat kedua bodyguard yang senantiasa menemani kemana perginya Bonar pun terkekeh-kekeh geli.
Bukan hanya kedua bodyguard Bonar, satu pelanggan Abah pun ikut terkekeh geli melihat wajah Bonar yang seperti orang dungu.
“Puas kalian ketawa!” Bonar membentak dua bodyguardnya, juga kepada pelanggan bengkel Abah.
Bodyguard Bonar langsung saja terdiam, tapi masih terlihat jelas bahwa keduanya tengah menahan tawa. Begitu juga dengan pelanggan bengkel Abah, ia mesam-mesem geli melihat tampang Bonar yang pas-pasan di tambah lagi cap tangan Abah yang tepat berada di antara bibir Bonar.
“Apa yang sebenarnya membawa mu kemari?” Abah bertanya bernada tegas kepada Bonar. Namun masih sibuk dengan pekerjaannya.
Seperti biasa Bonar memasang wajah slengean nya. Meski sudah tua, keriput dimana-mana, tapi ia tak mau kalah bersaing dengan anak-anak muda di zaman merdeka, “Khaira dimana Mas?”
Abah memicingkan matanya menoleh tajam kearah Bonar, “Untuk apa kamu menanyai anakku?”
Terselip rokok yang baru saja tersulut di mulut Bonar, ia duduk kembali di kursi plastik lantas menjawabnya santai, “Mau minta maaf,”
Abah membanting lap yang sudah agak menghitam begitu saja ke tanah. Lantas berdiri karena emosi, “Apa kamu bilang! Maaf?”
Abah tidak habis pikir, kemana arah jalannya pikiran si muka tebal, Bonar!
“Iya maaf,“Bonar menjawabnya dengan nada sangat, “lagi pula kan itu hanya kesalahpahaman, Mas?” tanpa rasa bersalah Bonar mengatakan itu.
Abah menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah polah Bonar, “Setelah kamu menjebloskan anak ku ke dalam penjara, sekarang kamu ke sini dan mau mengucapkan kalimat itu? Bonar-Bonar, dari dulu kamu tetap Bonar yang ndak tahu malu!”
Abah kembali duduk di kursi kecil dan mengambil obeng untuk membenahi motor pelanggan.
Bonar geram mendengar cibiran pedas Ahmad, tangannya menggenggam erat. Ingin sekali ia menghajar pria tua yang sudah beruban itu. Namun ia tahan, karena niat yang sebenarnya membawa Bonar ke sini tidak ingin sia-sia.
“Mas Ahmad, kan Mas tau kalau manusia tempatnya salah dan khilaf. Aku kemarin cuma marah dan emosi sesaat,” ujar Bonar mencoba membujuk Ahmad.
Abah melempar Bonar menggunakan lapnya yang sudah mulai menghitam, “Dasar bajingan, pergi dari sini!”
Bonar terkejut ia spontan saja berdiri dan langsung bersin-bersin secara berulang, karena lap yang dilemparkan Abah tepat mengenai wajahnya, terutama di bagian hidung.
“Beh-beh, hacihhh... Kotor amat sih tuh lap!” Bonar membuang lap yang dilemparkan Abah begitu saja ke tanah.
Kedua bodyguard langsung pasang badan guna memberikan Abah pelajaran.
“Kalian jangan ikut campur!” Abah menggertak kedua bodyguard yang berada tepat di depannya.
“Mas Ahmad, kenapa Mas harus marah-marah. Kita kan bisa bicarakan ini secara baik-baik?” kata Bonar sambil mengusap hidupnya menggunakan sapu tangannya.
“Nggak ada yang namanya bicara baik-baik sama orang sepertimu Bonar,” Abah mengibaskan tangannya, “cepatlah pergi dari sini! Atau kalau kamu ndak segera pergi,” Abah menggantungkan ucapannya, beliau lantas mengangkat bak kecil berisi air yang biasa digunakan untuk menambal ban.
Bonar kelabakan, ia segera menjauhi kakak iparnya yang terlihat sedang sangar, “Iyah-iyah, aku pergi Mas. Tapi nanti aku dateng lagi.”
“Masih juga belum pergi, hah?” Abah hendak menyiramkan air ke arah Bonar.
“E-eh, iya Mas, iya.” kata Bonar mengibaskan tangannya.
“Jangan lagi datang kemari, dan jangan bawa bodyguard. Saya ndak punya hutang piutang padamu!” kata Abah menggertak Bonar.
“Iyah Mas Ahmad, iyah. Aku nggak akan bawa bodyguard kalau ke rumah Mas, tapi nanti aku datang lagi,” kata Bonar, ia lantas berbalik badan hendak pergi meninggalkan bengkel Abah. Namun niatnya terhenti tatkala melihat orang yang di cari baru saja turun dari boncengan motor yang dikendarai Asep.
Khaira dan Asep nampak terkejut atas kedatangan Bonar juga kedua bodyguardnya.
“Hay Khaira, apa kabar?” Bonar mendekati Khaira.
Khaira enggan menanggapi sapaan Pamannya, ia melenggang pergi untuk menjabat tangan Abah. “Assalamu'alaikum Abah,”
“Wa'alaikumussalam,” Abah menjabat tangan putrinya.
Begitu pula dengan Asep, ia memarkirkan motornya. Dan menjabat tangan Abah.
Merasa dicueki, Bonar lantas pergi dengan membawa emosi di hati. Ia menganggap harga dirinya telah diinjak-injak oleh Ayah dan anak itu.
“Layangkan teror, atau culik saja tuh si Khaira. Kita harus beri mereka pelajaran!” bisik Bonar pada bodyguardnya.
“Siap tuan.” jawab kedua bodyguard Bonar yang bernama Ucok dan Toha.
Ketiganya pun pergi dari bengkel Abah.
“Ra, aku langsung pulang yah, soalnya ada lemburan malam,” ujar Asep kepada Khaira.
“Iya, makasih. Hati-hati di jalan.” jawab Khaira.
Asep mengangguk, “Iyah,” lantas kembali bersalaman dengan Abah. “Bah, Asep pamit,”
“Iya, terimakasih nak Asep.” jawab Abah.
Tatapan Khaira masih saja termangu memandangi kepergian Asep. Hingga pria itu sudah semakin jauh dan semakin mengecil dari penglihatan pun Khaira tak berpaling, helaan nafas ia hembuskan perlahan. Ada rasa sesak yang kian mendera, mengingat betapa pedihnya hati yang memiliki perasaan. Jika saja hatinya sekeras baja, pastinya takkan ia biarkan jatuh cinta.
Abah tersenyum simpul melihat putrinya tengah memperhatikan Asep. Abah menyenggol pundak anaknya dengan lengannya, “Ada apa sama Asep?”
Khaira spontan saja mendongak menatap Abah, “Nggak ada apa-apa Bah,”
“Kamu suka kan sama Asep? Menurut Abah Asep orangnya baik dan sopan, udah ada tanda-tandanya belum, kalau dia mau melamar mu?” Abah masih berniat mengoreks informasi mengenai hubungan dekat antara putrinya dan Asep.
Khaira terkekeh geli mendengar ledekan Abah, “Abah, Abah bicara tentang siapa? Ning nggak ada hubungan sedekat itu sama Asep,”
“Tapi Abah lihat kalian cukup dekat, dan seperti sedang pacaran?” tanya Abah masih penasaran.
“Abah, Ning nggak pacaran sama Asep. Kita cuma temenan, lagian Ning nggak ada niatan sama sekali buat menikah sama siapapun,” Khaira mulai berjalan menuju halaman rumah.
“Jangan gunakan alasan tentang Ibumu yang pergi, untuk kamu ndak menikah Ning. Kamu harus menikah dan memiliki pasangan untuk menjaga mu, karena Abah sudah semakin menua, dan mungkin saja umur Abah ndak akan lama lagi,” Abah melihat punggung putrinya.
Khaira menghentikan langkahnya lantas menoleh kebelakang menatap Abahnya, “Abah, Abah akan hidup seribu tahun lagi.”
“Ingat Ning menikahlah, Abah ingin sekali melihat kamu menikah.” ujar Abah untuk kesekian kalinya. Namun agaknya seperti biasa jika sudah membahas tentang pernikahan maka putrinya itu merasa malas untuk membahas.
•••
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Kinay naluw
ckckck dasar si Bonar muka tebal.
2022-11-26
1
Maulana ya_Rohman
berarti ningrum CINTA DLM DIAM... donk🤔
2022-11-18
1
Maulana ya_Rohman
😂😂😂😂🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣😂😂😂😂😂😂😂
2022-11-18
1