Khaira baru saja memarkirkan motor milik Asep, ia melihat Abah yang akan berangkat ke mushola, “Ning nggak apa-apa Abah. Tadi Ning cuma jatuh di jalanan,”
Abah melihat putrinya berjalan pincang, lantas bergegas menghampirinya, “Mana mungkin kamu cuma jatuh saja Ning, jalanmu saja pincang,” Abah melihat sepeda ontelnya yang masih di pegangi Asep, “Lihat tuh sepeda ontel Abah saja ndak bisa bohong, setangnya mengkong,” Abah menunjuk sepeda ontelnya.
“Asep kenapa kamu bisa bareng sama Ning?” tanya Abah pada Asep.
“Tadi Asep nggak sengaja lihat Khaira di jalan Bah. Dia jalannya udah pincang-pincang gitu,” jawab Asep masih berdiri di halaman rumah dengan memegang sepeda ontel.
“Oh begitu,” Abah menuntun Khaira untuk masuk kedalam rumah, “Asep mari masuk dulu Nak, sepedanya taruh saja di bawah pohon mangga,”
Asep mengangguk lantas menyandarkan sepeda ontel di bawah pohon mangga.
Niatnya untuk berangkat ke mushola Abah urungkan, meskipun waktu hampir menunjukan mengumandangkan adzan magrib, karena memang Abah adalah seorang Muazin di mushola yang tidak jauh dari rumahnya.
Abah menuntun putrinya untuk duduk di sofa usang ruang tamu. Begitu juga Asep yang ikut masuk kedalam rumah Abah. Asep ikut duduk di sofa yang jaraknya tidak jauh dari Khaira.
“Aduh kaki ku!” erang Khaira kesakitan di pergelangan kakinya.
“Coba aku lihat pergelangan kaki mu Ra, takutnya keseleo atau apa gitu,” kata Asep merasa harus memeriksa kondisi pergelangan kaki Khaira.
Khaira menjulurkan kakinya dan menarik sedikit celana panjang plisketnya. Nampak jelas terlihat ruam kemerahan dan sedikit terjadi pembengkakan di area pergelangan kaki.
Abah jelas terlihat mengkhawatirkan putrinya, “Iya bener keseleo, Ning,”
Asep melihat Abah, “Abah maaf, bisa minta tolong nggak. Tolong ambilkan air dingin sama lap,”
“Iyah-iyah, sebentar Abah akan ambilkan,” Abah menaruh sajadahnya di sandaran sofa, dan segera pergi menuju dapur.
Asep memperhatikan pergelangan kaki Khaira yang bengkak, “Wah ini lumayan parah Ra, bengkaknya,”
Sambil menahan sakit Khaira terkejut, “Masa sih Sep? Berapa lama sampai bisa sembuh total?”
“Yah palingan satu mingguan,” jawab Asep ia melihat raut wajah Khaira yang ditekuk, jelas menggambarkan rasa tidak nyaman karena menahan sakit.
“Masa bisa selama itu?” tanya Khaira memastikan.
Asep mengangguk, sambil perlahan memijit kaki Khaira.
Abah kembali ke ruang tamu dengan membawa baskom ukuran sedang berisi air dingin dan handuk kecil, lantas menaruhnya di atas meja, “Ini Sep,”
“Makasih Bah, “jawab Asep santun.
Asep mulai memeras handuk yang sudah terendam air dingin, lantas menempelkannya di pergelangan kaki Khaira.
Khaira sontak saja merasa dingin, “Dingin banget!”
“Air dingin bisa menghambat pembengkakan Ra,” ujar Asep sambil menekan-nekan handuk di pergelangan kaki Khaira.
Abah duduk di samping Khaira, beliau tidak tega melihat anaknya menahan sakit seperti itu. “Kok bisa seperti ini toh nduk? Kenapa kamu ndak hati-hati mengayuh sepedanya?”
“Ning nggak apa-apa Abah, Ning cuma keseleo sedikit. Paling besok juga Ning sembuh,” jawab Khaira tegar, ia tidak mau lagi membuat orang tua tunggalnya merasakan khawatir.
“Kamu belum menjadi orang tua Ning, kamu ndak akan mengerti apa yang menjadi kekhawatiran orang tua pada anaknya,” Abah merasa Khaira sedang menyembunyikan rasa sakitnya.
“Abah, Ning baik-baik saja,” Khaira mencoba meyakinkan Abahnya bahwa ia baik-baik saja meskipun sebenarnya tidak.
“Abah selalu berharap semoga kamu selalu baik-baik saja nduk,” jawab Abah, lantas beralih menatap Asep, “Asep terimakasih kamu sudah membantu Ning lagi,”
“Bukan apa-apa Bah, sudah sepatutnya sesama manusia saling membantu jika ada yang membutuhkan,” jawab Asep lembut.
“Kamu tunggu sebentar, Abah buatkan teh,” ucap Abah lantas berdiri.
Baru saja Asep akan menghentikan Abah agar tidak perlu repot-repot, namun Abah sudah berjalan ke dapur. Ia lalu berbalik menatap Khaira, “Abah kamu orangnya ramah banget ya Ra, dari dulu nggak pernah berubah.” setelah mengatakan itu, Asep kembali merunduk dan dengan ketelatenannya memijit kaki Khaira serta membantu mendinginkan pergelangan kaki Khaira yang semakin membengkak.
Khaira terus mengamati Asep, pria baik penuh perhatian ini selalu saja membuat hatinya semakin luluh lantak, dalam hatinya berseloroh mengenai Asep si pemilik wajah mirip Iko Uwais, “Ingat Khaira, jangan baper. Hanya karena dia memperlakukan mu dengan baik, bukan berarti dia mencintai mu.”
Tidak ingin merasa hatinya terpesona karena sikap baik Asep. Khaira meminta biar ia saja yang mengurus kakinya, “Udah Sep, biar aku aja yang mengurus kakiku. Kamu pulang aja gih, ini udah magrib,”
Asep memandangi Khaira yang sedang meminta lap yang sedang dipegangnya. “Kamu mengusir ku?”
Khaira menggeleng, “Enggak! Cuman aku nggak mau ngerepotin kamu, udah sana gih pulang, kamu kan pasti capek habis pulang kerja,”
Asep terdiam terlihat jelas bahwa Khaira tidak seperti biasanya. Ia tahu bahwa gadis dihadapannya sedang menghindar, tapi entah karena apa Khaira menghindarinya. “Baiklah, aku pulang,”
Khaira menadahkan tangannya guna meminta handuk kecil yang masih Asep pegang, “Sini lapnya Sep,”
Asep memberikan handuk kecil kepada Khaira. “Semoga lekas sembuh Ra,”
Khaira mengangguk, “Iya, makasih Sep,”
Asep beranjak dari duduknya dan berbalik badan memunggungi Khaira. Namun panggilan Khaira menghentikan langkahnya.
“Sep!” seru Khaira memanggil Asep. Ia mengambil sesuatu dari dalam tas selempangnya.
Asep berbalik badan dan menatap Khaira, “Apa?” ia melihat gadis itu menunjukkan sebuah paper bag kecil di tangan kanannya.
“Ini buat kamu, makasih karena kemarin udah bantu aku bebas,” Khaira melirik paper bag kecil dan kembali menatap Asep.
Asep tersenyum sumringah, dan mengambil paper bag kecil yang berada di tangan Khaira, “Apa ini?”
“Suatu barang yang harganya murah, yang sempat aku beli kemarin pas kamu akhirnya di amuk wanita-wanita di depan toilet,” jawab Khaira jujur,
Asep mengingat kejadian kemarin, ia pun terkekeh kecil, “Heheh... jadi kamu pergi ke toilet buat alasan mau beliin aku ini, makasih Ra. Yah walaupun harus terjadi tragedi karena aku sempat takut kamu kabur karena nggak mau bayar,”
“Sekali lagi, makasih Sep.” ucap Khaira bersungguh-sungguh.
Asep mengangguk, “Sama-sama, aku juga makasih sama hadiahnya Ra. Ya udah aku pamit pulang, bilangin sama Abah aku pulang,”
Khaira mengangguk, “Iya.” ia terus memperhatikan Asep, hingga pria letoy itu berbalik badan dan pergi meninggalkan ruang tamunya. Tak berselang lama, Abah keluar dengan membawa nampan berisi teko dan gelas.
Abah tidak menemukan keberadaan Asep, “Asep kemana?” tanyanya pada Khaira, lalu menaruh nampan di meja.
“Pulang,” jawab Khaira singkat.
“Kenapa mendadak pulang, kan dia belum pamit sama Abah,” Abah duduk di sofa usang merasa bingung.
“Ning yang menyuruhnya pulang,” Khaira menjawabnya jujur.
Abah terkejut atas jawaban putrinya, “Loh kenapa kamu menyuruhnya pulang, nduk?”
“Dia kan baru pulang kerja Abah, pasti capek. Ya udah Ning suruh dia pulang,” jawab Khaira menjelaskan mengapa ia menyuruh Asep untuk pulang.
“Dia pria baik Ning,” kata Abah.
Khaira tidak mengerti apa yang Abah coba katakan, “Maksud Abah apa?”
Abah menghela nafas panjang, “Sudah saatnya kamu memikirkan untuk mencari pendamping hidup. Abah ndak akan mungkin terus menerus menemani kamu, nduk,”
•••
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Kinay naluw
tuh dengerin Ning nikah sama Asep aja.
2022-11-27
1
Nike Ardila Sari
Abahmu benar.
2022-10-20
0
Nike Ardila Sari
Sepertinya dia mencintaimu, Ra
2022-10-20
0