Daisha mematung seketika, tubuhnya tiba-tiba menegang saat merasakan kehadiran Cakra. Gumaman yang ia lakukan terdengar lirih di telinga Laila. Gadis remaja itu menoleh, keningnya berkerut melihat sang kakak yang tiba-tiba gelisah.
"Ada apa, Kak?" Laila mengusap punggung Daisha.
Mendengar pertanyaan dari adiknya itu, Daisha terlihat bingung. Lipatan di dahi bertumpuk, bingung melanda hati.
"Apa kau tidak mengenali laki-laki yang di sana?" tanya Daisha setengah berbisik.
Laila mengalihkan pandangan pada dua pemuda yang saling berpelukan. Memperhatikan lekat-lekat wajah Cakra yang menghadap ke arahnya. Mengingat-ingat siapa sosok yang sedang memeluk Dareen itu.
"Tidak, aku tidak mengenalnya. Dia lebih dewasa daripada Kak Dareen, mungkin karena dia anak tertua di keluarga ini," jawabnya terdengar biasa saja.
Hati Daisha gamang dibuatnya, teringat pada sesosok laki-laki yang pernah menyerang Laila saat ia pergi. Apakah mereka laki-laki yang berbeda?
"Apa kau ingat wajah orang yang menyerangmu dulu?" bisik Daisha di telinga sang adik.
"Aku ingat, Kak ... maksud Kakak laki-laki itu dia?" Laila berjengit saat menyadari ke mana arah pembicaraan Daisha.
"Benar, apakah itu dia?" tegas Daisha. Tangannya meremas ujung tongkat gelisah. Terasa lembab karena keringat yang terus bercucuran.
"Bukan, Kak. Seingatku laki-laki yang dulu memiliki bulu di wajahnya, tidak seperti kakaknya Kak Dareen," jawabnya yakin sambil terus mengingat-ingat wajah laki-laki yang dulu menyerangnya.
"Apa kau yakin? Coba lihat sekali lagi, Kakak merasakan sosok yang sama seperti laki-laki yang dulu menyerangmu," pinta Daisha semakin bimbang.
Laila menurut, menelisik lebih dalam wajah putih nan bersih itu. Sekali lagi, ia tak menemukan sosok penjahat yang pernah menyerangnya.
"Tidak, Kak. Bukan dia, aku sangat yakin. Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana wajah penjahat yang pernah menyerangku." Laila menegaskan dengan yakin.
Gadis remaja itu percaya pada ingatannya, yakin pada penglihatannya. Daisha masih ingin bicara, tapi urung disaat mendengar suara langkah yang mendekat. Dareen membawa Cakra ke hadapan mereka untuk mengenalkan keduanya.
"Siapa mereka?" Cakra bertanya setelah berhadapan.
Dareen berjalan pelan dan berdiri di sisi Daisha, gadis itu mencoba untuk bersikap biasa saja. Menekan sebuah aura yang tiba-tiba muncul dalam benak. Ia yakin, Cakra adalah sosok yang sama yang sering mengintai kedai bunga mereka. Dia juga yang dulu menyerang adiknya itu.
"Ini Daisha, Kak, dan itu Laila. Mereka berdua yang selama ini menolongku. Aku hanya ingin mengenalkan mereka kepada semua orang di rumah ini. Sayang, Ayah belum juga kembali," jawab Dareen diakhiri dengan helaan napas.
Cakra tersenyum, senyum yang menyiratkan tanda terima kasih atas pertolongan keduanya. Laki-laki itu mengulurkan tangan hendak berjabat dengan Daisha, tapi tak kunjung mendapat sambutan. Laila dengan segera menyambar tangan tersebut, dan menggenggamnya.
Lembut dan halus. Berbeda sekali dengan tangannya yang kasar dan terdapat banyak kapalan.
"Aku Laila, senang bertemu dengan Anda, Tuan," katanya sopan.
Cakra tersenyum ramah, kepalanya mengangguk pelan seolah-olah menerima kehadiran mereka.
"Terima kasih karena kalian telah rela menolong adikku selama ini. Maaf, jika dia menyusahkan kalian. Kalian pasti dibuat repot olehnya, sekali lagi saya ucapkan terima kasih," tutur Cakra menatap lembut manik berbinar milik Laila.
Sementara itu, Daisha tengah dilanda kegelisahan. Hatinya tak tenang semenjak merasakan kehadiran Cakra. Namun, ia memilih diam, dan terus menekan rasa yang semakin meluap.
"Jangan sungkan, kami senang dengan kehadiran Kak Dareen. Dia banyak membantu di kedai, mengirimkan bunga-bunga dan bahkan memetik bunga bersama kami. Pekerjaan kami terasa ringan sejak kehadirannya. Jadi, kami sama sekali tidak merasa direpotkan olehnya," sahut Daisha dengan nada mengalun lembut meskipun tengah menahan getar di lidah.
Cakra mengalihkan pandangan pada sosoknya yang terus menghadap ke depan. Tatapan matanya kosong, seperti tak memiliki harapan hidup. Ia tahu gadis itu buta, tapi enggan untuk bertanya. Hanya tersenyum tipis, seraya mengajak mereka berkumpul.
"Mari, kita berkumpul bersama yang lain," katanya. Dalam sekejap saja, Cakra menjadi sosok yang berbeda.
Daisha bergeming, ia merasa sudah cukup berada di rumah besar itu dan ingin mengunjungi makam kedua orang tuanya.
"Mmm ... Laila, jam berapa sekarang?" tanyanya dengan cepat. Cakra menghentikan langkah dan menatap mereka dengan kedua alis yang saling bertaut.
"Jam dua siang, Kak. Ada apa?" jawab Laila setelah melihat arloji di tangannya.
Daisha tersenyum, memang sudah waktunya bagi mereka keluar. Ia telah memperhitungkan semuanya sebelum menerima tawaran Dewi tadi.
"Sebaiknya kita segera kembali, tidak baik berlama-lama di rumah orang sebagai tamu. Itu akan mengganggu penghuni rumah ini," jawab Daisha dengan tenang.
Dareen tertegun tak terima, ia ingin keduanya berlama-lama di rumah itu. Menginap, itulah yang dia harapkan. Namun, sesuai dengan perjanjian, Daisha ingin diantar pulang hari itu juga.
"Kenapa terburu-buru? Aku bahkan baru saja datang dan belum berbincang-bincang dengan kalian," ucap Cakra terdengar sedih.
Gadis buta itu tersenyum, senyum yang bermakna lain dan Cakra dapat menangkap maksud tersembunyi dibalik senyum itu.
"Kami sudah cukup lama berada di sini, saya khawatir kehadiran kami di sini justru menganggu kalian. Jadi, kami akan pamit dan kembali pulang," jawab Daisha membuat hati Dareen mencelos nyeri.
Terdengar helaan napas berat dan panjang dari arah Cakra, sekilas matanya menatap nyalang pada gadis buta itu. Merasa kehadiran Daisha adalah ancaman terbesar untuk kehidupannya.
"Tapi, Sha, kalian bahkan belum bertemu dengan Ayah. Menginaplah di sini, kudengar Ayah akan kembali besok. Aku ingin Ayah mengenal kalian juga," pinta Dareen sambil menggenggam tangan gadis itu.
Ia tak rela Daisha pergi, seandainya saja bisa, Dareen ingin segera mengikat gadis itu dengan sebuah pernikahan agar mereka tak perlu berpisah. Akan tetapi, mengingat Dewi yang sudah pasti akan menolak hati Dareen tak yakin dapat melakukannya dengan mudah.
Satu-satunya adalah menunggu sang ayah. Hanya laki-laki tua itu saja yang tak pernah memaksakan keinginannya dan membebaskan semua anak untuk memilih jalan hidupnya. Berbeda sekali dengan Dewi yang semua keinginan harus dituruti.
"Tidak apa-apa, Kak. Mungkin di lain waktu saja kami bertemu. Jadi, bisa Kakak antarkan kami ke pemakaman? Setelah itu, kami akan langsung kembali." Daisha bergeming pada keputusannya.
"Baiklah. Ayo, kita temui Ibu dulu," katanya pasrah.
Daisha mengangguk dan menghela napas dalam-dalam, berhadapan dengan wanita paruh baya itu benar-benar membuat kesabarannya terus menipis. Terutama wanita muda yang bersamanya. Hinaan yang ia ucapkan masih terngiang di telinga, jelas dan tersimpan dengan baik.
"Bu, mereka berdua akan pamit. Aku akan mengantar mereka bersama Alfin," ucap Dareen setelah berhadapan dengan sang ibu.
Dewi berdiri dengan cepat, ia tak ingin Dareen pergi mengantar keduanya.
"Kenapa harus kau yang mengantar mereka? Kenapa tidak Alfin saja? Kau pasti lelah, sayang. Istirahatlah di rumah, ada Alfin yang akan mengantar mereka," jawab Dewi keberatan.
"Tidak apa-apa, aku akan langsung kembali pulang setelah memastikan mereka berada di rumah," jawab Dareen dengan yakin.
Ia tak ingin berlama-lama berada di saja, berdebat dengan ibunya tak akan pernah menemukan solusi. Dareen mengajak kedua gadis itu untuk segera meninggalkan rumah, satu rencana telah ia siapkan untuk keduanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Darsih suranto
jangan² ortunya Darren nih yg menyabotase kecelakaan kelurahannya si Daisha
2022-10-25
2
Yeni Yanti
mungkin Daren orang di masa kecil daisa
2022-10-19
2