Mobil sedan berwarna hitam itu, melaju pelan memasuki pekarangan rumah mewah seseorang. Dekorasi indah bak hiasan pengantin langsung menyambut kedatangan mereka.
"Kenapa kita masuk ke sini? Apakah kita akan menghadiri pesta pernikahan terlebih dahulu?" celetuk Laila sembari mengagumi setiap detail dekorasi tersebut.
"Wah, seandainya bunga-bunga itu dipesan dari toko kita, pasti uangnya banyak sekali. Eh, tapi aku rasa lebih segar dan indah bunga milik kita daripada yang ada di sini," celotehnya lagi sambil terus mengawasi keindahan pekarangan rumah tersebut.
Laila mencibirkan bibir, sedangkan Alfin tersenyum mendengar celotehannya.
"Kak, apa benar kita akan menghadiri pesta? Bukankah kita akan ke rumahmu?" tanya Daisha setelah mendengar celoteh Laila tadi.
Dareen menghela napas, gadis di sampingnya tak tahu jika ia sedang menahan geram. Matanya melirik tajam pada si pengemudi, pasti ulah laki-laki itu.
"Ini rumahku, Daisha. Mungkin Ibuku tahu jika aku akan pulang, dia menyiapkan ini semua. Maaf, ya," katanya sedikit malu dengan tingkah sang ibu.
Daisha tersenyum, ia yang tak melihat tak tahu bagaimana kondisi rumah sang kekasih. Akan tetapi, berbeda dengan Laila yang telah menyaksikan sendiri seperti apa kemegahan penyambutan untuk Dareen.
Ia terperangah mendengar bahwa itu adalah rumahnya, seteguk demi seteguk ludah ia telan dengan susah payah. Sungguh keadaan yang sangat jauh berbeda dari keadaan mereka. Bagai bumi dan langit, apakah keluarga Dareen akan menerima mereka?
Laila melirik pada sang kakak yang tampak tersenyum, hatinya meragu dan bimbang. Apa yang dikhawatirkan Daisha akan terjadi. Laila menggigit bibir, merasakan sakit yang bahkan belum menghampiri.
Pandanganya kembali ke depan, menghadap pintu utama rumah yang berdaun dua. Sungguh megah dan perkasa, dicat warna putih nan elegan. Di sana berdiri dua orang wanita berbeda usia, membuat dahi Laila berkerut.
"Apa yang di sana itu ibunya Kak Dareen?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari dua sosok wanita yang berhasil membuat dadanya bergemuruh.
"Kau benar, dia Nyonya di rumah ini," jawab Alfin setengah berbisik kepada Laila.
"Lalu, siapa wanita yang di sampingnya? Apakah kakaknya? Atau adiknya?" Ia lanjut bertanya penasaran.
Alfin melirik laki-laki yang duduk di belakang, Dareen bergeming karena ia sendiri tak ingat siapa wanita yang di sana. Lalu, lirikannya berpindah pada gadis di samping sang tuan yang masih tersenyum manis. Ia tak ingin menyakiti senyum itu.
"Dia hanya temannya." Helaan napas diakhiri dengan berhentinya mobil tepat di depan teras rumah.
Alfin yang hendak membuka pintu ditahan Dareen dengan cepat.
"Ada apa?"
"Apa kau mengenal wanita yang di sana? Aku sama sekali tidak mengingatnya," tanya Dareen membuat Alfin terperangah. Pantas saja dia tidak bereaksi.
"Dia hanya temanmu, tapi kau jangan terkejut saat berhadapan dengannya nanti. Dia selalu histeris dan dramatis," jawab Alfin seraya membuka pintu mobil dan keluar.
Dareen mengangguk-anggukkan kepalanya, ia meraba tangan Daisha dan menggenggamnya.
"Kau tunggu sebentar di sini, ya. Aku akan menemui Ibu dulu," pintanya yang disambut anggukan kepala.
Alfin membukakan pintu untuknya, Dareen keluar dan wanita paruh baya yang di sana terlihat tak sabar menunggu. Namun, tidak dengan gadis di sampingnya yang justru terlihat gelisah dan cemas. Menggigit bibir menahan gugup ketika melihat Dareen mulai melangkah.
"Dareen!"
Dewi berhambur tak sabar, memeluk sang putra yang dirindukan. Kembali menangis penuh haru, kali ini tangis kebahagiaan yang ia tumpahkan.
"Ibu, maafkan aku. Aku benar-benar tidak berniat meninggalkan rumah," katanya penuh sesal.
Dewi menciumi pundaknya, mengusap-usap punggung Dareen. Sungguh, ia rindu. Dareen menjatuhkan kepala di pundak ibunya, mengendus aroma khas dari tubuh wanita yang tak lagi muda itu. Ia melepas pelukan, mengucap dahi Dewi.
"Apa kau baik-baik saja, sayang? Bagaimana kehidupanmu selama ini? Apa kau makan dengan benar?" cecar Dewi sambil mengusap pipi anaknya.
"Aku baik-baik saja, Bu, bahkan jauh lebih baik. Aku ditemukan oleh orang-orang baik dan hidup bersama mereka. Aku sendiri tidak ingat bagiamana bisa terdampar di tempat tersebut," jawab Dareen menatap penuh pada manik wanita paruh baya itu.
"Oh, syukurlah. Ibu senang mendengarnya," sahut sang ibu sambil tersenyum lega.
Dareen mengangguk, ia melongok ke dalam rumah mencari keberadaan dua orang lainnya.
"Di mana ayah dan kakak, Bu?" tanya Dareen setelah tak menemukan keduanya.
Dewi menghela napas, ia sangat menyesal akan hal ini. Seharusnya mereka ada di sini, menyambut kedatangan Dareen. Akan tetapi, bisnis yang mereka jalani tak bisa ditinggalkan.
"Ayah sudah tiga hari berada di luar kota, dia tidak tahu jika kau akan pulang. Kakakmu, dia juga pergi ada bisnis yang harus dia urus katanya," jawab Dewi tak enak hati.
Dareen tersenyum, ia mengerti. Kedua orang itu memang sama-sama pecinta pekerjaan.
"Tiada apa-apa, Bu. Aku mengerti." Dareen kembali memeluk ibunya, ia tak menampik hatinya amat merindukan sosok tua itu.
"Mmm ... Dareen? Apa kau tak merindukan aku?" Sebuah suara lembut mengalun bergetar.
Dareen melepas pelukan, melirik wanita yang berada tak jauh dari mereka. Sungguh, ia tak ingat siapa wanita itu.
"Maaf, aku tidak mengingat siapa dirimu. Alfin mengatakan, kau temanku. Terima kasih sudah datang menyambut," ungkap Dareen dengan tulus.
Ia tersenyum, senyum yang bermakna lain cukup menggetarkan hati gadis tersebut. Air mata luruh dari kelopak yang berbingkai bulu lentik itu, ia tak menyangka Dareen akan melupakannya begitu saja.
"Ja-jadi ka-kau tidak ingat padaku?" tanyanya terbata.
Dareen mengangkat bahu tak acuh, ia sama sekali tidak mengingat sosoknya.
"Aku Aleena, kekasihmu. Sebentar lagi kita akan bertunangan, Dareen. Mengapa kau lupa?" tanya Aleena histeris.
Kening Dareen mengernyit, raut wajahnya menolak apa yang dikatakan wanita itu.
"Aku tidak merasa memiliki kekasih dengan penampilan terbuka seperti dirimu. Lagipula, aku sudah memiliki kekasih dan aku membawanya," jawab Dareen penuh percaya diri.
Dahi Dewi terlipat, ia melirik Aleena yang tampak bersedih dengan kenyataan yang harus dia terima. Terlupakan dan tergantikan.
"Tidak, Dareen. Aku kekasihmu, apa yang menyebabkan dirimu lupa padaku? Apa kau tidak ingat sama sekali tentang kita? Apa kau benar-benar melupakan semua waktu yang sudah kita lewati, Dareen?" jeritnya histeris.
Ia berhambur mendekat dan hendak memeluk laki-laki itu, tapi Dareen dengan cepat menghindar menolak bersentuhan dengannya.
"Sudah aku katakan aku telah memiliki kekasih. Dia calon istriku, jangan coba-coba menyentuhku," ancam Dareen tidak main-main.
Kerutan di dahi Dewi semakin bertumpuk, seperti apa gadis yang telah membuat Dareen berpaling dari wanita secantik Aleena.
"Memangnya siapa gadis itu, Nak? Apa kau benar-benar tidak ingat pada Aleena?" tanya Dewi penasaran.
Dareen mengalihkan pandangan dari Aleena yang menangis sesenggukan. Menatap Dewi lekat-lekat sebelum menghela napas.
"Namanya Daisha. Aku harap Ibu mau menerima dirinya karena jika tidak, aku akan kembali bersamanya dan tak akan kembali lagi ke rumah ini," katanya dengan nada mengancam. Sepertinya Dareen tahu bagaimana cara berpikir sang ibu.
Dewi tersenyum, ia mengangguk setuju. Tak ingin kehilangan Dareen lagi. Biarlah, dia hanya ingin melihat seperti apa gadis yang dicintai putranya kini.
"Ibu tunggu di sini, aku akan menjemputnya. Dia di mobil," pintanya seraya meninggalkan teras dan kembali ke mobil.
Dewi menunggu dengan cemas, ia mengernyit saat Laila keluar dengan wajah tegangnya. Tak lama Daisha pun keluar sambil memegang tongkat di tangan, dan gadis itu yang digandeng Dareen.
Mata Dewi membelalak, perang batin mulai terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Darsih suranto
SMG Bu Dewi g membeda-bedakan calon menantunya
2022-10-24
2