"Bagaimana keadaan rumahnya?" tanya Daisha sembari mendekatkan tubuh ke depan.
"Mmm ... aku tidak tahu persisnya, Kak, tapi sekilas dilihat saja sudah ketahuan rumah ini amat besar dan megah seperti istana," jawab Laila setelah mengamati sebentar keadaan rumah Dareen.
"Besar?" ulang Daisha dengan alis yang bertaut.
"Iya, Kak. Ada air mancur berbentuk kendi dari batu di bagian kiri rumahnya. Juga ada ayunan yang terbuat dari rotan, dan sofa-sofa di taman tersebut. Banyak pohon-pohon dan bunga-bunga ditanami, semua itu dihias seperti dekorasi pengantin," jawab Laila setelah mengamati sebentar keadaan rumah besar itu.
Daisha tertegun, sebuah ingatan muncul meski samar. Seorang anak laki-laki dan perempuan yang sedang bermain di sebuah taman sama persis seperti yang dikatakan Laila.
Siapa?
Hatinya bertanya entah pada siapa. Siapa yang dimaksud, ia sendiri pun tak tahu. Tertegun mencari jawaban, tapi tak kunjung mendapatkannya. Sampai pintu mobil dibuka Dareen, Daisha masih pada posisinya.
"Ayo, aku kenalkan kalian kepada Ibu," katanya sambil tersenyum senang.
Daisha mundur dan mengangguk, ia menggenggam tangan Dareen turun dari mobil. Laila sendiri telah keluar lebih dulu dengan hati yang was-was juga gelisah. Matanya menatap awas pada dua wanita di teras, mengernyit melihat wanita muda di sana yang menangis histeris.
Tak lama Daisha keluar digandeng Dareen, Laila gegas mendekati. Kekhawatiran semakin meraja di hati kala melihat Dewi yang membeliak tak senang. Laila menggandeng tangan Daisha dan menariknya ketika mulai melangkah.
"Ada apa?" tanya Daisha.
Gadis buta itu sebenarnya tahu bagaimana perasaan Laila saat ini. Namun, ia menahan kekhawatiran itu semata-mata hanya untuk menghargai Dareen yang begitu ingin memperkenalkan mereka.
"Sebaiknya kita pulang saja, Kak. Aku merasa cemas," katanya dengan lirih.
Daisha tersenyum, mengusap tangan Laila yang melingkar di lengannya dengan lembut.
"Tidak apa-apa, lagipula kita hanya akan berkenalan, bukan? Setelah itu, kita akan kembali," ucap Daisha membuat hati Dareen berdenyut.
Mengingat mereka akan kembali hari itu juga, hatinya tak dapat menerima. Akan tetapi, ia sendiri sadar mereka harus mendapatkan restu terlebih dahulu untuk menggapai keinginan.
"Tidak apa-apa, Laila. Kau jangan gelisah. Ada aku di sisi kalian, jangan cemas," ucap Dareen pula meyakinkan gadis remaja itu.
Laila menghela napas, melirik kembali pada Dewi yang tubuhnya menegang. Tangan wanita paruh baya itu bahkan mengepal menahan sesuatu yang bergejolak dalam dadanya.
Mereka melanjutkan langkah mendekati teras, Laila menunduk saat Dewi menatapnya. Tangannya yang melingkar di lengan sang kakak semakin erat terasa. Daisha bisa merasakan apa yang sedang dirasakan adiknya itu.
Mereka tiba di hadapan Dewi, wanita paruh baya itu terus menatap Daisha dengan dahi yang berkerut tak senang. Tak hanya dirinya, bahkan wanita muda yang tadi menangis segera saja menghapus air mata dan mencibir gadis yang digandeng Dareen.
"Bu, ini Daisha dan itu adiknya Laila." Dareen memperkenalkan mereka, ia menunjuk Laila yang terus menunduk. "Mereka berdua yang menemukanku dan merawatku selama ini. Jika bukan karena mereka, aku tidak tahu akan seperti apa nasibku dulu, Bu." Ia berbicara dengan lugas.
"Ja-jadi, ga-gadis ini yang kau maksud?" tanya Dewi terbata. Dadanya bergemuruh hebat, ingin ia mengusir mereka saja, tapi harus menahannya saat teringat pada ancaman Dareen tadi.
"Iya, Bu. Dia yang ingin aku nikahi, bukan gadis lain," sahut Dareen yakin.
Alfin yang berada di dekat mobil menatap cemas pada anak dan ibu itu. Terlebih ketika ia menatap sang nyonya rumah, tahu betul bagaimana perasaannya. Setelah ini, dialah yang akan dicecar habis-habisan olah wanita paruh baya itu. Oh, sudah dapat ia bayangkan bagaimana murkanya dia.
"Apa kau sudah gila, Dareen? Gadis buta ini yang ingin kau nikahi? Aku bahkan jauh lebih sempurna daripada dirinya, kenapa kau harus memilih dia? Ingat, Dareen, kau dan aku akan bertunangan sebentar lagi. Kau harus ingat, Dareen. Apa karena gadis buta ini hingga kau lupa padaku?" hardik Aleena menuding Daisha penuh murka.
Dewi menghela napas dengan dagu terangkat, amarah Aleena mewakili hatinya. Ia berpaling menatap pada hal lain, dalam hati menyoraki Aleena agar terus menerus memprotes Dareen.
Bagus, Aleena! Teruslah marah agar Dareen sadar dari kekeliruannya.
Dareen berjengit tak senang, menatap nyalang wanita lancang yang telah merendahkan Daisha. Namun, genggaman tangan yang mengerat, menjadi tanda dari gadis buta itu untuk tetap menahan diri.
"Jangan merendahkan calon istriku. Lagipula, siapa kau? Beraninya kau membandingkan dirimu dengannya, apa yang kau miliki hingga kau berani bersikap lancang!" bentak Dareen membuat Aleena tertegun seketika.
Begitu pula dengan Dewi, rasa tak percaya menyelimuti hati dan pikirannya. Oh, ada apa dengan putranya? Dia yang selama ini selalu menginginkan yang sempurna, mengapa sekarang memilih gadis dengan kekurangan, buta dan pastinya tak akan berguna.
"Sadar, Dareen. Mereka hanya memanfaatkanmu saja, aku yakin dia tidak benar-benar mencintaimu apalagi mau menikah denganmu. Dia hanya menginginkan hartamu saja, lagipula dia buta. Hanya akan mempermalukan dirimu dan menyusahkan saja. Apa kau tidak berpikir begitu? Dia tidak layak berada di sampingmu, Dareen." Aleena semakin meradang.
Kali ini bukan hanya Dareen yang menahan geram, tapi Laila juga mengepalkan tangannya. Tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh wanita angkuh itu. Keduanya hendak membuka mulut, tapi urung saat suara lirih Daisha terdengar.
"Aku mau pulang, antarkan kami sekarang juga!" Tegas dan penuh keyakinan.
Tak ada air mata, tak ada raut sedih. Dia biasa saja, berbeda dengan Laila yang wajahnya telah memerah seperti kepiting rebus.
Dareen menghela napas, hatinya gamang tak menentu. Ia melirik sang ibu yang bersikap biasa saja, bukannya membela Daisha justru terlihat seperti mendukung Aleena.
"Baik, jika Daisha tidak diterima di rumah ini, maka aku pun tak seharusnya berada di sini. Ayo, sebaiknya kita kembali. Aku sudah tidak mengenal ibuku lagi," ucap Dareen seraya berbalik dan benar-benar hendak pergi.
Dewi gelagapan, tapi Aleena memicing penuh dendam. Tidak terima dengan keputusan Dareen yang menggantikan dirinya dengan gadis buta itu.
"Tu-tunggu, Nak! Dareen, tunggu dulu!" Dewi berlari menghampiri putranya.
Sungguh tak mengira, putra bungsunya itu serius dengan ancaman yang ia ucapkan. Dewa menjegal langkah mereka, merubah raut wajahnya menjadi lebih lembut. Ia melirik Daisha yang tampak tegar di samping Dareen, dalam hati mengumpat tiada henti.
"Jangan dengarkan gadis itu, bukankah kalian datang untuk Ibu? Jadi, jangan pergi lagi. Sebaiknya kita masuk karena Ibu sudah menyiapkan makanan kesukaanmu, Nak. Ayo, kita semua masuk," ajak Dewi sembari menggandeng tangan Daisha meskipun jijik.
Gadis buta itu bergeming, ia dapat merasakan bagaimana tingkat ketulusan hati wanita paruh baya itu. Tidak ada.
Daisha tersenyum sinis, mencibir ibu dari Dareen tersebut.
"Seorang Ibu tak akan pernah rela anaknya pergi meski harus bertentangan dengan sisi lainnya," lirih Daisha membuat Ibu terpaku di tempat.
Matanya menatap tak percaya pada gadis buta itu, apakah dia bisa melihat? Kenapa seolah-olah ia bisa membaca ekspresi wajah seseorang?
"Ah, kau benar, Nak. Untuk itu, sebaiknya kita segera masuk dan menikmati hidangan yang sudah Ibu siapkan sedari pagi," ucap Ibu sambil tersenyum.
Dareen bergeming, menatap keduanya bergantian. Begitu pula dengan Laila, ia akan menuruti keinginan sang kakak. Pulang atau menetap sebentar.
Daisha tidak menyahut, ia menunggu Dareen memutuskan. Hanya sekedar untuk menghargai usaha seseorang membuat bahagia orang lain meskipun bertolak-belakang.
"Bagaimana? Apa kau akan menetap sebentar di sini, atau kita langsung pulang saja," ucap Dareen melirik Daisha.
Gadis buta itu tersenyum dan menyahut, "Bukankah kita tidak boleh menyia-nyiakan usaha seseorang? Itu pastinya akan menyakiti perasaan. Aku rasa menetap sebentar tidak masalah."
Senyum di bibirnya tetap tersemat, senyum yang berhasil meruntuhkan dunia Dareen. Laki-laki itu tahu seperti apa perasaan Daisha saat ini, tapi dia sungguh wanita yang tegar. Genangan di matanya bahkan tak terlihat muncul. Bukankah dia patut diperjuangkan?
"Baiklah, ayo!" Dareen kembali berbalik bersama Daisha.
"Ayo, Laila. Tidak sopan menolak jamuan sang tuan rumah," ucap Daisha.
Laila mendengus, menatap tajam ibunya Dareen sebelum berbalik menyusul.
"Dasar gadis kampungan! Kau pikir kau diterima di rumah ini, hah? Menyebalkan." Dewi menggerutu.
"Jika Nyonya ingin Dareen pergi lagi, maka katakan itu di depannya." Suara Alfin yang melintasi gendang telinganya membuat Dewi mematung. Hatinya bertambah kesal menatap punggung pemuda itu.
"Awas kalian!" Dia menggeram.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Darsih suranto
seruuuuu
2022-10-25
2
Yeni Yanti
lanjut kak
2022-10-18
2
Handayani
lanjut
2022-10-18
3