Mohabbat
Di sebuah jalanan lurus, licin, lagi sepi, dua buah mobil saling berkejaran satu sama lain. Ban yang berputar cepat di atas aspal, terkadang menyemburkan genangan air yang menggenang karena hujan. Deru suara mobil, berbaur dengan suara gemuruh dari langit. Air dan angin seolah-olah bersatu untuk memporak-porandakan apa-apa yang dilewati.
Termasuk keangkuhan manusia.
Mobil putih di depan tak ingin mengalah, begitu pula dengan warna hitam di belakangnya. Berputar cepat menyusul keunggulannya.
"Sial!" umpat si pengemudi mobil putih ketika rivalnya berhasil menyusul.
Ia membanting setir menghindari tabrakan, menginjak pedal gas semakin dalam. Akan tetapi, mobil hitam di belakangnya tetap mampu menyeimbangkan kecepatan. Dua benda cepat itu berdampingan, tak ingin mengalah satu sama lain.
"Kau harus mati!" katanya.
Mata setajam elang itu memicing penuh bara dendam. Teringin melahap mangsa yang sudah sekian hari diincarnya.
"Kali ini kau harus mati dan jangan pernah kembali lagi," gumamnya lagi sembari melirik pengemudi mobil putih yang berada di samping kirinya.
Pengemudi itu membanting setir ke kiri, menabrakkan mobilnya pada mobil putih yang berada di tepi. Pembatas jembatan yang tak seberapa itu tak dapat menghalanginya dari terjangan takdir.
Mobil itu terjun melayang dari atas jembatan dan mendarat di atas air. Sungai besar dengan arusnya yang kencang, membawa mobil itu hanyut bersama pengemudinya. Terus tenggelam hingga ke dasar karena air sungai yang terus masuk melalui celah mobil, memenuhinya sehingga menambah beban berat benda tersebut.
*****
Esok pagi yang cerah, di sebuah perkampungan pinggir sungai, dua orang gadis sedang asik bercengkerama di sebuah kebun bunga milik mereka. Beraneka macam bunga tumbuh di ladang seluas setengah hektar itu.
Keduanya memetik bunga sambil berbicara tentang takdir mereka yang masih rahasia. Berbicara soal pemuda yang datang membawa lamaran untuk meminang salah satunya.
"Tapi apa ada yang mau menikah dengan gadis buta sepertiku?" Kalimat bernada putus asa itu terucap lirih dari bibir manis salah satunya.
Si gadis kecil menghampiri dan memeluk tubuhnya, menjatuhkan dagu di pundak sang kakak yang amat dia sayangi.
"Jangan begitu, aku yakin suatu hari nanti pasti akan ada pemuda yang bisa mencintai Kakak dengan tulus apa adanya. Kita tidak pernah tahu takdir apa yang sedang menunggu kita di depan, bukan?" katanya yang terdengar manis di telinga kakak si Gadis Buta.
Ia tersenyum, menambah seri di wajahnya yang ayu. Gadis berwajah oval dengan garis alis yang sempurna itu bersyukur di sisinya seorang gadis kecil selalu menghangatkan hati. Ia mengangguk pelan, berharap doa itu akan sampai menyentuh langit ke tujuh.
Gadis kecil itu berlari meninggalkan sang kakak, memetik bunga di bagian lainnya. Meski meraba-raba, tapi ia mampu membedakan bunga-bunga yang tertanam di kebun itu. Langkahnya berlanjut menyusuri setiap bunga yang siap dipanen dan dijajakan di lapak mereka.
Namun, langkah itu terhenti disaat menabrak sesuatu. Ia berjongkok meraba-raba benda yang menghalangi kakinya itu. Mata itu membelalak terkejut saat kulit tangannya menyentuh bagian-bagian dari tubuh manusia.
"Laila! Di mana kau? Cepat kemari!" teriaknya bergetar.
Ia beranjak sambil memegang erat-erat tongkat di tangan. Gemetar tangan dan kakinya, telinga awas mendengar langkah kaki si gadis kecil, kepalanya menoleh kian kemari dengan gelisah.
"Ada apa, Kak? Kenapa Kakak berteriak?" tanyanya segera.
Tangan gadis buta itu terangkat, gemetaran ia menunjuk tempatnya menemukan sesosok mayat ... ah, entahlah apakah itu mayat ataukah manusia hidup.
Laila melongo dari balik tanaman bunga yang menghalangi. Sontak kedua tangannya menutup mulut dengan mata membelalak kaget melihat sesosok tubuh tergolek di tepi kebun bunga mereka.
"A-apakah i-itu m-m-mayat?" tanya si Gadis Buta gagap. Jemarinya meremas ujung tongkat gelisah, bibir merah alami itu berkedut-kedut menahan rasa yang bergetar.
Laila memberanikan diri mendekati sosok itu, menempelkan dua jari di lubang hidungnya. Ia semakin dibuat terkejut, napasnya masih terasa meskipun lemah.
"Dia masih hidup, Kak. Masih bernapas," pekik Laila dengan mata membelalak.
"A-apa? Kau coba panggil seseorang untuk membantunya," pinta gadis tersebut pada Laila.
"Aku tidak akan meninggalkan Kakak sendirian, bagaimana jika dia hanya berpura-pura saja? Setelah aku pergi, dia terbangun dan melakukan sesuatu pada Kakak?" sungutnya sambil melirik tajam pada laki-laki yang terkapar di tanah.
Gadis buta itu menghela napas, selalu dan selalu adiknya itu berbicara demikian saat di dekat mereka ada sesuatu yang asing.
Laki-laki itu melenguh, matanya berkedip hendak terbuka.
"Air! Aku mau air!" katanya dengan suara yang parau.
"Ambil air cepat!"
Laila bergegas mendatangi sungai dan mengambil air menggunakan daun. Diberikannya air tersebut pada pemuda tadi, setelah sang kakak membantunya duduk.
"Siapa kalian? Kenapa aku ada di sini?" tanyanya bingung sambil memegangi kepala.
"Kami tinggal di sekitar sini. Maaf, Anda siapa? Dan kenapa bisa sampai tidur di sini? Pakaian Anda juga basah dan robek, apakah Anda terhanyut di sungai?" tanya si Gadis Buta dengan suaranya yang merdu.
Laki-laki itu membuka mata, menatap wajah cantik di depannya. Ia mengernyit ketika mata indah miliknya justru mengarah pada yang lain.
Laila memperhatikan dengan geram, dia akan langsung meninjunya saja jika bertanya soal kondisi mata sang kakak. Akan tetapi, laki-laki itu justru berbalik tanpa mengatakan hal yang tak mengenakan itu.
"Aku tidak tahu, aku tidak tahu apa-apa," katanya menyesal.
"Namamu? Apa kau ingat siapa namamu?" tanyanya lagi.
"Tidak, aku bahkan tidak bisa mengingat namaku. Mmm ... boleh aku menumpang di rumah kalian sampai keadaanku pulih? Setelah itu, aku akan pergi. Aku berjanji," pinta laki-laki itu menatap bergantian dua wanita cantik yang menolongnya.
"Baiklah, tidak masalah. Rumah kami tak jauh dari sini, apa kau bisa berjalan sendiri?" sahut si Gadis Buta dengan kemurahan hatinya.
"Kakak, dia orang asing. Kita tidak tahu apa tujuannya datang, bagaimana jika dia berbuat jahat kepada kita?" tolak Laila keberatan.
Gadis buta itu tersenyum, membuat hati si laki-laki berdenyut.
"Tidak apa-apa, lagipula Kakak pikir dia pasti terluka. Setidaknya kita bisa menolong dia mengobati lukanya, bukan?"
Laila mendengus.
"Mmm ... jika kau tak ingat siapa namamu, bagaimana jika kami memberimu nama Al?" saran gadis itu.
Ia berpikir dan setuju, "Tidak buruk."
"Baiklah, Al. Bagaimana jika kita pergi sekarang, kami juga sudah selesai memetik bunga," ajak si Gadis Buta sambil beranjak.
Ia membantu Al untuk berdiri, sedangkan Laila mendengus tak suka. Cemas dengan kebaikan sang kakak yang tak pernah pandang bulu. Gadis buta itu bahkan menuntun Al di perjalanan menuju rumah mereka.
Al terenyuh, hatinya menghangat dengan kebaikan si Gadis Buta yang sedang memegang tangannya. Lembut terasa, gelenyar aneh menelusup dalam setiap denyut nadi dan menyalakan rasa yang tak pernah bersinar.
Dia gadis yang baik, pantas saja gadis kecil di sana amat mengkhawatirkannya.
Al tersenyum, bersyukur dalam hati merekalah yang menemukannya.
"Siapa namamu?" tanya Al sesaat setelah mereka duduk di bale-bale depan rumah yang terbuat dari bambu.
Rumah sederhana hanya terbuat dari anyaman bambu. Sebuah rumah panggung yang sejuk dan asri, ada berbagai macam tanaman bunga yang tumbuh mengelilingi rumah tersebut.
"Daisha, panggil saja begitu," jawab si Gadis Buta sambil meletakkan keranjang yang berisi bunga.
"Laila, kamu susun bunga-bunganya, ya. Kakak mau buat teh dulu," pinta Daisha pada sang adik.
Ia melangkah sambil meraba-raba dinding rumah, Al menatap cemas pada setiap langkah yang diayunnya.
"Kakak kecelakaan dan kehilangan penglihatannya." Suara Laila yang tiba-tiba menyentak lamunan Al.
Laki-laki itu menoleh sambil mengernyitkan dahi. Lalu, kembali melongo ke dalam rumah untuk melihat kedatangan Daisha. Gadis itu buta, tapi ia tak salah arah melangkah meski di tangannya membawa nampan bersisi minuman.
"Silahkan diminum! Seadanya saja," katanya lemah lembut.
Sejak pandangan pertama, Al tak dapat mengalihkan mata dari sosok jelita yang duduk di hadapannya. Hatinya telah terpikat oleh kebaikan yang dilakukan Daisha.
Gadis itu bahkan tak segan mengobati luka di kakinya, membalutnya dengan hati-hati. Sungguh, meskipun ingin tertawa, Al harus menahannya.
"Terima kasih," tutur Al setelah Daisha selesai merapikan lukanya.
"Jangan sungkan." Daisha tersenyum, senyum yang menyentak hati Al. Senyum yang membuatnya tak dapat melepaskan sosok Daisha.
Sejak saat itu, hati Al terus berdenyut ketika berinteraksi dengannya. Apakah dia jatuh cinta?
****
Hai, hai, hai ... selamat datang di kisah terbaru author. Silahkan tinggalkan komentar, terimakasih banyak atas dukungannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Bintang Yafi
apa kabar author?tadinya mau nunggu banyak upnya supaya anteng tp penasaaran karna karya sebelunya bagus 😁😁
2022-10-13
1
April April
waaaah udah ada karya baru kak aisy,aku mampir kak... semoga kak aisy semangat terus untuk berkarya ☺️😚
2022-10-09
1
Fitri Prasetyo
auto fav Thor..
2022-10-06
2