Daisha tersenyum menghadap ke arah toko bunga baru miliknya itu. Semenjak pindah, toko mereka tak pernah sepi. Selalu saja ada pesanan ataupun pelanggan yang membeli langsung ke toko.
Ia bersyukur, kehidupannya sekarang sudah lebih baik. Cita-citanya adalah menyekolahkan Laila hingga jenjang perguruan tinggi. Agar ia menjadi manusia sesungguhnya, manusia yang dihargai semua orang.
Kau harus sukses, Laila. Kau harus melanjutkan pendidikanmu, aku akan menemani perjalananmu.
Hati kecil Daisha bergumam, sungguh ia menyayangi Laila seperti adik kandung sendiri.
"Kakak!" Laila memeluk Daisha dari belakang, mencium pipi lembut itu sekilas sebelum menjatuhkan dagu di atas pundak kokoh sang kakak.
"Sudah selesai? Bagaimana? Apa mereka puas dengan rangkaian bunga kita?" tanya Daisha sembari memegang tangan Laila yang melingkar di dadanya.
"Mmm ... mereka menyukainya, Kak. Mereka puas, bahkan mereka memberikan uang lebih. Katanya, untuk ongkos kirimnya," sahut Laila dengan senang.
"Syukurlah." Daisha menarik tangan Laila ke depan dan membawanya duduk di kursi depan toko.
Ada hal yang ingin dibicarakannya dengan gadis remaja itu. Soal pendidikan Laila yang terputus karena masalah biaya dan kepindahan.
"Ada apa, Kak. Sepertinya ada hal yang ingin Kakak katakan," tanya Laila menebak raut wajah Daisha yang tampak berpikir keras.
Gadis buta itu menghela napas, ia meraba meja yang memisahkan mereka berdua. Mencari tangan Laila dan menggenggamnya.
"Laila, sepulangnya kita dari Jakarta nanti, kau harus mulai melanjutkan sekolah. Kakak dengar ada sekolah terbaik di sekitar sini. Kali ini, aku tidak mengizinkanmu menolak. Semua itu demi dirimu, agar kelak kau dihargai orang dan tidak direndahkan lagi seperti sekarang ini," tutur Daisha dengan lembut.
Ia kembali menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan.
"Manusia akan dihargai karena dua hal. Pertama, karena hartanya. Yang kedua karena ilmu pengetahuannya. Jika tidak keduanya, maka milikilah salah satunya. Orang-orang bodoh akan memuliakan dirimu karena harta yang kau miliki, tapi mereka yang berakal akan memuliakanmu karena ilmu pengetahuan yang kau miliki."
Genggaman tangan Daisha semakin erat disaat ia merasakan tangan Laila yang lembab karena keringat.
"Kita tidak terlahir dari keluarga berada, untuk makan saja kita harus membanting tulang. Maka, pendidikan harus dinomor satukan agar semua orang tidak memandang kita rendah. Kau harus menjadi manusia, Laila. Manusia yang mengenal dirinya, bukan hanya sekedar manusia," pungkasnya sambil tersenyum lembut kepada gadis remaja yang ia angkat sebagai adik.
Laila terenyuh, sudah lama sekali ia mengubur keinginannya untuk melanjutkan sekolah dikarenakan keadaan mereka yang serba pas-pasan. Belum lagi, Daisha harus rutin kontrol masalah traumanya jika ingin sembuh. Ia memupus impian dan cita-citanya demi merawat sang kakak.
Sekarang, ucapan Daisha terdengar seperti sebuah permintaan yang tak dapat ia tolak. Keinginan dan cita-cita yang dikuburnya sejak lama, kini perlahan bangkit. Semata-mata untuk membahagiakan sang kakak.
"Jadi, bagaimana? Apa kau siap kembali ke sekolah?" tanya Daisha lagi dengan tetap tersenyum, "jangan terlalu lama berpikir karena waktu terus berjalan dan menghabiskan kesempatan yang diberikan Tuhan," lanjutnya lagi sembari menggerakkan genggaman tangan mereka untuk meyakinkan hati Laila.
Gadis remaja itu menatap lekat kedua netra Daisha yang entah tertuju ke mana. Hangat dan menenangkan. Seandainya saja bisa melihat, mata itu pastinya akan menjadi mata terindah di dunia.
"Jika ini sebuah permintaan, maka aku tak akan bisa menolaknya. Aku berjanji akan menjadi manusia berguna dan Kakak harus bisa menyaksikan itu semua. Terima kasih, Kak. Terima kasih," sahut Laila sambil menangis penuh haru.
Ia beranjak meninggalkan kursinya dan memeluk Daisha. Rasa haru bercampur bahagia meliputi hati keduanya. Sama-sama bersyukur atas kehidupan yang diberikan Tuhan kepada mereka.
Tanpa mereka sadari, Dareen ada di sana. Berdiri tak jauh dari rangkaian bunga yang akan diantar ke tempat lain. Sebisa mungkin mereka selesaikan semua pesanan pagi itu untuk mempersiapkan kepergian mereka esok hari.
"Kakakmu benar, pendidikan itu nomor satu dalam kehidupan. Aku telah banyak menyaksikan bagaimana mereka yang tak berpendidikan dipandang rendah. Aku setuju, kau harus melanjutkan sekolahmu," tutur Dareen sambil melangkah mendekati keduanya.
Ia tersenyum melihat kasih sayang mereka berdua. Mereka memang tak memiliki hubungan darah, tapi ikatan di antara mereka begitu kuat dan tak dapat diputus begitu saja.
Ia sendiri tak ingat, apakah hubungannya dengan sang kakak terasa hangat dan akrab seperti mereka berdua? Ingin rasanya dia bisa mengingat semua, bagaimana kehidupannya dulu bersama Cakra.
Kenapa hanya bagian Kakak yang aku lupakan? Ada apa sebenarnya? Aku ingin tahu seperti apa kehidupan kami dulu.
Hati dan pikiran Dareen bergumam setuju, mengorek ingatan tentang kebersamaan mereka selama ini. Sayangnya, ia tak menemukan itu semua meski hanya selintas saja.
Mendengar suara Dareen, Laila melepas pelukan. Ia mengusap air mata dan berbalik menghadap laki-laki itu.
"Kelak, jika kalian menikah, kau harus membuat Kakakku bahagia. Jangan buat dia menangis, apalagi karena sebuah kesakitan. Jangan pernah. Kakak harus bahagia, dia satu-satunya yang aku miliki di dunia ini. Jangan pernah menyakiti Kakak," pinta Laila dengan kesungguhan hatinya.
Daisha tersenyum, ia merangkul tubuh sang adik dan memeluknya. Takdir mempertemukan mereka tanpa sengaja, untuk saling melengkapi kasih sayang satu sama lain. Daisha membutuhkan Laila, dan Laila membutuhkan kasih sayangnya yang memang tak terbatas.
Dareen tersenyum, mengangguk sambil menatap yakin pada kedua manik gadis remaja itu.
"Aku berjanji, aku akan membuatnya bahagia. Kita berdua akan selalu membuatnya tersenyum untuk sepanjang hidupnya." Dareen menjatuhkan pandangan pada gadis buta itu.
Kebahagiaan jelas terpancar dari kedua maniknya yang kosong. Bibirnya membentuk senyuman, senyum yang ingin Dareen jaga untuk selamanya.
"Kau dengar, Sha. Adikmu merestui kita. Setelah bertemu orang tuaku, secepatnya aku akan menikahimu. Kita akan tinggal bersama, di mana pun kau ingin," tutur Dareen menambah bunga di hati Daisha.
Tanpa tahu takdir apa yang sedang menunggu di hadapan, Dareen mengatakan kesungguhannya di bawah terpaan sinar mentari yang baru naik sepenggalan. Cahayanya jatuh pada ujung bunga-bunga milik mereka, menambah kesegaran padanya.
Daisha mengangguk setuju, memang lebih baik begitu. Jika takdir sudah berkehendak, maka ia tak dapat menolak. Mungkin dengan menikah, beban yang ditanggungnya akan berkurang.
"Baiklah, aku harus pergi mengantar pesanan lagi. Hanya tinggal dua alamat lagi saja, setelah itu selesai," ucap Dareen bersemangat.
Laila dan Daisha tersenyum bahagia, keduanya tidak menyangka kehadiran Dareen justru membawa kemudahan dalam hidup mereka.
"Aku bantu Kak Dareen dulu," bisiknya pada Daisha.
Gadis buta itu mengangguk setuju dan tetap duduk mendengarkan suara-suara.
"Biar aku saja, kau tetap di sini temani calon istriku," sergah Dareen ketika Laila hendak ikut mengantar bunga.
"Siap!"
Ia kembali ke tempat Daisha, menunggu pelanggan yang datang membeli bunga. Rencana mereka menghabiskan stok bunga hari itu sebelum pergi mengunjungi Jakarta.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Darsih suranto
pas balapan dan kecelakaan itu,berarti Darren g mengingatnya y Thor?
2022-10-10
2
delis armelia
lanjut aku suka
2022-10-09
2