"Sebaiknya kita kembali sekarang, perasaanku mengatakan sesuatu terjadi di kedai," ucap Daisha secara spontan terus berdiri dari duduknya.
"Terima kasih, Dokter. Aku akan lebih keras lagi untuk melawan rasa traumaku. Kami permisi," ucap Daisha setengah membungkuk sebelum berbalik sambil mengayunkan tongkatnya, diikuti Laila dan Dareen.
"Kakak, apa yang terjadi?" Laila bertanya sambil mensejajarkan langkah dengan Daisha.
"Kakak tidak tahu, tapi perasaan tidak enak," jawabnya gelisah.
Dareen melangkah di belakang memperhatikan punggung keduanya. Mengawasi sambil berpikir bagaimana cara menghilangkan trauma Daisha.
"Biar aku saja," sergah Dareen saat Laila hendak duduk di kursi balik kemudi.
"Tidak perlu, duduk saja. Biar aku yang mengemudi," sahutnya judes, seraya cepat-cepat masuk dan duduk.
Dareen mengalah, duduk berdampingan dengan Daisha. Ia merasa bersalah atas apa yang terjadi di rumah sakit tadi. Sungguh tak pernah menduga Daisha yang ceria memiliki kisah kelam di masa lalu.
Tangan Dareen merayap menautkan jemari mereka dengan hangat. Setelah setengah tahun lebih tinggal bersama, Dareen masih belum tahu apa-apa tentang seorang Daisha. Siapa keluarganya, seperti apa rupa mereka? Karena walaupun hanya satu gambar, Daisha tidak memilikinya.
Laila melirik, tapi tak acuh. Terus fokus mengemudi sambil memikirkan apa yang terjadi di kedai. Semoga bukan hal buruk. Begitu harapnya. Gadis kecil itu menghela napas, memikirkan semua yang terjadi.
Sejak kedatangan Dareen, masalah selalu saja datang menghampiri mereka. Mobil berbelok menuju kedai mereka, kedai yang berada di pinggir pertokoan. Sendiri, tapi tidak sepi.
Laila menahan napas dengan kedua mata melotot lebar melihat keadaan kedainya. Ia menghentikan mobil dan melompat turun. Laila berlari mendekati gubuk mereka, matanya berkedut-kedut dan memanas.
Ia berjongkok memungut sebuah kayu yang pernah menjadi penyangga untuk atap. Laila duduk di tanah, menangis sambil mengumpulkan puing-puing bekas gubuk mereka yang masih bisa dipakai.
"Laila!" tegur Daisha yang datang bersama Dareen.
"Siapa yang tega melakukan ini semua!" geram Dareen melihat gubuk bunga beserta bunga-bunga yang baru disusun hancur berantakan.
"Kedai kita hancur, Kak. Bunga-bunga semuanya hancur. Bagaimana ini? Pesanan hari ini belum dikirim semua, tapi bunga-bunga kita sudah hancur. Kakak, bagaimana ini?" rengek Laila sembari memeluk beberapa balok kayu.
Air matanya luruh dengan deras, memikirkan nasib bunga-bunga yang telah hancur berantakan. Daisha menahan napas sejenak sebelum menghirup udara sebanyak-banyaknya. Ia menenangkan diri agar tidak terbawa panik seperti tadi.
Daisha membawa dirinya mendekati Laila, berjongkok di samping sang adik sambil mengusap punggungnya yang bergetar.
"Tidak apa-apa, kita akan memperbaikinya. Bukankah kita sudah sering mengalami ini? Yang rusak biarkan saja, kita akan memetiknya lagi di kebun," ucap Daisha dengan lembut.
Laila mendongak, menatap pada manik sang Kakak yang tak berfungsi telah lama meskipun indah terlihat. Ia memeluk Daisha, jika sudah begini maka tidak sedikit uang yang akan keluar untuk membayar upah warga yang membenarkan kedai mereka.
Dareen mendekat, memperhatikan sekeliling puing, mencari-cari petunjuk yang mungkin saja ditinggalkan pelaku.
"Kakak, kenapa orang-orang selalu jahat terhadap kita? Kenapa mereka tidak bisa membiarkan kita hidup dengan tenang? Kenapa, Kak?" ucap Laila meratapi nasib diri yang selalu saja datang pengganggu.
Daisha mendekap kepala sang adik, mengusapnya penuh perhatian. Menenangkan Laila dengan sikapnya yang setenang air.
"Tidak apa-apa, yang penting kita masih baik-baik saja. Jika hanya ini saja, maka kita tidak perlu cemas. Tinggal diperbaiki, maka selesai," ucap Daisha sambil mencoba menahan gejolak yang lagi-lagi meluap.
Kejadian ini bukan pertama yang mereka alami, tapi sudah sering kali ada orang aneh yang tiba-tiba menghancurkan kedai bunga itu. Entah apa motifnya, kedua gadis itu tidak pernah memikirkannya.
"Tapi, Kak, jika begini terus uang yang Kakak kumpulkan akan habis dan cita-cita Kakak membangun tempat yang lebih layak harus tertunda lagi." Laila merasa sedih, ia memiliki tekad untuk menangkap basah si pelaku penghancuran kedai mereka.
Namun, sampai hari itu, ia belum juga memergoki orang tersebut. Dareen melirik mendengar suara Laila soal cita-cita seorang Daisha. Ia terenyuh, ingin membantu, tapi tak tahu bagaimana caranya.
Tepat saat ia berpaling, sesuatu menyilaukan matanya. Sebuah benda terbuat dari logam yang terkena pantulan sinar matahari, menyita perhatian Dareen. Ia melangkah, berjongkok sambil menyingkirkan puing-puing reruntuhan dan mengambil benda tersebut.
Sebuah jam tangan mewah, yang harganya tentu saja mahal. Dareen tahu itu bukanlah benda sembarangan. Mungkin adalah petunjuk, milik si pelaku. Terbesit dalam pikiran untuk menjual benda tersebut dan membangun kembali kedai milik Daisha.
Ia tersenyum, mungkin ini cara yang diberikan Tuhan kepadanya untuk membantu dua gadis itu. Ia beranjak dan berjalan cepat menghampiri Daisha juga Laila.
"Aku menemukan sesuatu dan kalian pasti tidak akan percaya apa yang aku temukan ini," ucapnya sambil menunjukkan jam tangan tersebut.
Laila melirik, kemudian mencibir.
"Hanya jam tangan apa istimewanya? Apakah itu bisa membantu Kakak membangun kedai kembali?" tanyanya sembari menyusut air mata.
"Jangan tangan?" Daisha bergumam. Ia meraba-raba pikiran, sebuah ingatan tentang jam tangan.
"Bisa aku pegang?" pintanya sambil menadahkan tangan ke depan, padahal Dareen tepat di sampingnya.
Laki-laki itu meletakkan jam tersebut di tangan Daisha. Dengan mata terpejam, jemarinya yang lentik mulai meraba benda di tangan. Daisha membeliak, dari perkiraannya itu bukanlah jam sembarangan.
"I-ini ... di mana kau menemukannya?" tanya Daisha bergetar.
"Di sana, aku tidak sengaja menemukannya tertimpa kayu-kayu. Mmm ... kau tahu sesuatu?" Dareen tertarik dengan kemampuan Daisha. Apakah gadis buta itu tahu bahwa benda di tangannya berharga tinggi jika dijual.
"Jam ini bukanlah jam sembarangan, aku tahu kisaran harga jam tangan ini. Jika dijual, maka harganya akan lebih dari cukup untuk membangun satu kedai. Apa aku benar?" cerocos Daisha mempertajam indera pendengarannya menunggu jawaban.
Dareen menahan napas, sedangkan Laila justru tertawa tak percaya.
"Tidak mungkin ada jam tangan yang mampu membangun satu kedai, Kakak. Apalagi ditinggalkan begitu saja," ucap Laila tak percaya.
Daisha menggeleng, ibu jarinya meraba pengait jam memastikan.
"Ini tidak ditinggalkan, tapi memang tak sengaja terjatuh. Mungkin saat dia menghancurkan kedai kita ini dan tak sengaja menjatuhkannya. Baiklah, aku anggap ini sebagai kompensasi." Daisha tersenyum.
"Kak, kau bisa bantu kami menjualkan benda ini, bukan? Kami ingin membangun kedai kami dengan uang dari hasil penjualan jam tangan ini," pinta Daisha kepada Dareen.
"Tidak masalah," sahut Dareen sembari menghendikan bahu. Itulah yang dia inginkan, menjual benda tersebut untuk membangun kembali kedai bunga Daisha.
"Tunggu! Keluarkan ponselmu, Laila. Aku ingin kau memotret benda ini sebelum kita menjualnya," pinta Daisha kepada Laila.
Meski bingung, tapi Laila tetap melakukan apa yang diminta oleh kakaknya. Mereka kehilangan kedai hari itu, tapi segera diganti dengan kedai yang baru. Daisha memilih tempat lebih strategis dari sebelumnya. Bangunan dengan dinding kaca transparan yang memperlihatkan aneka bunga di dalamnya. Sesuai dengan keinginan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Darsih suranto
untung ada jam tangan itu....impas
2022-10-10
2
Nani kusmiati
rejeki anak solehah mungkin itu yang cocok buat mereka, kedai rusak dapat jam tangan mahal buat gantinya 🤭😅😅😅,lanjut author 👍🏻👍🏻👍🏻
2022-10-06
2