"Kakak, apa kau yakin kita akan pergi? Bagaimana ...."
Laila menggigit bibir tak kuasa melanjutkan ucapan. Tentang trauma Daisha yang tiba-tiba muncul. Ia tak ingin kakaknya itu menjadi tontonan seperti yang sudah-sudah, mendapat tatapan mengejek dari semua orang karena mengamuk tak jelas.
Daisha tersenyum, tangannya meraba udara hingga dapat menggapai wajah Laila yang tertunduk. Gadis remaja itu mengangkat kepala, memperhatikan lekat-lekat wajah sang kakak yang selalu dihiasi senyuman.
"Kakak harus bisa melawannya, bukan? Untuk dapat sembuh dari semua itu, Kakak harus menjadi lebih kuat lagi. Kau mau bantu Kakak, bukan?" ucapnya sembari menyentuh pipi Laila yang gembil.
Hati remaja itu terenyuh, mereka memang tidak memiliki ikatan darah, tapi persaudaraan yang mereka jalin tak kalah kuat seperti mereka yang berstatus kandung. Ia menggenggam tangan Daisha di pipinya, menautkan jemari mereka untuk mengikat rasa saling percaya satu sama lain.
"Iya, Kak. Aku pasti akan membantu Kakak. Aku juga ingin Kakak sembuh. Yakinlah, Kak, Kakak pasti kuat dan bisa melawan itu semua. Aku sayang Kakak," tegas Laila seraya memeluk tubuh Daisha.
Malam itu, mereka hanyut dalam buai kasih sayang yang terjalin karena takdir. Daisha memutuskan untuk pergi ke Jakarta karena selain mengiyakan ajakan Dareen, ia pun ingin mengunjungi makam kedua orang tuanya.
"Ya sudah, sekarang kita tidur. Besok pagi-pagi semua pesanan harus telah siap dan diantar. Setelah itu, kita akan tutup sementara ... mungkin sekitar tiga hari," ucap Daisha yang diangguki Laila.
Keduanya merebah, melindungi diri dari dingin dengan bergelung di dalam selimut.
Sementara itu, di kamar lain, Dareen tak dapat memejamkan mata. Mengingat keputusan yang diberikan Daisha tadi sore, ia jadi gelisah sendiri.
"Semoga Daisha bisa melawan rasa traumanya. Aku berharap secepatnya mendapat donor mata, agar Daisha bisa melihat seperti dulu lagi," gumam Dareen sambil terlentang menatap langit-langit kamar dengan kedua tangan berada di bawah kepala.
Kakinya yang menggantung, digoyang-goyangkan hingga menimbulkan suara-suara abstrak dari benturan kaki dan dipan. Dareen membalik tubuh, ia tersenyum tatkala matanya tertuju pada sebuah figura kecil dengan gambar seorang Daisha.
Diambilnya benda tersebut, disapunya wajah ayu itu menggunakan ibu jari. Sungguh, Dareen telah terpaut padanya. Sekalipun, seluruh dunia menentang, dia tak akan pernah meninggalkan gadis itu.
"Kau cantik, Sha, tapi bukan itu yang membuatku jatuh dalam cinta yang dalam kepadamu. Kau memiliki hati yang tulus lagi murni, apakah kita bisa bersama untuk selamanya, Sha? Kau tidak akan marah terhadapku, bukan? Kumohon, jangan benci aku bila nanti kau tahu siapa aku. Aku mencintaimu, Sha," ungkapnya seorang diri.
Ia mencium gambar tersebut dan mendekapnya. Bersama hanyut dalam buai alam mimpi yang mengantarkannya pada kebahagiaan yang hakiki.
****
Di tempat lain, laki-laki itu pun tak tenang dibuatnya. Kamar yang luas dengan nuansa maskulin itu tak menjadikan hatinya tenang dikala bayangan sang adik datang mengganggu.
"Ayolah, Cakra, berpikir. Selanjutnya apa?" Ia mengusap wajah, berjalan kian kemari sambil berkacak pinggang gelisah. Berkali-kali ia membasahi bibir dengan sapuan lidah, guna mengusir rasa gundah gulana yang melanda.
"Cakra!"
Tiba-tiba pintu terbuka dengan cepat dan tanpa permisi, wanita separuh baya itu merangsek masuk ke dalam dengan wajahnya yang sembab.
"Ibu! Ada apa?" Cakra terkejut, ia lantas merubah ekspresi wajahnya menjadi biasa.
Wanita itu berhambur ke hadapan sang putra sulung, memandang lekat-lekat wajah yang serupa dengan ayahnya itu.
"Ada yang mengatakan jika kau telah menemukan adikmu, apa itu benar?" tanya sang ibu dengan suara yang bergetar.
Air yang ditahannya sejak menerima kabar itu pun jatuh dengan sendirinya. Cakra bergeming, ia mengancam siapa saja yang membocorkan berita itu pada ibunya.
Ia menghela napas, menunduk sejenak sebelum kembali menatap wajah sang ibu.
"Inilah kenapa aku tidak memberitahu Ibu. Aku memang bertemu dengan Dareen, dia baik-baik saja-"
"Lalu, kenapa kau tidak membawanya pulang? Kenapa kau tinggalkan dia di sana? Bagaimana kehidupannya, bagaimana makannya? Apakah dia tidak merindukan keluarganya?" cecar Ibu dengan air mata yang kian menganak sungai.
Lagi-lagi Cakra menghela napas, tidak ada saja Dareen selalu merepotkan dirinya.
"Aku sudah mengajaknya pulang, Ibu, tapi Dareen menolak. Dia mengatakan masih ada urusan yang belum selesai di sana. Ibu tenang saja, dia juga mengatakan kepadaku bahwa akan memberi kabar saat pulang nanti. Dia hanya berpesan seperti itu saja, Bu," ungkap Cakra, kali ini ia berbicara jujur sesuai fakta.
"Di mana kau bertemu dengannya?" Suara seorang laki-laki tiba-tiba menyeruak ke dalam obrolan mereka.
Cakra dan sang ibu sama-sama menoleh ke arah pintu, Bardy berdiri di sana. Dengan wajah yang kuyu dan tak segar seperti biasanya, ia menatap istri dan putra sulungnya.
"Mas!" Dewi berhambur ke dalam pelukan suaminya. Menangis dalam dekap hangat laki-laki yang sudah lebih dari tiga puluh tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersamanya.
"Ayah, dia tidak ingin aku memberitahu kalian. Dia takut Ayah dan Ibu akan pergi menyusulnya dan mengacaukan rencana yang sudah dia buat. Setidaknya, itulah yang harus aku sampaikan kepada kalian," ucap Cakra mengarang cerita.
Bardy menatap lekat manik sang putra, ia memang tak pernah membedakan keduanya. Sejak muda, Cakra sudah diberi tanggung jawab mengurus anak perusahaan mereka. Selama itu pula, semuanya baik-baik saja, bahkan Cakra membawa perubahan positif untuk villa-villa dan hotel-hotel yang berada di bahwa naungan perusahaan mereka.
Namun, perusahaan utama yang diinginkan Cakra, dia ingin menjadi presiden direktur di perusahaan keluarga mereka. Seharusnya dia, bukan Dareen. Akan tetapi, kakek dan ayahnya menunjuk sang adik untuk menempati posisi Presdir itu.
"Kau yakin dia mengatakan itu? Apa di antara kalian ada masalah?" tuntut sang ayah dengan kedua mata yang memicing.
Cakra gugup, tubuhnya sontak saja menegang. Bagaimana ayahnya tahu jika di antara mereka terlibat masalah?
"Ah ... Ayah, kami baik-baik saja. Percaya padaku, jika tidak, saat pulang nanti tanyakan saja pada Dareen. Dia memang harus menyelesaikan urusannya di sana, setelah itu dia pastikan akan pulang. Aku juga tidak tahu urusan seperti apa, Dareen tidak mengatakannya kepadaku." Cakra tersenyum canggung, mencoba menjelaskan sambil menekan rasa gugup yang tiba-tiba menyerang hatinya.
Bardy menghela napas, mencoba untuk percaya pada sulungnya itu.
"Kita jemput dia saja, Mas. Aku ingin melihatnya, aku ingin bertemu dengannya. Apakah dia tidak merindukan ibunya ini?" ungkap Dewi sambil terisak-isak dalam dekapan suaminya.
"Kau tenang dulu, mungkin benar di sana Dareen harus menyelesaikan urusannya. Biarkan saja dulu dalam beberapa hari ke depan jika saja dia masih tidak kembali, aku sendiri yang akan datang menjemputnya. Dia sedang belajar tumbuh menjadi dewasa, tenangkan dirimu. Semuanya pasti akan baik-baik saja," ucap sang suami sambil mengecup ubun-ubun Dewi.
Cakra mendengus dalam hati, mencibir sikap wanita yang berlebihan itu. Pandangannya bertemu dengan manik Bardy kala laki-laki separuh baya itu menatap ke arahnya.
"Kau awasi adikmu itu jika sempat, jika tidak, minta orang-orangmu untuk mengawasinya," titahnya pada si sulung.
Cakra mengangguk meski enggan, ia menatap dengan geram punggung orang tua yang perlahan menghilang.
"Sialan kau, Dareen. Kau selalu menyusahkan aku," kecamnya sembari memicingkan mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Darsih suranto
Cakra egois bgt.
2022-10-10
2