Dua orang gadis di kedai menunggu dengan gelisah, sudah hampir dua jam lamanya Dareen pergi mengantar bunga, tapi tak kunjung kembali.
"Kau tidak bertemu dengannya di jalan?" tanya Daisha untuk ke sekian kalinya.
Laila berdecak, bukan karena kesal ditanyai berulangkali, tapi karena rasa cemas akan keselamatan Dareen yang pergi entah ke mana.
"Tidak, Kak. Jika berpapasan aku akan tahu itu dia karena aku hafal betul mobil milik kita itu," jawab Laila sembari meninju kepalan tangannya sendiri dan menekannya dengan geram.
Daisha menghela napas, disaat seperti ini dia merasa tak berguna karena tak dapat mencari keberadaan Dareen. Ia meremas tangkai bunga yang sedang dirapikannya karena cemas. Seandainya ada gawai, tak akan mereka kesulitan mencari tahu keberadaan Dareen saat ini.
"Apa mungkin dia pulang ke kotanya sendirian?" gumam Laila sembari melirik Daisha yang seketika menegang.
Pulang? Benarkah? Tapi kenapa dia tidak pamit? Bukankah dia bilang akan menungguku? Kenapa sekarang jadi begini?
Daisha beranjak, berbalik sambil meraba-raba keberadaan tongkatnya. Ia berjalan tanpa berucap sepatah kata pun jua meninggalkan Laila yang termangu di dekat pintu.
Suara deruan mobil, menghentikan langkah Daisha. Ia melirik, hafal betul dengan suara mobil miliknya itu meskipun belum pernah melihat bentuknya.
"Dia datang ... oh, astaga! Ada apa dengannya? Mengapa keadaannya kacau seperti itu?" pekik Laila sembari membuka pintu kaca menunggu kedatangan Dareen yang terlihat kacau.
Daisha gegas berbalik, berjalan terseok-seok mendekati pintu.
"Maafkan aku karena terlambat pulang," ucap Dareen sambil menyerahkan kunci mobil kepada Laila.
Gadis remaja itu memperhatikan lekat-lekat penampilan Dareen dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia memang tampak kacau, ada noda lumpur di beberapa bagian bawah celananya.
"Apa yang terjadi, Kak?" tanya Laila setelah memindai seluruh bagian tubuh Dareen.
Laki-laki itu menatapi dirinya, ia sendiri tak sadar jika terdapat noda lumpur di beberapa bagian pakaiannya, bahkan celana yang ia kenakan pun sobek di bagian paling bawah. Mungkin tersangkut saat ia diseret penjahat tadi.
"Mmm ... itu, aku ...."
"Sebaiknya duduk dulu, baru setelah itu Kakak bisa ceritakan apa yang terjadi. Laila, ambilkan minum," sergah Daisha dengan cepat. Ia terlihat panik mendengar ucapan Laila soal keadaan Dareen.
"Kau yakin tak apa?" tanya Daisha sambil meraba wajah laki-laki itu.
Dareen terenyuh, ia pegangi tangan Daisha dan mengecupnya. Dibelainya pipi gadis itu menggunakan punggung tangan, seraya menyelipkan anak-anak rambut yang nakal ke belakang telinga.
"Terima kasih, tapi aku baik-baik saja. Sungguh, kau tak perlu mencemaskan aku," ucap laki-laki itu dengan lembut.
Daisha bersemu, ia menunduk karena rasa malu yang tiba-tiba menguasai hati.
"Ekhem. Ini minumnya, Kak," tegur Laila membuat kedua sejoli itu segera melepaskan tangan mereka.
"Ah, iya. Terima kasih," sahut Dareen seraya menerima gelas tersebut dari Laila.
Gadis remaja itu tak ingin mengganggu waktu mereka, ia melongok ke depan secara kebetulan ada pelanggan yang melihat-lihat bunga di kedai mereka.
"Aku ke depan dulu, sepertinya ada pelanggan. Kakak teruskan saja," katanya segera mengambil langkah seribu meninggalkan mereka.
Daisha mendengarkan, memang ada beberapa suara yang terdengar. Dareen pun memperhatikan kepergian Laila, gadis remaja itu langsung saja menyambut pelanggan dengan ramah.
Dareen mengajak Daisha untuk duduk, ia ingin bercerita perihal pertemuannya dengan sang kakak yang secara kebetulan telah menyelamatkan nyawanya.
"Apa yang terjadi, Kak? Bisa kau ceritakan padaku kenapa kau pulang terlambat?" tanya Daisha setelah keduanya duduk di sofa berdampingan.
Dareen menelisik wajah gadis di sampingnya, ia selalu terlihat cantik setiap hari, segar dan ceria kecuali hari itu, hari di mana trauma Daisha kembali menyerang.
"Tadi ada orang-orang yang menculikku dan membawaku ke tepi jurang," ucap Dareen mengingat-ingat kejadian naas yang tadi menimpa padanya.
Daisha membeliak, bibir merah merekah itu terbuka karena terkejut mendengar keterangan Dareen.
"Siapa yang melakukannya? Apa kau tahu?" tanya Daisha sembari berpikir tentang semua kemungkinan yang bisa saja terjadi.
"Sayangnya aku tidak tahu, hanya saja di sana aku bertemu dengan kakakku. Dia yang sudah menolongku tadi, jika saja tidak ada kakak aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku," ucap Dareen sembari menilik garis wajah Daisha yang berubah setelah mendengar soal kakaknya.
Daisha teringat pada laki-laki yang sering mengganggu mereka di kedai. Berpikir ada kaitannya dengan kakak yang disebut Dareen.
"Ada apa?" tanya Dareen setelah melihat kerutan di antara dua alis gadis itu.
"Ah, tidak ada apa-apa. Aku hanya teringat pada laki-laki yang sering mengganggu kita di kedai. Apa kau tahu seperti apa wajahnya?" tanya Daisha sambil memperkuat ingatannya tentang laki-laki itu.
Dareen mengernyit, ia juga tahu laki-laki yang sering mengganggu di kedai bunga Daisha.
"Aku tahu, aku pernah melihatnya. Memang hanya sedikit saja karena wajah laki-laki itu tertutup topi dan kacamata hitam. Jadi, apa maksudmu?" Dareen balik bertanya.
Daisha menghela napas, semua yang melintas dalam pikirannya, hanyalah dugaan semata. Ia tak akan pernah mengatakannya pada siapa pun.
"Ah, tidak ada. Kau yakin baik-baik saja, Kak? Kau tak ingin memanggil tukang pijat?"
Dareen terkekeh mendengar itu.
"Tidak perlu, cukup melihat dirimu saja sudah membuatku sehat kembali," sahut laki-laki itu sembari menggenggam tangan Daisha.
Lagi-lagi penuturan spontan Dareen membentuk semu merah di pipi Daisha.
"Aku serius, Kak. Kenapa kau malah bercanda?" sungut Daisha tidak terima.
Ia menarik tangannya dari genggaman Dareen, tapi laki-laki itu justru mengetatkan genggaman tangan mereka. Tak lepas matanya menatap wajah cantik Daisha. Sungguh, semakin lama menatap semakin terpesona Dareen dibuatnya.
"Kakak mengajakku pulang. Katanya Ibu terus menangis mencariku. Aku akan pulang, Sha, tapi bagaimana denganmu?" ucap Dareen secara tiba-tiba membuat hening keadaan.
Daisha berpaling, ia meremas tangan Dareen yang menggenggam jemarinya. Laki-laki itu menunggu, sembari meneguk ludah tak sabar. Apakah mereka akan berpisah?
"Tunggu beberapa hari lagi, bukankah kau akan menunggu kesiapanku? Apa kau berubah pikiran?" Suara lirih Daisha bertanya, terdengar bergetar dan seperti hendak menangis.
Dareen tersenyum, ia membawa tubuh Daisha ke dalam pelukan. Hanya beberapa hari saja, tidak masalah baginya menunggu. Sambil berharap Daisha benar-benar akan ikut dengannya ke Jakarta.
"Aku akan menunggu, Sha, tapi rasanya tak bisa lama. Bagaimanapun, aku juga ingin melihat keadaan Ibu. Aku hanya takut, Ibu akan nekad datang ke sini dengan mengajak Kakak," ucap Dareen sejujurnya.
Daisha tercenung dalam dekapan, ia mengerti tentang itu. Daisha menghirup aroma tubuh Dareen dalam-dalam, memastikan bahwa takdir tak akan memisahkan mereka.
"Yah, hanya beberapa hari lagi saja. Aku akan pastikan semuanya," ucapnya yakin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Darsih suranto
apakah kecelakaan ortunya Daisha itu ada campur tangan ortunya Cakra Thor?
2022-10-10
2