Mereka berkumpul di meja makan besar yang cukup menampung satu keluarga besar. Duduk saling berhadapan dengan Dewi yang berada di kursi pemimpin menggantikan sang ayah. Dareen sengaja duduk di samping Daisha dengan maksud menjaganya. Lalu, Laila dan Aleena berada di sisi lainnya.
Aroma khas sebuah masakan menyeruak memenuhi hidung Daisha, ia tersenyum. Meski tak dapat melihat, tapi ia tahu beberapa makanan.
"Apa kau menyukai makanan khas Jawa Barat?" bisik Daisha sambil tersenyum.
Dewi dan Aleena yang sedang mengambil makanan tertegun seketika. Keduanya melirik Daisha dan Dareen, penasaran untuk selanjutnya.
"Bagaimana kau tahu?" Dareen bertanya penasaran.
Laki-laki itu menopang dagu memperhatikan setiap garis wajah dari gadis ayu itu. Senyum Daisha semakin mengembang, beberapa makanan jelas ia tahu.
"Tentu saja, ada bau khas di sini. Aku tahu beberapa makanan, terutama yang terhidang di sini. Aku tidak menyangka kau begitu sederhana," sahut Daisha semakin membuat penasaran Dareen.
"Benarkah?" Dareen semakin antusias, "katakan padaku ada makanan apa saja di sini?" lanjut Dareen bertanya.
Tangan Daisha terangkat, menunjukkan makanan satu demi satu yang ia tahu.
"Yang di sana itu, empal gentong. Baunya khas, aku tahu. Uniknya di sini juga tercium bau pepes tahu, apakah memang ada?" ucap Daisha yang tepat sekali.
"Tapi di sini juga terdapat makanan khas restoran mewah, ada steak daging di sana. Di hadapan gadis itu," ujarnya semakin membuat kedua wanita yang di sana saling memandang satu sama lain.
Dareen tersenyum, lirikannya jatuh pada Ibu dan Aleena yang terperangah mendengar ucapan Daisha.
"Kau benar sekali, semua yang kau katakan memang benar," ucap Dareen dengan bangga, "jadi, kau mau makan apa?" tanya Dareen selanjutnya.
"Tidak perlu, biar aku saja," sergah Daisha disaat Dareen hendak mengambilnya nasi dan lauk pauk.
"Kau yakin?"
Daisha mengangguk, ia membuka piring dan mengambil seporsi nasi serta pepes tahu saja. Makanan yang memudahkan dirinya untuk menyantap, tak perlu takut tulang atau hal lainnya.
"Hanya ini? Di sana ada yang lebih baik, ikan, ayam bakar madu, steak, kau mau yang mana?" tanya Dareen terheran-heran.
Daisha menggeleng, seraya berucap, "Cukup ini saja. Makanan ini membuatku bernostalgia ke masa kecilku. Dulu, Ibu sering membuatkanku masakan ini."
Daisha membuka pembungkus dan menaruh makanan tersebut di piringnya. Dareen mengernyit, sigap mengambil daun tersebut dan meletakkannya di piring lain.
"Kenapa kau pindahkan itu, kenapa tidak di daunnya saja?" tanya Dareen terheran-heran, begitu pula dengan Dewi dan Aleena.
Daisha kembali tersenyum, teringat pada sebuah mitos yang sebagian masyarakat Sunda mempercayainya.
"Orang-orang tua dulu mengatakan, jika makan pepes maka jangan di atas daunnya. Sebaiknya dipindahkan ke tempat lain atau ke atas piring," jawab Daisha.
Semua orang menghentikan aktivitas menyuap nasi ke mulut mereka. Teringin tahu alasan dibalik ucapan tersebut.
"Kenapa?" Dareen mewakili pertanyaan yang ada dalam benak mereka.
"Konon katanya saat kita sedang membicarakan orang lain, orang tersebut pasti akan memergoki kita. Jadi, jangan memakan pepes di atas daunnya," jawab Daisha menyindir Dewi yang sedang menyantap pepes tahu di atas daunnya.
Mata wanita paruh baya itu membeliak, ia lekas menumpahkan makanan ke atas piring lainnya. Hal tersebut mengundang tawa dari Laila meski harus ditahan.
"Benarkah?" Dareen melirik ibunya, percaya tidak percaya Dewi terlihat gelisah.
Pantas saja selama ini selalu terciduk jika sedang bergosip. Ternyata ini alasannya.
Hati Dewi bergumam, ia menghela napas dan melanjutkan makannya. Dareen pun meminta Daisha untuk segera menikmati hidangan guna mengisi perut mereka sebelum meninggalkan rumah itu.
****
Mereka meninggalkan ruang makan, Dareen mengajak kedua gadis yang dibawanya berjalan-jalan mengelilingi rumah hingga tiba di taman yang dilihat Laila tadi. Keduanya duduk di sebuah bangku taman, dan Laila memilih duduk di ayunan rotan.
"Aku merasa tidak asing dengan suasana di sini, seperti menarikku ke masa lalu. Masa di mana kebahagiaan masih bisa aku reguk," tutur Daisha setelah menikmati suasana rumah tersebut.
"Benarkah?"
Daisha mengangguk.
"Apa kau masih ingat di mana rumahmu? Akan aku antar ke sana jika kau ingin," tawar Dareen melirik pada gadis di sampingnya.
Daisha menggelengkan kepala, bukannya tak ingat, ia hanya tak ingin kembali ke rumah itu. Rumah yang memberinya trauma mendalam.
"Aku tidak ingin kembali ke sana, lagipula rumah itu sudah menjadi milik orang lain sekarang. Aku hanya akan pergi ke makam kedua orang tuaku sebelum kembali nanti," jawab Daisha dengan yakin.
Dareen tak lagi bertanya, ia meraih tangan Daisha dan menggenggamnya. Sesekali menciumi punggung tangan gadis itu, untuk menyalurkan perasaan yang tengah meliputi hatinya.
"Kak, aku tahu gadis itu bukanlah temanmu. Apa kau tidak akan menyesal melepas gadis secantik dirinya?" tanya Daisha menyinggung soal Aleena.
Dareen menghela napas, menempatkan tangan Daisha di dadanya. Jantung yang berdegup-degup membuat dada Daisha bergemuruh.
"Menyesal? Justru aku akan sangat menyesal jika saja melepasmu. Meskipun ada seribu wanita sepertinya yang datang merayu, hatiku akan tetap memilih dirimu. Kaulah bintang yang paling bersinar, mana mungkin aku menggantikan dirimu dengan yang lainnya," ucap Dareen sungguh manis terdengar.
Aliran hangat merayap ke pipi Daisha, membentuk rona merah yang semakin lama semakin kentara. Malu sekaligus senang. Semoga dan semoga, apa yang diucapkannya saat ini akan selalu begitu hingga sampai nanti.
"Ekhem! Oh, kalian jangan lupakan aku. Aku masih di sini."
Suara Laila membuat Dareen tersentak. Hanya tinggal sejengkal lagi saja bibir mereka bertemu, tapi lagi-lagi gadis remaja itu menganggu. Dareen mendengus, berpaling untuk menyembunyikan wajahnya yang semerah udang rebus.
Gadis remaja itu mencebik kesal, berayun-ayun dengan nyaman.
"Aku boleh ikut denganmu menemui mereka? Orang tuamu?" tanya Dareen setelah sekian detik menghening.
Daisha mengangguk, lidahnya masih terasa kelu untuk menyahut. Dareen menghela napas, menyandarkan punggung pada kursi dengan nyaman.
"Baiklah, ibu dan ayah mertua, aku datang!"
Daisha terkekeh mendengarnya, ia tak menampik kebahagiaan yang pernah hilang kini ia dapatkan dari sosok laki-laki itu.
"Tuan Muda, Ibu meminta Anda untuk masuk," ucap salah satu pekerja dengan tubuh sedikit membungkuk.
Dareen menoleh ke belakang, menatap wanita yang berusia tak jauh dari ibunya itu.
"Ada apa, Bi?"
"Ada yang ingin bertemu dengan Anda, Tuan Muda," katanya.
Dareen mengusir pekerja itu dengan mengibaskan tangannya. Ia membungkuk dan mundur beberapa langkah sebelum pergi meninggalkan taman.
"Kau mau ikut?" tanya Dareen.
"Apa aku tidak akan mengganggu atau membuatmu malu?" tanya balik Daisha saat teringat pada kata-kata Aleena.
Dareen menghela napas, ia menggenggam tangan gadis itu lagi dengan erat.
"Jika kau pinta, aku pasti akan mengumumkan pada seluruh dunia bahwa kau adalah calon istriku. Aku tidak malu sama sekali, dan kau tidak membuatku malu. Jadi, ayo, kita temui orang itu," sahutnya, seraya berdiri dan membantu Daisha beranjak.
"Aku? Bagaimana?" Laila tersentak, berdiri tegak dari ayunan.
Dareen menggerakkan kepala memberi isyarat padanya untuk ikut. Mereka kembali masuk ke dalam rumah, di sana seorang laki-laki muda tengah menunggu bersama Dewi.
"Dareen! Kenapa kau pulang tidak mengabariku?" bentak laki-laki yang tak lain adalah Cakra itu.
"Maaf, Kak. Aku tidak sempat, dan hanya ingat nomor Alfin," kilah Dareen berbohong.
Mereka saling berpelukan selayaknya dua orang yang saling menyayangi. Laila mengernyit, Daisha mengangkat dagu mengenali sosoknya.
"Dia ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Darsih suranto
Darren tahu kan Thor,kalo Cakra adalah penyebab kecelakaannya.smg dia g amnesia lagi
2022-10-25
2
Yeni Yanti
mungkin kah rumah Daren dulunya adalah rumah daisa??
2022-10-19
2