Daisha menghirup aroma perkotaan di pagi hari dengan sedalam-dalamnya. Cita-cita yang telah lama disusunnya, kini dapat ia cecap juga meskipun dengan cara yang tak terduga.
Telinganya awas mendengarkan suara bising kendaraan, juga lagu-lagu yang diputar di pertokoan. Kepalanya bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri mengikuti irama musik yang menghanyutkan.
Aku pun pernah menikmati keindahan ini. Dulu, saat mataku masih bisa digunakan. Aku suka menari dan bernyanyi. Ingin rasanya kuulang kembali masa-masa di mana aku dapat menikmati semua keindahan.
Daisha berputar, kedua tangan bergerak-gerak layaknya sedang menirukan sebuah tarian. Di balkon lantai dua ruko toko, ia sedang menikmati kesendirian. Sama seperti dulu, saat-saat semua kebahagiaannya belum terenggut takdir.
Dugh!
"Aw!"
Daisha mengaduh sambil mengusap lututnya yang terbentur pembatas balkon. Ia perlahan duduk sambil berpegangan pada penyangga besi di sana.
Tak sadar bahwa dua orang di bawah sana sedang menertawakan dirinya.
"Ugh! Sakit sekali," keluhnya sambil mengusap-usap lutut.
Daisha menjatuhkan kepala pada dinding, merenungi takdir yang pernah dia lalui. Bayangan kehidupannya yang dulu bahagia, membentuk senyuman yang indah nan merekah.
"Aku tidak boleh terus terpuruk pada masa lalu. Aku harus bisa melawannya, tak akan mungkin aku hidup selamanya di bawah ketakutan itu. Yah, aku harus lebih kuat lagi mulai dari sekarang," gumam Daisha bertekad untuk dapat sembuh dari trauma masa lalu.
Ia bangkit perlahan, seluk-beluk toko barunya belum ia hafal dengan benar. Berjalan meraba udara mencari tongkat kayu untuk dapat turun ke lantai satu.
"Kenapa kau di sini?" tanyanya pada Dareen yang telah berdiri di tangga.
"Ah, tidak. Kami tak sengaja mendengar suara benturan tadi, Laila cemas dan memintaku untuk melihat ke sini," jawab Dareen sembari menatap lekat-lekat wajah cantik Daisha yang tiba-tiba bersemu.
Gadis itu menunduk, menyelipkan rambut-rambut yang nakal ke belakang telinga.
"Tidak ada apapun, aku hanya belum terbiasa dengan bangunan ini. Itu saja, tapi lama-lama juga akan terbiasa," ucap Daisha sembari mengayunkan tongkat meneruskan tujuannya untuk ke lantai satu.
Dareen menggeleng, membuntuti gadis itu di belakang.
"Oya, Kak. Bukankah kau harus mengantar pesanan? Laila juga akan mengantar pesanan yang lain, kalian pergi saja aku yang akan berjaga di toko," ucap Daisha teringat pada dua pesanan yang berbeda tempat, tapi pengiriman di waktu yang sama.
"Kau benar, aku akan pergi sekarang juga," jawab Dareen mempercepat langkahnya setelah menapak di lantai satu.
Daisha duduk di sebuah kursi, menunggu para pelanggan datang. Sambil menata bunga-bunga yang ada di toko agar selalu terlihat indah dan menarik minat pembeli.
"Kakak, tak apa Kakak kami tinggal sendiri?" tanya Laila risau menghampiri Daisha yang duduk di dekat tumpukan bunga.
"Tak apa, pergilah. Pesanan itu harus segera diantar," ucap Daisha sambil tersenyum.
Laila pergi meninggalkan sang kakak menggunakan sepeda motor dia mengantar pesanan bunga.
"Sha, aku pergi dulu, ya. Kau hati-hati di toko, berteriak saja jika ada yang mengganggumu," pamit Dareen membuat Daisha tertawa mendengar kalimat terakhirnya.
"Iya, hati-hati. Jangan bertengkar soal bayaran dengan pelanggan. Mereka adalah pelanggan setia kami," ingat Daisha yang mau tak mau diangguki Dareen.
Teringat pada pembayaran pelanggan beberapa waktu lalu, hati Dareen menyisakan banyak tanya soal pembayaran yang kurang jumlahnya.
Daisha bersyukur atas apa yang dicapainya saat ini, kejadian kemarin memang musibah, tapi juga mendatangkan berkah. Mungkin itu salah satu cara Tuhan dalam menolong umatnya. Ia tersenyum, membayangkan wajah kedua orang tuanya, ia ingin berkunjung ke makam mereka.
"Rasanya sudah lama sekali aku tidak mengunjungi mereka. Aku rindu mereka," gumam Daisha.
Sayangnya, dia harus mempersiapkan mental untuk berkunjung ke sana. Makam keduanya berada di kota Jakarta, kota yang sama dengan tempat tinggal Dareen. Kota yang telah menghadiahinya sebuah trauma yang mendalam.
Daisha menghela napas, bertahun-tahun lamanya ia tidak pernah kembali ke kota itu walau hanya sekedar menjenguk kedua orang tua.
"Aku pasti akan datang, Ayah, Ibu. Pasti. Anak kalian ini gadis yang kuat, aku pasti bisa melawan itu semua. Aku yakin, hanya tunggu aku di sana, Ayah, Ibu. Aku rindu kalian," tekad Daisha.
Sementara itu, Dareen sibuk mencari-cari alamat yang tertera pada secarik kertas. Tulisan tangan Laila. Dareen bertanya pada orang, tapi semua menunjukkannya pada sebuah tanah lapang yang dikelilingi perkebunan dan hutan.
Dareen menatap sekeliling, ia bahkan tidak berani untuk keluar dari mobil.
"Rasanya tempat ini memang salah. Apa Laila salah menulis alamat atau mereka yang keliru. Di sini sama sekali tidak ada bangunan, hanya kebun dan hutan. Ck!" Dareen berdecak.
Ia bersiap untuk kembali dan melaporkan alamat yang diberikan Laila. Tepat saat itu, muncul seorang laki-laki berpakaian warga setempat. Layaknya seorang yang sedang berladang di sana. Ia melambaikan tangan pada Dareen, berjalan tergesa menghampiri mobil tersebut.
"Oh, apakah dia yang memesan bunga-bunga ini? Tapi untuk apa?" Dareen bergumam, matanya awas melihat kedatangan laki-laki tambun tadi hingga berada di samping mobilnya.
"Sudah lama menunggu, Nak?" tanyanya dengan ramah.
"Maaf, apa Bapak yang memesan bunga-bunga ini?" Dareen balik bertanya sembari menunjukkan kertas yang berisi alamat tadi padanya.
Laki-laki paruh baya itu melihatnya, ia mengangguk cepat sambil tersenyum.
"Benar, itu saya. Bisa bantu saya menurunkannya?" katanya.
Dareen bernapas lega, tapi tetap saja ia merasa curiga. Untuk apa bunga-bunga itu dibawa ke tempat yang tak ada bangunan? Apakah ada pemakaman di sekitar sana?
Dareen beranjak turun, membantu menurunkan bunga-bunga yang tak sedikit dari mobilnya.
"Maaf, Pak. Bunga-bunga ini mau dibawa ke mana, Pak?" tanya Dareen masih memeluk bunga-bunga itu.
"Tolong bawa ke hutan sana, di sana keluarga saya sedang menunggu," katanya menunjuk hutan bagian kanan.
Dareen memicing curiga, tapi laki-laki tadi sudah lebih dulu pergi meninggalkannya. Terpaksa dia mengekor, memasuki kawasan hutan yang belum pernah dia datangi.
"Pak, apa masih lama sampainya? Saya harus segera kembali," tanya Dareen mulai gelisah.
"Di ujung hutan ini, Nak. Kami ingin menabur bunga pada makam orang tua kami," jawab laki-laki tadi sambil terus berjalan ke depan tanpa menoleh ke belakang.
Mencurigakan, kenapa aku gelisah. Apakah dia manusia? Oh, astaga! Bagaimana jika dia makhluk jadi-jadian dan suka memangsa manusia? Ah, tidak, tidak, Dareen. Kau hanya mengada-ada saja.
Dareen mencoba untuk menepis semua pikiran buruknya, mencoba berpikir positif karena keadaan masih siang hari.
Tepat, disaat baru saja ia menghela napas, seseorang membekap mulutnya. Menahan kedua tangannya di belakang tubuh, seraya menariknya menjauh. Dareen berteriak, tapi tak ada apapun yang keluar dari mulutnya, hanya suara gumaman saja yang bisa ia keluarkan.
"Lepaskan aku, bajingan!" teriak Dareen disaat orang berpakaian serba hitam yang menculiknya itu mengikat tubuh Dareen di sebuah pohon.
Mereka berada di bagian lain hutan, tanah lapang yang di depannya terdapat sebuah jurang. Entahlah seperti apa kedalaman jurang tersebut.
"Lepaskan aku! Apa masalah kalian terhadapku! Dasar pengecut!" Dareen kembali berteriak sambil meronta-ronta meminta dilepaskan.
Namun, orang-orang yang berpakaian serba hitam di depannya itu, bergeming tak mengindahkan permintaan Dareen.
Sampai satu sosok muncul, seorang laki-laki mengenakan jaket hoodie berwarna hitam, dengan topi dan kecamatan hitam yang menutupi sebagian wajahnya.
Dareen tercenung, ia merasa tak asing pada sosok tersebut. Dareen membuka-buka memori, mencari siapa sosok di depannya itu.
"Kakak!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Darsih suranto
Al .pura² msh amnesia aja .biar aman
2022-10-10
2
Megawati Goanidjaja
apakah krn warisan sehingga kakaknya Darren ingin membunuhnya ? hmm 🤔...sotoy ya aku 🤭😂
2022-10-08
2
Yeni Yanti
aku bingung bukan'y ortu daisa sudah meninggal,,
atau aku yg gagal fokus ? 🙏🙏
2022-10-07
2