Kian hari Al dan Daisha kian dekat. Laki-laki itu kerap berjalan di belakang si Gadis Buta hanya untuk melindunginya. Sosoknya tak pernah jauh dari Daisha, terus menempel dan hal itu membuat Laila lega sekaligus cemas.
"Hati-hati, biar aku saja," sergah Al disaat Daisha hendak mengangkat keranjang bunga di kebun.
"Aku tidak apa-apa, Kak. Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan ini," ucap Daisha merasa sungkan dengan tindakan Al yang berlebihan menurutnya.
Panggilan ‘Kakak’ yang disematkan Daisha selalu memporak-porandakan jantungnya hingga berdebar-debar tak terkendali. Rona merah di pipi menyembul dengan sendirinya, rasa hangat ia rasakan sampai ke ulu hati.
"Ya, walaupun begitu, sekarang ada aku yang bisa membantumu. Jangan bekerja sendiri, biarkan aku berguna untuk membalas semua jasamu," tutur Al mengalihkan kegugupan. Yang sebenarnya, dia tak ingin Daisha bekerja terlalu berat.
Gadis itu tercenung mendengar penuturannya, apakah selama ini Al hanya membalas jasa? Kebaikan yang dia lakukan hanya sebagai tanda terima kasih kepadanya yang telah menolong.
Entah kenapa hati Daisha berdenyut nyeri, serasa ditikam sembilu. Ia menunduk, lekas berbalik melangkah lebih dulu meninggalkan Al yang masih bergeming di sana.
"Tunggu, Kak!" Suara Laila mencegah langkah Al yang hendak melangkah.
Laila menyelidik laki-laki di depannya, kedua tangan berkacak pinggang seperti seorang pengawal yang berhadapan dengan musuh tuannya.
"Ada apa?" Al menatap bingung.
"Aku perhatikan sepertinya Kakak ada maksud lain sama Kakak aku? Apa?" tuntut Laila sembari memicing.
"A-apa? Aku tidak memiliki maksud lain terhadap kalian," kilah Al gugup.
"Jangan bohong! Katakan apa tujuanmu mendekati Kakak? Katakan!"
Laila mencengkeram kerah baju Al dengan kuat. Tindakan Laila yang tak terduga, membuat kepala Al berdenyut.
"Argh!" Al memegangi kepalanya, merintih kesakitan.
Laila yang terkejut melepas cepat cekalan tangannya, gelagapan bingung dengan yang terjadi pada Al.
"Kepalaku ... sakit!" rintih Al semakin kuat memegangi kepalanya.
Lintasan peristiwa yang menampakkan orang-orang asing saling berdesakan di dalam kepala Al. Laila yang panik lekas mencari Daisha, dan menyeretnya ke tempat Al.
"Kenapa dengannya?" pekik Daisha terkejut mendengar rintihan Al yang kesakitan.
Ia berjalan ke depan sambil meraba udara, mencari-cari keberadaan Al. Dipegangnya kedua tangan laki-laki itu yang masih meremas rambut, rintihan dan deru napas yang memburu membuat Daisha tahu Al sedang tidak baik-baik saja.
"Kak, ada apa? Tenang, Kak! Tarik napas yang dalam!" ucap Daisha sambil meraba wajah Al yang berkeringat.
"Kepalaku ... ah, sakit! Kepalaku ...." Al kembali merintih. Bayangan orang-orang yang berseliweran di pikirannya terus mencuat ke permukaan.
Al menjerit sambil memberontak, tubuhnya jatuh berdebam bersama Daisha yang terkejut dan tak mampu mempertahankan keseimbangan kakinya.
"Kakak!" Laila memekik kaget, ia mendatangi mereka dan membantu Daisha beranjak dari tubuh Al.
Al berhenti menjerit, memburu udara dengan rakus demi mengurangi rasa sakitnya.
"Kak, kau tak apa? Apa sudah lebih tenang?" tanya Daisha dengan raut cemas di wajah.
Rasa sakit di kepalanya perlahan menghilang, Al terenyuh dengan kebaikan Daisha. Ia membuka mata memperhatikan wanita yang jatuh bersamanya itu. Napasnya masih tersengal, rasa pening masih dirasanya meski telah berkurang.
"Kau ... baik-baik saja?" tanya Al sedikit merasa bersalah.
"Aku baik, Kakak sendiri bagaimana?" Daisha dan Laila membantunya untuk duduk, ia menggelengkan kepala untuk menepis rasa sakit akibat ingatan yang tiba-tiba muncul.
Adegan di mana seseorang mencengkeram kerah kemejanya tampak jelas terlihat, hanya saja wajah orang tersebut tak terlihat.
"Aku tidak tahu, tiba-tiba saja kepalaku sakit," ucap Al sambil mengingat apa-apa yang baru saja menyambangi memorinya.
"Apa itu sebuah ingatan? Kakak sudah mengingat siapa dan dari mana Kakak datang?" serbu Daisha bergetar. Rasa cemas datang tiba-tiba, perlahan berubah menjadi ketakutan.
"Aku tidak tahu, apakah itu sebuah ingatan atau bukan," ucap Al lagi tidak tahu.
"Ya sudah, jangan dipaksa. Sebaiknya kita kembali ke rumah saja, hari juga sudah terik, pesanan bunga harus segera diantar," ucap Daisha sambil meraba-raba keberadaan tongkatnya.
Al meringis, tongkat itu patah mungkin membentur bebatuan di sana. Oh, itu hanya sebuah tongkat kayu yang seharusnya kokoh dan tak mudah patah.
"Tongkatmu patah," lirih Al penuh sesal.
Laila mendelik tak suka, menatap Al tajam dan penuh ancaman di saat laki-laki itu mendongak padanya.
"Tidak apa-apa, aku bisa membelinya lagi. Lagi pula itu hanya sebuah kayu, aku juga sudah hafal jalan ke rumah," sahut Daisha sembari beranjak dari tanah dan berbalik sendiri.
Ia bahkan menolak dituntun Laila, berjalan sendiri seolah-olah ingin membuktikan dia masih berjalan meskipun tanpa tongkat. Al meremas tongkat kayu tersebut, berjanji dalam hati akan menggantinya dengan yang lebih baik.
****
"Laila, kau jaga saja. Biar aku dan Daisha yang antar pesanan bunga ini," cegah Al disaat Laila hendak duduk di kursi kemudi.
"Iya, kau sudah bekerja keras selama ini. Kakak baik-baik saja, tetap di sini, ya," sahut Daisha dari dalam mobil.
Wanita itu berbicara, tapi pandangannya tetap ke depan karena percuma ia tak dapat melihat.
"Ya sudah." Laila bersungut-sungut.
"Hati-hati, kau harus tetap waspada pada orang asing yang datang. Kakak merasa akhir-akhir ini ada seseorang yang mengawasi kedai bunga kita," ingat Daisha.
"Iya, Kak."
Al menutup pintu, mobil melaju perlahan menuju sebuah alamat yang tertera pada secarik kertas.
"Kau yakin kedai bungamu itu sedang diawasi?" tanya Al memastikan.
"Aku juga tidak tahu, ini hanya perasaanku saja. Beberapa hari ini aku merasa sedang diawasi seseorang, tapi aku tidak tahu apa hanya perasaanku saja atau memang ada," ucap Daisha yang memiliki perasaan lebih peka daripada yang lainnya.
"Akan aku cari tahu, kau tenang saja. Aku tidak akan membiarkan apapun terjadi padamu juga kedai bunga itu," janji Al yakin dan tak ada keragu-raguan.
Daisha tersenyum, senyum yang selalu membuat dunia Al dihujani bunga-bunga indah. Keduanya merasakan hangat pada wajah, perlahan merambat hingga ke ulu hati.
"Wah, Nona Daisha memang selalu tepat waktu. Ini pembayarannya, senang bekerjasama dengan Anda," ucap pelanggan yang memesan bunga.
Daisha menerima uang dan tersenyum, ia meraba uang tersebut dan mengangguk pelan. Namun, berbeda dengan Al, dahi laki-laki itu mengernyit melihat jumlah uang yang dibayar tak sesuai dengan bunga yang dipesannya.
"Tunggu! Kau yakin tidak salah memberi uang? Aku rasa uang yang kau berikan jauh dari kata cukup untuk membayar bunga-bunga kami," protes Al tidak terima.
Apa karena Daisha itu seorang gadis buta, dengan begitu mudahnya dia menipu. Akan tetapi, sentuhan di lengannya membuat Al menoleh pada gadis tersebut.
"Sudah, kita pergi. Ini sudah lebih dari cukup," ucapnya seraya membungkuk pada pelanggan tersebut dan berbalik sambil mendorong tubuh Al.
"Tunggu, Sha! Tunggu, uang yang kau terima tidak cukup, dia menipumu," teriak Al sambil memberontak mencoba melepaskan cekalan Daisha.
"Sudah aku katakan ini sudah lebih dari cukup. Kau mau minta apa lagi?" sahutnya tetap dengan lembut, tapi cekalan di tangan semakin erat.
"Aw! Kenapa kau mencekalku begitu erat? Sakit," rintih Al. Ia merasakan sedikit ngilu di pergelangan tangannya yang dicekal Daisha.
Gadis itu tertawa, sama sekali tak ada beban yang diperdengarkan dari suaranya. Al semakin bingung, apalagi dia tidak mau mengatakan alasannya. Daisha masuk ke dalam mobil dengan bibir yang tertarik ke atas.
Tak lama Al menyusul, sambil memegangi pergelangan tangannya yang terasa ngilu. Mobil melaju kembali pulang ke kedai bunganya.
"Stop! Berhenti di sini!"
"Ada apa? Ini masih belum sampai," sahut Al tak urung jua kakinya menginjak rem.
Daisha turun dan tanpa menunggu Al ia terus berjalan mendekati kedai dari arah lain. Suara seorang laki-laki yang mengancam Laila, terdengar oleh Al. Daisha memiliki tingkat kepekaan yang tinggi.
"Tunggu di sini!" titahnya pada Al, sedangkan dirinya melanjutkan langkah mendekati laki-laki yang berhadapan dengan Laila.
Telinganya yang peka mendengar bunyi benda tajam yang siap diayunkan. Secepat kilat, Daisha mengayunkan sebatang kayu memukul mundur laki-laki itu.
"Pergi! Aku tahu selama ini kau mengawasi kedai kami. Jika kau ingin mencari masalah, maka kau sudah salah tempat." Daisha mengangkat kayu tersebut, menuding laki-laki tadi.
Tanpa berucap, ia berbalik dan pergi. Tangan Daisha meraba-raba udara mencari keberadaan Laila.
"Kau tak apa? Apa dia menyakitimu?" tanyanya setelah berhasil menangkup wajah sang adik.
"Tidak, Kak. Beruntung kalian cepat datang, laki-laki tadi bertanya soal Kak Al. Sepertinya dia ingin melakukan sesuatu padanya, Kak," ucap Laila sambil melirik Al yang keluar secara perlahan.
Melihat aksi berani Daisha, rasa kagum dan cinta semakin subur di hatinya. Dia gadis yang pemberani, tangguh, dan mandiri.
"Sha!"
Mereka menoleh.
"Memang ini bukan waktu yang tepat, tapi aku ingin lebih dekat denganmu. Aku ingin menjaga kalian, jika ingatanku telah pulih sepenuhnya, maukah kalian tinggal bersamaku?" pinta Al dengan sungguh-sungguh.
Keduanya tersentak, tapi kehadiran Al memang sangat membantu terutama saat ada pelanggan yang curang.
"Kalian bersedia, bukan?"
Daisha menunduk, Laila meliriknya. Apapun keputusan Daisha, dia akan mengikutinya. Mengingat segala kebaikan Al, hati Daisha meragu. Apakah perlu meninggalkan tempat tersebut dan ikut bersama Al? Tapi bagaimana dengan keluarganya? Apakah mereka akan menerima?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Trini Trini
cerita seperti nya seru, cuma typo nya, mohon di perhatikan lg, nama tokohnya sering salah salah,
2022-11-17
1
Siti Nurasiah
lanjuuuuttttt
2022-10-01
2
Yeni Yanti
lanjut..
2022-10-01
2