"Teman?"
Lama Daisha terdiam, berpikir bagaimana bisa teman Dareen datang mencarinya. Seketika ingatannya berputar kembali pada malam tadi, di mana Dareen meminjam ponsel Laila untuk menghubungi temannya.
"Benar, Nona. Saya teman Dareen. Jadi, bisa saya bertemu dengannya?" tanya laki-laki itu dengan sabar menunggu.
"Apa kau orang yang dihubunginya malam tadi?" tanya Daisha tak mudah baginya percaya begitu saja pada seseorang yang memiliki aura asing.
"Ya, Nona. Benar, itu saya. Semalam dia mengirimkan alamat ini kepada saya dan meminta saya untuk menjemputnya," jelas laki-laki itu masih dengan sabar mengingat Daisha yang tak bisa melihat.
Gadis buta di depannya membulatkan bibir, tampak manis dengan lesung pipi kecil yang menyembul samar.
"Silahkan duduk, dia sedang membersihkan diri. Perlu aku buatkan minuman? Teh hangat atau kopi?" tawar Daisha sembari menunjuk ke arah kursi yang terdapat di teras toko.
Laki-laki itu melongok tak percaya, bagaimana mungkin arah yang ditunjukkan wanita buta itu tepat sekali? Apa lagi itu? Dia menawarkan minuman? Ini konyol? Apakah dia bisa membuatnya?
"Terima kasih, Nona, tapi jika tidak merepotkan boleh saya meminta kopi saja? Saya tidak sempat meminum kopi karena terburu-buru," ucap laki-laki itu sambil tersenyum.
Ia ingin tahu, apakah gadis buta sepertinya mampu membuatkan minuman yang dia pinta.
"Baik, silahkan duduk!" Daisha berbalik, tanpa kesulitan berarti dia masuk ke dalam toko, langsung menuju dapur.
Hidangan untuk sarapan telah terhampar di atas meja makan, tapi ke mana Laila? Dia tidak ada di dapur. Hanya terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Dareen yang ada di dalamnya.
Daisha mencari tempat kopi dan gula, sengaja ia membuat tulisan timbul di setiap kotak untuk memudahkannya menemukan apa yang dicari. Harum aroma khas menyeruak memabukkan siapa saja pecinta kopi.
"Kak, temanmu sudah datang. Dia menunggu di depan," beritahu Daisha setelah ia siap dengan kopinya.
"Oh, ya!" Dareen terburu-buru menyelesaikan mandinya.
Suara langkah yang cepat terdengar dari arah lantai dua, membuat cemas Daisha yang mendengarnya.
"Hati-hati, Laila. Kau bisa jatuh jika berlarian seperti itu," ingatnya yang dengan cepat menurunkan kecepatan langkah kaki Laila.
Remaja itu tersenyum lebar, ia menghampiri Daisha yang membawa kopi di tangan. Mengambil alih cangkir tersebut dan membawanya.
"Untuk siapa, Kak?" tanyanya setelah menghirup aroma khas minuman panas tersebut.
"Untuk tamu di depan, kau bawa ke sana, ya. Dia temannya Kak Dareen," pinta Daisha seraya berbalik menuju kamarnya sendiri yang berada di lantai satu.
Laila membawa kopi tersebut ke luar tak lupa menyambar kudapan yang memang selalu tersedia di sana untuk disuguhkan kepada tamu yang dimaksud sang kakak.
"Ini kopinya, Kak. Silahkan diminum," ucapnya dengan sopan.
Laki-laki itu mendongak, mencibir dalam hati.
Sudah aku duga, ternyata dia menyuruh orang lain membuatnya. Aku pikir dia memang bisa membuatnya sendiri.
Ia menggelengkan kepala sambil terkekeh kecil, menertawakan dirinya yang berharap pada seorang gadis buta.
"Kenapa? Dicoba saja kopinya, pasti enak. Kopi buatan Kakak tidak pernah gagal. Kau pasti akan menyukainya," ucap Laila dengan bangga.
Tertegun laki-laki itu setelah mendengarnya, senyum di bibir raib, mata melirik pada gelas yang mengepulkan asap di meja. Penasaran, benarkah gadis buta itu bisa membuat minuman ini? Bagaimana dia melakukannya?
Tak urung jua tangannya meraih cangkir tersebut, mendekatkannya pada hidung dan menghirup aroma khas kopi dalam-dalam.
Dari baunya memang seperti enak di lidah. Apakah benar gadis buta itu yang membuatnya?
Lagi-lagi hatinya bergumam tak percaya, ia melirik Laila yang menatap ke arahnya dengan antusias. Remaja itu menunggunya untuk segera mencicipi rasa kopi buatan Daisha.
Diseruputnya kopi tersebut, sedikit. Merasainya sedikit, kemudian sedikit lagi. Lalu, sedikit lagi hingga menyisakan setengahnya.
"Bagaimana?" tanya Laila dengan mata berbinar-binar.
Ia tersentak, lupa jika remaja itu sedang memperhatikan. Matanya melirik kopi di tangan bergantian dengan Laila yang tak sabar ingin mendengar respon tentang kopi tersebut.
"Mmm ... lumayan, ini mendekati seleraku. Apa benar gadis itu yang membuatnya?" tanya laki-laki tersebut sembari meletakkan cangkir ke tempatnya semula.
Laila menyandarkan tubuh sambil menumpuk kedua kaki, menautkan jemari di perut. Senang jika ada yang memuji usaha kakaknya.
"Tentu saja, siapa lagi yang membuatnya? Aku? Tidak akan mungkin seenak itu, aku tidak pernah membuat kopi," katanya diiringi tawa menggelikan.
Teman Dareen itu meneguk ludah tak percaya. Teringin rasanya ia melihat sendiri bagaimana Daisha meracik minuman itu. Penasaran? Ia pun melongok ke dalam mencari sosok Daisha.
"Kakak di kamar, kau tak akan menemukannya di sana," ketus Laila tak senang dengan tindakannya.
"Ah, maaf, tapi bukankah dia ...." Ia tak menyebutkan bagian buta, tapi menunjukkan kedua matanya pada Laila.
Remaja itu menggeram, tak terima jika ada yang mengatakan tentang kekurangan kakaknya. Baru saja mulutnya terbuka, sebuah suara menghentikannya.
"Kenapa? Kau terkejut? Dia gadis istimewa, dan kau tahu siapa dia? Dia calon istriku," tegas Dareen yang tiba-tiba muncul dari dalam toko dengan wajah kesalnya.
Laki-laki yang tak lain Alfin itu, tersenyum canggung saat bertatapan dengannya, tapi segera raib senyumnya mengingat Dareen yang menghilang dan membuat cemas semua orang. Dareen mendengus, melihat temannya ia merasa kesal sendiri. Alfin berdiri, ia yang ikut mencemaskan keadaan Dareen pun ingin meminta penjelasan darinya.
"Ke mana saja kau? Apa kau tahu, aku hampir jadi pengangguran karena kau hilang begitu saja. Ibumu setiap hari menghubungiku menanyakan keberadaan dirimu. Apa kau hidup dengan baik setelah membuat cemas semua orang?" cecar Alfin meluapkan emosi yang ditahannya sejak semalam.
Laila yang mendengar tak senang, dia hanya orang asing yang tak tahu apa-apa soal mereka. Laila berdiri dan dengan berani memukul bahu Alfin.
"Tahu apa kau? Kami menemukan Kak Dareen sekarat di pinggir sungai. Dia hilang ingatan selama ini dan baru-baru ini baru mengingat semuanya. Jangan memarahinya seperti itu, Kakak pasti tidak akan senang," sungut Laila sembari melangkah dengan kaki yang dihentakkan pada lantai.
Alfin mereda, dada yang tadi bergemuruh hebat seketika tenang kembali.
"Apa yang dia katakan itu benar?" tanya Alfin dengan perasaan bersalah setelah melihat reaksi Laila.
Dareen menghela napas, mengajak duduk Alfin sambil menunggu waktu.
"Itu benar, aku sendiri tidak tahu bagaimana bisa berada di sana. Terdampar di sungai dan ditemukan mereka berdua." Dareen menatap Alfin yang serius mendengarkan.
"Kau benar-benar tidak ingat apa penyebab kau terdampar di sungai itu? Menurutku ini bagian pentingnya," tanya Alfin.
Hilangnya Dareen selama beberapa bulan membuat goyah keluarga Dewantara. Semua orang sibuk mencari ke seluruh pelosok negeri.
"Aku benar-benar tidak ingat." Dareen menghela napas. "Sudahlah, tolong jangan katakan apapun soal pekerjaan. Mereka tidak tahu siapa aku, hanya katakan kau adalah temanku. Aku sendiri yang akan mengatakan kepada mereka tentang diriku," pinta Dareen sambil menepuk bahu sahabatnya.
Meski terlihat bingung, tapi Alfin tetap mengangguk. Semua orang punya alasannya sendiri-sendiri, ia tak ingin ikut campur urusan Dareen dengan kedua gadis itu.
"Kakak minta kalian untuk sarapan. Cepatlah!" Suara ketus Laila mengakhiri obrolan mereka. Lalu, duduk di meja makan dengan canggung. Dua gadis, dua laki-laki lajang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Megawati Goanidjaja
semoga kamu dapat mengingat kejadian yg menimpa kamu Dareen
2022-10-11
1
Darsih suranto
Alfin jodohin sama Laila Thor
2022-10-11
2