Malam hadir membawa gelisah pada hati Daisha, membayangkan kota kelahirannya itu membuatnya tak dapat memejamkan mata. Bayangan keluarga bahagia yang seketika hancur karena perseteruan yang tak ada akhirnya, selalu menjadi momok menakutkan bagi seorang Daisha.
Ia duduk di belakang toko sambil menggenggam ujung tongkat. Helaan napas berulangkali terdengar dari arahnya, mengusir rasa gundah juga gelisah yang meresahkan jiwa.
Daisha menekan rasa trauma yang menyeruak, meyakinkan hatinya bahwa kota itu tak sejahat dulu. Langit di sana tak segelap pandangannya, pasti telah berubah setelah sekian tahun ia tinggalkan.
Seandainya bisa, ia ingin memindahkan makam keduanya ke tempat tinggal yang baru. Hidup berdampingan bersama mereka yang telah tiada, direnggut dengan paksa karena kesalahpahaman.
Lagi-lagi ia menghela napas, menengadah ke langit, mencoba merasai kehadiran sang rembulan. Sayang, keindahan langit cerah malam itu, tak dapat ia nikmati.
"Kapan lagi aku bisa menatap keindahanmu, wahai rembulan? Aku yakin, malam ini kau nampak indah sama seperti dulu. Aku juga ingin bisa melihat dirimu lagi, menikmati keindahan yang kau suguhkan pada jagat malam yang gulita. Oh, mengapa semua merenggutnya dariku? Mengapa tidak membiarkan aku untuk melihat indahnya dunia di dalam kelamnya kehidupanku? Seandainya ... ah, rasanya percuma. Kata itu tak akan pernah bisa mengembalikan semua yang telah pergi," gumamnya seorang diri.
Daisha menunduk, meremas ujung tongkat dengan kedua tangannya. Bayangan mobil itu kembali melintas, mobil yang dulu menabraknya hingga mengalami kebutaan akibat benturan yang cukup keras.
"Seandainya aku bisa melihat kembali ...." Semakin kuat tangannya meremas tongkat tersebut.
Bibirnya bergetar hebat, kedua mata berkedut dan memanas. Air terasa berkumpul di kedua sudutnya, teringin meninggalkan tahta dan menghujani pipinya.
"Apa yang ingin kau lakukan untuk pertama kalinya? Seandainya kau bisa melihat lagi, apa yang ingin kau lakukan untuk pertama kalinya?" Sebuah suara dalam dan serak, menyeruak ke dalam indera pendengaran Daisha.
Gadis buta itu bergeming di tempatnya, mendengarkan ketukan langkah Dareen yang mendekat. Suasana malam itu sebenarnya romantis. Sayangnya, Daisha tak dapat menikmati semua yang disuguhkan malam.
Duduk berdua di bawah terpaan langsung cahaya rembulan, menikmati waktu luang dan menghabiskannya bersama. Dareen menarik kursi ke hadapan Daisha, mengurai genggaman tangan gadis itu dari tongkat dan menggenggamnya.
"Katakan padaku, apa yang ingin kau lihat untuk pertama kalinya saat bisa melihat nanti," pinta Dareen sembari menatap lekat wajah bersinar Daisha yang diterpa cahaya bulan.
Gadis buta itu diam, kedua bibirnya yang merah terkatup tanpa celah. Apa yang ingin dilihatnya, dia saja masih memikirkan itu semua.
Daisha menghela napas sebelum menjawab, "Laila. Aku ingin melihat wajah Laila untuk pertama kalinya."
Terdengar meyakinkan, apakah Daisha belum pernah melihat adiknya itu? Apakah mereka bertemu setelah Daisha mengalami kebutaan? Dareen tak ingin menanyakannya.
"Lalu? Apakah aku ada dalam daftar yang ingin kau lihat untuk pertama kalinya?" lanjut Dareen bertanya sambil tersenyum menunggu jawaban.
Kali ini, wajah Daisha bersemu. Tanpa sadar mengeratkan genggaman sembari tertunduk. Dia tidak bisa menyembunyikan itu semua karena tak dapat lari dari kenyataan bahwa dia hanya seorang gadis buta.
"Tentu saja, aku juga ingin melihat wajah calon suamiku. Apa kau keberatan?" Daisha terdengar menggoda. Terlebih saat wajahnya bergerak mendekat meski kedua mata tertuju pada yang lain.
Dareen tertawa, menatap terlalu lama bibir merahnya, membuat jiwa laki-laki itu ingin mereguk manisnya. Seandainya bisa, tapi ia akan terlihat seperti seorang pengecut lantaran Daisha tidak dapat menghindari serangan.
"Tidak sama sekali, aku justru menantikan itu. Semoga kelak ada seseorang yang berbaik hati mau mendonorkan matanya untukmu, Sha. Aku sangat berharap kau bisa melihat keindahan dunia ini kembali," tutur Dareen membuat hati Daisha terenyuh.
"Di mana kau? Apa kau di sampingku saat ini?" tanya Daisha seperti mengalihkan pembicaraan.
"Di depanmu."
"Bisa kau duduk di sampingku saja?" pintanya yang membuat Dareen bingung.
Bunyi kursi diseret dan berhenti di sampingnya, membuat Daisha duduk tegak. Ia meraba pundak Dareen dan menjatuhkan kepalanya di sana. Melingkarkan tangan pada lengan laki-laki yang ia butuhkan sebagai sandaran.
"Apa kau keberatan jika pundakmu menjadi tempat bersandarku? Kau keberatan jika dekapmu menjadi tempat ternyaman untukku? Apa kau juga keberatan, kedua tanganmu ini menjadi pelindungku dari segala kekejaman takdir di hidupku? Apa kau keberatan menggantikan peran ayah untuk melindungi aku dari semua kejahatan, termasuk ... cinta?"
Sederet pertanyaan Daisha menggetarkan relung jiwa Dareen. Sebegitu yakinkah gadis itu padanya? Ingin menikah dengannya? Tidak ditanya ataupun diminta, Dareen telah berjanji untuk melakukan itu semua. Apanya yang keberatan? Justru ia merasa bahagia menjadi sandaran untuk Daisha.
Dareen melepaskan tangannya dan merangkul bahu gadis itu. Memeluknya dengan hangat agar gadis itu bisa merasakan sedalam apa perasaannya.
"Aku tidak keberatan sama sekali, bahkan sekalipun kau tidak memintanya aku akan melakukan itu semua. Jangan sungkan mengeluh padaku, buat aku berguna berada di sisimu, Daisha. Aku mencintaimu," ungkap Dareen sembari mengeratkan pelukan.
Dareen meneguk ludah ketika matanya tertuju pada benda ranum yang merekah. Sepertinya, ia belum tersentuh. Oh, bolehkah dia yang mencurinya? Semilir angin menerpa kulit keduanya, menerbangkan dengan lembut helai rambut sang kekasih. Semakin membuka kesempatan untuk mereguk manisnya cinta.
Tanpa sadar, wajah Dareen semakin mendekat. Bersiap melahap benda yang selama ini menggodanya, dan Daisha hanya diam seolah-olah membiarkan dirinya untuk melakukan itu.
Wajah mereka kian dekat hingga dapat merasakan hembusan napas satu sama lain. Hangat menerpa wajah, lembut dan menenangkan. Daisha tahu apa yang akan terjadi, tapi ia tak dapat menjauh. Jauh di lubuk hati, sisi kemanusiaan yang ia miliki menginginkan itu. Namun ....
"Kakak! Kakak di mana?" Teriakan Laila membuyarkan semuanya.
Mereka saling melepas pelukan dan menjauh satu sama lain. Dareen bahkan berdehem sembari membenarkan posisi duduknya. Gelisah, mencari-cari bagian mana yang membuatnya tak dapat tenang. Wajahnya bersemu, seperti orang yang kedapatan akan mencuri.
Sial! Hampir saja aku melakukannya.
Ia melirik gelisah pada Daisha yang juga berpaling darinya.
Apa yang aku pikirkan, apakah aku memang menginginkannya?
Daisha mengumpat dalam hati, menyumpahi sisi manusia yang hampir membuatnya hanyut.
"Kakak! Di mana?" Suara Laila kembali terdengar. Daisha bersyukur gadis remaja itu datang tepat waktu, sebelum semuanya terjadi.
"Di sini, Laila. Di belakang," jawab Daisha setengah berteriak.
Ia menahan getar di lidah agar remaja itu tidak mencurigainya. Laila mengernyit, ia mengucek mata sambil berjalan menuju belakang toko. Tempat tinggal mereka.
"Kakak ... lho, ada Kak Dareen juga? Kalian sedang apa di sini? Aku mencari Kakak," cerocos Laila sembari mendekat pada Daisha dan duduk di sampingnya yang lain.
"Kakak tidak dapat tidur, jadi datang ke sini. Ternyata Kak Dareen juga sama. Jadi, kami berbincang-bincang di sini," jawab Daisha sambil mengusap kepala Laila yang ia sandarkan di pundaknya.
"Mmm ... tapi besok kita harus pergi, sebaiknya Kakak tidur sekarang," ucapnya lagi sambil menguap.
"Benar, Sha. Perjalanan kita tidak sebentar besok, sebaiknya kau tidur," sahut Dareen membenarkan Laila.
"Baiklah, ayo!"
"Eh, tunggu!" sergah laki-laki itu menahan kepergian mereka.
"Ada apa?" Laila cemberut tak senang.
"Laila, bisa aku pinjam ponselmu? Aku ingin menghubungi seseorang," pinta Dareen yang membuat mata remaja itu terbuka dengan lebar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Darsih suranto
jangan hungungi Cakra ya Darren
2022-10-10
2