"Untuk apa? Apa kau ingat siapa yang ingin kau hubungi?" tanya Laila sedikit tak senang.
Dareen gugup, bagaimana mengatakan kepada mereka jika dia ingin mengubungi kakaknya untuk mempermudah perjalanan mereka.
"Hanya katakan siapa yang ingin kau hubungi? Kami tidak ingin ada masalah, baik di jalan maupun di kota besar itu," tuntut Laila lagi waspada.
Dareen menatap keduanya, lebih intens pada Laila yang menyalang. Jika sesuatu yang bahaya menyentuh sang kakak, ia tak segan membawa pergi Daisha menjauh darinya.
"A-aku hanya ingin mengubungi Kakak, dia yang akan membantu kita supaya bisa lebih cepat sampai ke kota," jawab Dareen sedikit gugup dan ragu.
Daisha berpikir, sejak kata kakak disebutkan Dareen entah mengapa hatinya selalu gelisah dan tak tenang. Gadis itu merasa orang yang dimaksud Dareen amat berbahaya untuk mereka.
"Kakakmu? Aku memiliki firasat buruk ... bukan maksudku menjelekkannya, tapi perasaanku mengatakan ada bahaya yang akan datang jika kita begitu percaya padanya. Maaf, Kak, jika kau ingin mengubungi kakakmu itu, kami tidak bisa pergi," ucap Daisha yang tak pernah mengabaikan perasaannya.
Bagaimana mungkin ia akan abai, sementara dia hanya punya rasa yang bisa dia andalkan. Penglihatan, ia tidak memilikinya. Jadilah hanya bisa mengandalkan perasaan setiap apapun yang akan dilakukan, dan selama ini tak pernah salah.
Dareen terlihat bingung, ada keragu-raguan juga terpancar di kedua maniknya. Ia sendiri sudah merasakan betapa tajam firasat Daisha. Akan tetapi, dia kakak kandung Dareen sendiri? Mungkinkah laki-laki itu akan membawanya ke dalam bahaya?
Namun, saat ia sadar ada bagian kisah yang hilang antara mereka, Dareen memang tak harus mempercayai kakaknya itu sampai dia benar-benar ingat bagaimana hubungan mereka selama ini.
"Hubungi yang lain saja jika kau ingat, tapi jangan dia. Aku tak enak hati setiap kali mendengarnya disebut," ucap Daisha lagi membuat pengecualian.
Dareen bingung harus menghubungi siapa, pasalnya yang dia harapkan hanyalah Cakra. Daisha menunggu, untuk sekian lama diam tak kunjung mendapat jawaban.
"Bagaimana? Jika tidak ada, kita akan pergi menggunakan angkutan kota," tukas Daisha karena Dareen tetap bungkam dalam kebingungan.
Pada saat itu, ia teringat pada seseorang. Sahabat, asisten, sekaligus supir pribadinya, Alfin.
"Ah, iya. Aku akan mengubungi temanku saja jika begitu. Bisakah?" ucap Dareen memperhatikan riak wajah Laila yang masih memperlihatkan ketidaksenangannya.
Daisha menghela napas, ia meminta Laila untuk memberikan ponsel padanya. Setelah itu, mereka berdua meninggalkan Dareen sendiri pergi ke kamar untuk beristirahat.
Laki-laki itu menghela napas lega, beruntung ia ingat pada Alfin. Dia menjatuhkan diri di kursi, membuka galeri foto milik Laila sambil mengingat-ingat setiap angka milik sahabatnya itu.
"Kenapa aku merasa kalian itu mirip sekali?" gumamnya sambil melihat-lihat foto kedua gadis yang menolongnya.
Foto-foto itu seperti Laila berpose sendiri karena satu pun tak ada Daisha yang menghadap kamera. Apakah karena ia tak dapat melihat?
Setelah puas, barulah ia mencari kontak dan mulai mengetik setiap angka yang dia ingat sambil berharap tak salah alamat dan langsung ke tujuan.
"Hallo, Alfin? Kaukah ini?" tanya Dareen segera begitu sambungan terangkat.
"Yah, maaf dengan siapa saya berbicara?" tanya lawan bicara Dareen di seberang sana.
Senang bukan kepalang, Dareen hampir melompat dari kursi karena berhasil mengingat nomor sahabatnya.
"Ah, syukurlah ini kau. Aku Dareen, Dareen Alvaro. Apa kau sudah melupakan aku?" sahut Dareen sambil terus tersenyum.
Hening. Tak ada suara dari seberang sana. Dareen menjadi ragu, apakah dia salah orang?
"Hallo, Fin? Kau masih di sana?" Senyum Dareen surut, keragu-raguan terus saja melanda hati. Bagaimana jika dia salah orang? Pastinya akan malu.
"Sebutkan nama lengkapku!" pinta orang tersebut dengan tegas.
"Alfin Alfian Surya Sastrawinata Joyo Segoro Putra Selatan. Bagaimana? Apa aku salah menyebutkan nama?" jawab Dareen entah bagaimana tadinya, dia bisa mengingat nama buatan Alfin, sang asisten.
Terdengar napas yang ditarik, tapi tak dihembuskan. Apakah dia benar?
"Kau mengingat namaku? Bagaimana mungkin? Apa kau benar-benar Dareen? Yang tak pernah bisa mengingat nama itu?" selidik orang tersebut justru mencurigai Dareen.
Laki-laki itu berdecak kesal, susah payah dia hafalkan nama buatan yang panjang itu hanya supaya Alfin dapat membantunya jika ia dalam kesulitan.
"Jika kau tak percaya datang saja besok ke alamat yang aku kirimkan. Jangan lupa bawa mobilmu karena aku membutuhkannya. Akan kirimkan lokasinya padamu. Ingat! Untuk datang tepat waktu jika tak ingin uang sakumu aku pangkas."
Dareen mematikan ponsel dengan kesal, menggerutu tak jelas, bersungut-sungut karena jengkel pada sang asisten. Hampir-hampir ponsel milik Laila dibantingnya.
Beruntung, dia masih memiliki batasan. Duduk kembali di kursi sambil melihat-lihat gambar Daisha yang mendominasi ponsel Laila. Sesekali menatap langit malam, menikmati hamparan bintang yang menemani sang rembulan.
Ia tersenyum, membayangkan berduaan dengan Daisha di bahwa terpaan cahayanya membuat Dareen merasa bahagia. Bersama menikmati keindahan malam hari, ia tak ingin sendiri.
"Semoga Alfin secepatnya bisa membantuku mencarikan donor mata untuk Daisha. Hhmm ... aku hanya ingin dia bisa melihat lagi." Ia kembali menjatuhkan pandangan pada ponsel, gambar Daisha yang tak bosan untuk ditatap.
Dareen memutuskan untuk kembali ke dalam, berbaring di sofa menunggu pagi datang menjelang.
****
Esok hari yang ditunggu pun tiba, Daisha dan Laila sudah lebih dulu bangun dan menyiapkan semuanya. Sarapan untuk mereka bertiga, koper-koper berisi keperluan sudah berada di dekat pintu utama. Tak banyak yang mereka bawa, hanya pakaian ganti takut-takut tak dapat pulang pergi.
"Kak, Kak Dareen tertidur di sofa. Sepertinya dia tidak di kamar semalaman," lapor Laila saat membuka tirai depan dan mendapati Dareen masih tertidur di sofa.
"Ya sudah, kau rapikan ini saja. Kakak bangunkan dia dulu," ucap Daisha menyerahkan pekerjaan dapur pada Laila.
Sementara itu, ia pergi membangunkan Dareen.
"Kak, bangun. Sudah pagi, bukankah kita akan berangkat pagi-pagi?" Daisha mengguncang tubuh Dareen yang terlelap di sofa.
Laki-laki itu membuka mata, mendengar sayup-sayup suara lembut sang pujaan hati. Ia tersenyum, Daisha berdiri di sana meskipun tak menatap ke arahnya. Ia beranjak, merentangkan kedua tangan yang terasa kaku akibat tertidur di sofa.
"Wah, sudah siang. Aku mau mandi dulu," katanya seraya berdiri, tapi tak lupa mencuri ciuman dari Daisha.
Dareen mengecup pipi gadis itu sebelum berlari ke kamar mandi.
"Kakak!" pekik Daisha yang meraba-raba keberadaan Dareen dan memukul-mukulkan tongkatnya pada sofa.
"Kenapa jahil sekali?" gerutunya sambil berjalan keluar toko.
Daisha menghirup dalam-dalam aroma segar udara pagi untuk mengisi paru-parunya. Hiruk-pikuk kendaraan yang berlalu-lalang di depan toko, juga suara-suara besi bergeser meramaikan keadaan pagi di sepanjang pertokoan tersebut.
Ia tersenyum, tapi senyum itu pudar dikala suara deruan mobil mengusik telinga. Daisha berdiri dengan waspada, bersiap menyambut kedatangan pelanggan ... ah, atau siapa?
"Maaf, apakah benar ini toko bunga milik Nona Daisha?" tanyanya dengan ramah.
Daisha mengernyit, apakah dia seorang pelanggan.
"Benar, tapi jika Anda ingin memesan bunga hari ini, kami sedang tutup. Datang lagi lain waktu saja," jawab Daisha dengan ramah.
Sikapnya yang tak biasa membuat seseorang itu mengernyitkan dahi. Ia mengibaskan tangan di depan wajahnya, seketika tahu bahwa gadis itu seorang tunanetra.
"Ah, bukan. Saya tidak ingin memesan bunga, tapi saya mencari teman saya, Dareen. Apakah dia di sini?" tanyanya sambil melongok ke dalam mencari keberadaan Dareen.
Deg! Jantung Daisha berdegup tak karuan, hati bertanya-tanya siapa gerangan yang datang? Apakah kakak dari Dareen? Ataukah orang lain?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments