Drama 17

Liora bersama Fatih sudah duduk di depan meja penyidik. Wanita itu tampak tenang dan biasa saja meski hatinya dilanda kecemasan dan di pikiran bersarang seribu pertanyaan juga dugaan.

“Selamat pagi,” sapa Wafi.

“Pagi,” balas Liora dengan sekilas senyuman.

“Karena saudara Liora tampak sangat siap kita mulai saja.”

Liora mengangguk.

“Saudara Liora, setelah kami melakukan olah TKP dan menemukan beberapa barang bukti, kami mendapatkan sidik jari Anda bersama korban di satu stik golf. Bukannya kemarin Anda bilang kalau saudara Reiki lah yang memukul kaki Anda sampai retak? Lalu kenapa kami tidak menemukan sidik jarinya Reiki di satu tongkat golf yang sama?”

Nafas panjang di hirup Liora lalu dia menatap Fatih yang duduk di samping.

“It’s oke. Ceritakan saja,” ungkap Fatih.

“Sebelumnya saya minta maaf kalau di awal sempat berbohong. Tapi jujur saya gak ada niat untuk menipu. Ya, benar Milen lah yang sudah memukul saya sampai menyebabkan kaki saya retak.”

“Lalu apa alasan Anda berbohong?”

“Saya cuma ingin membuat Reiki mendapatkan hukuman berat. Anggap saja dia menanggung perbuatan istrinya terhadap saya, cuma itu. Toh Milen sudah meninggal, gak mungkin saya tuntut orang mati.”

“Apa ada hal lain yang Anda tutupi dari kami?”

“Gak, hanya itu. Selebihnya saya menceritakan yang sebenarnya.”

“Bisa ceritakan penyebab korban memukuli Anda?”

“Karena dia marah sebab saya gak ngasih tau dia kalau Reiki selingkuh.”

“Bagaimana hubungan Anda selama ini dengan korban?”

“Kami memang gak berhubungan baik, tapi kami gak pernah berantem hebat sampai tampar atau cakar-cakaran. Hanya sekedar adu mulut saja dan ujungnya saya yang mengalah.”

“Karena?”

“Karena saya capek kalau harus meladeni dia. Di tambah nanti Reiki pasti akan membela istrinya itu dan gak segan memukul saya. Begitu juga dengan ibu mertua.”

“Apa selama menjadi istri kedua, korban pernah melakukan tindakan kekerasan terhadap Anda?”

Kaina menggeleng. “Gak ada sih, cuma dia selalu membanggakan perusahaan orang tuanya dan perusahaan keluarga Reiki bergabung. Jadi, menurutnya modal yang saya pakai untuk membangun cafe adalah uangnya. Hal itu membuat dia bertindak senaknya sama saya.”

“Bagaimana dengan perlakuannya?”

“Kami jarang ketemu sih. Kalau ketemu dia palingan suka nyuruh-nyuruh aja, tapi karena saya gak mau berdebat akhirnya saya kerjakan saja apa yang di pintanya.”

“Apakah keterangan Anda ini bisa dibenarkan ?”

“Silahkan tanya aja sama ART di rumah itu. Bi Idar tau semua kok bagaimana hubungan saya dengan Milen.”

Setelah semua keterangan dari Liora di catat oleh anak buahnya. Wafi pun menyudahi pemeriksaan hari ini. Fatih dan Liora pun memutuskan untuk pulang. Bersama timnya, Wafi menyiapkan surat panggilan untuk tersangka yaitu Reiki Alterio. Dalam kasus ini status pria itu yang awalnya hanya saksi kini dinaikkan menjadi tersangka.

“Siapkan surat panggilan untuk tersangka,” kata Wafi pada anak buahnya.

“Sudah, Ndan.”

Wafi melirik jam yang melingkar di tangannya. Sudah masuk jam makan siang. Artinya, dia bisa keluar sebentar. Gegas pria itu keluar dari balik meja kerjanya menuju mobil yang ada di area parkiran. 

Memacu roda empatnya menuju cafe dan resto Kaina yang tak jauh dari kantor polisi. Tiba di sana, ia langsung masuk dan memesan makanan. Entah karena kebetulan atau memang sudah jodoh tanpa di carinya, Liora pun muncul dari dapur membawa pesanan untuknya. Padahal Wafi tak meminta pada karyawan untuk dipertemukan dengan wanita itu.

“Hai,” sapa Liora.

Wafi tersenyum ramah menerima makanannya.

“Kok gak bareng aja tadi kalau mau ke sini?”

“Rencananya tadi mau makan siang di kantor, tapi anak-anak pada makan di luar. Jadi saya ke sini deh sekalian mau bicara sama kamu. Cuma lihat pengunjung lagi rame ngobrolnya nanti aja.”

Liora pun mendudukkan dirinya di kursi depan pria itu. “Mau bicara soal apa? Kebetulan kerjaan saya sudah selesai.”

Wafi berdehem untuk menetralkan rasa gugupnya. “Just want to say sorry.”

“Untuk?”

“Saya sempat curiga sama kamu. Jujur saya menduga kalau kamu terlibat dalam kematian Milen.”

Wajah Liora sedikit tegang, tapi sebisa mungkin dia bersikap biasa saja. “Kenapa harus minta maaf? Saya rasa itu bukan kesalahan. Sebagai penyidik sudah sewajarnya kamu menaruh rasa curiga pada saya.”

“Tapi saya benar-benar ngerasa gak enak.”

“Santai saja. Jujur pas dapat surat panggilan kemarin, saya sedikit takut kalau-kalau saya yang bakalan jadi tersangka. Tapi setelah saya bicara lagi dengan Pak Fatih sebelum kami ke kantor polisi dia berusaha menenangkan saya. Makanya saya berani mengakui kebohongan yang sempat saya lakukan.”

“Tindakan yang bagus.”

“Tapi saya gak akan di penjara kan? Gara-gara memberikan keterangan palsu.”

“Hahaha, gak semudah itu buat orang masuk penjara hanya karena dia berbohong dalam memberikan kesaksian. Ada pasal yang mengaturnya.”

Bibir liora melengkungkan senyuman. “Ya, sudah kalau begitu kamu makan dulu. Saya tinggal kerja.”

“Iya.”

Wanita itu pun berdiri dan hendak pergi, tapi Wafi menahan tangannya. “Li, besok pas weekend kita bisa jalan?”

“Jalan?”

“Iya, saya mau ngajak kamu.”

“Kemana?”

“Club motor saya ada acara Sunmori.”

“Oke, nanti kabarin aja kalau mau jemput.”

“Jemput?”

“Iya, kamu jemput saya kan?”

Kepala Wafi mengangguk cepat dan Liora pun tersenyum manis. 

Sebenarnya tak etis dalam masa proses penyelidikan kasus Wafi menjadi dekat dengan seorang saksi. Namun, karena dia tak mau membuang-buang kesempatan dia harus pintar memanfaatkan waktu yang ada. Sempat ragu untuk mendekati Liora karena bukti sidik jari yang ditemukan. Kini dia yakin kalau wanita itu benar tak bersalah.

Jadi, sebisa mungkin dia akan memilah dan memilih antara urusan pekerjaan dan pribadi. Jangan sampai nantinya tercampur aduk dan itu bisa membahayakan karirnya sebagai penyidik yang profesional.

\=\=\=\=\=

Hari libur pun tiba, Wafi bersiap hendak menjemput Liora pag ini di cafenya. Sebelum berangkat dia sudah menghubungi wanita itu agar bersiap. Mengenakan setelan serba hitam yang dipadukan dengan jaket denim dan sneakers putih Wafi terlihat keren dan tampak lebih muda.

Diambilnya helm full face yang ada di rak, pria itu gegas menuju garasi. Mengeluarkan kuda besinya untuk ditunggangi hari ini. Hanya memakan waktu sepuluh menit perjalanan, ia tiba di area parkiran. Tampak Liora yang sudah menunggunya di dalam cafe segera keluar.

“Kok serasih sih,” ujar Wafi.

Liora tertawa. “Kebetulan aja kali. Aku gak tau mau pakai baju apa pas kamu bilang mau naik motor. Jadinya aku pilih celana jeans hitam sama kaos hitam. Karena gak punya jaket kulit jadinya pakai jaket denim aja.”

“Naik kalau gitu.”

“Helm buat aku mana?”

“Kita cari dulu. Sorry, ya, aku cuma punya satu soalnya biasa jalan sendiri. Cuma kamu yang mau aku ajak motoran."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!