Drama 8

"Oke, kalian awasi dia sampai saya tiba di sana." Reiki berbisik dengan teleponnya. 

Ternyata telpon penting yang tadi bilang merupakan panggilan dari detektif swasta yang dipekerjakan untuk mencari Sena. Dua detektif itu berhasil menemukan lokasi keberadaan wanita 27 tahun itu dan langsung melaporkan pada Reiki. 

"Jangan sampai dia curiga kalau kalian sedang mengintainya. Cukup awasi dan jaga jarak. Besok pagi saya akan berangkat ke sana."

Panggilan di putus. Reiki pun berbalik hendak kembali ke meja makan. Namun, dirinya terkejut dengan kehadiran Wafi yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. "Eh, Anda." Dia berusaha bersikap tenang. 

Wafi tersenyum simpul. "Apa saya mengganggu, Anda?"

"Oh, tidak sama sekali. Saya sudah selesai."

"Saya ke toilet sebentar."

Kepergian penyidik itu, Reiki membuang nafas panjang. Dia sempat merasa takut kalau Wafi mendengar percakapannya tadi. Namun, sepertinya itu hanya dugaan saja. Kini dia dapat merasa lega. 

Kembali ke meja makan, Reiki memberikan senyum terbaiknya pada mertua. 

"Telepon dari siapa, Rei?" tanya Puri. 

"Dari rekan bisnis, Ma. Katanya besok dia ada di luar kota. Jadi, aku harus samperin karena setelahnya dia akan langsung berangkat keluar negeri."

"Siapa, Rei?" tanya Joko. 

"Hhmm, itu, Pa, rekan bisnis yang baru. Kita belum sempat kerjasama makanya aku pendekatan dulu."

"Ooh."

Wafi yang kembali dari kamar mandi mendudukkan diri di kursinya tadi.

"Kalau gitu aku pulang duluan gak papa kan, Ma, Pa? Mau istirahat lebih awal biar besok pagi berangkatnya gak kesiangan."

"Boleh dong," jawab Puri. 

"Kalau gitu saya juga pamit, Om, Tante," sambung Wafi. 

"Loh, kok ikutan izin juga sih?"

"Mau ketemu seseorang, Tante."

"Siapa? Calon istri?"

Wafi mengembangkan senyuman lebar. "Bukan, hanya seorang teman."

"Ya, udah kalau gitu mari kita antar ke depan," ajak Joko. 

"Gak usah, Om, Tante. Saya bareng Pak Reiki aja."

Reiki mengangguk setuju. 

"Terima kasih sudah mau mampir."

"Sama-sama, Om. Terima kasih juga jamuannya."

"Lain kali jangan sungkan main-main kesini. Kedepannya kami akan sangat butuh informasi dari kamu soal perkembangan kasus Milen."

Wafi hanya mengangguk. Ia dan Reiki sama-sama berdiri dari kursi dan melangkah ke luar rumah. 

"Saya harap Anda bisa membuktikan kalau istri saya memang dibunuh oleh istri pertama saya." Reiki berujar ketika mereka sudah tiba di dekat mobil. 

"Saya akan bekerja seprofesional mungkin, Pak."

"Itu harus, tapi saya yakin kalau Anda pasti pintar dalam menemukan bukti. Saya akan memberikan keterangan selengkapnya kapanpun Anda butuhkan."

"Untuk saat ini saya belum bisa percaya pada siapapun, Pak. Meski Anda yakin sekali kalau istri pertama Anda pembunuhnya, bisa saja fakta menyatakan sebaliknya."

"Tapi saya sangat yakin seratus persen."

"Dalam kasus seperti ini semua orang yang terlibat bisa dicurigai termasuk, Anda." Wafi menunjuk Reiki tepat di depan wajahnya. Membuat suami Liora itu merasa ketakutan. "Tapi kalau memang Anda tidak bersalah kenapa harus takut. Santai saja." Tak lupa sebuah tepukan di daratkannya di bahu Reiki. 

"Hahaha, ya, Anda benar juga."

"Ya, sudah saya duluan."

"Silahkan."

Reiki melepas kepergian Wafi dengan sebuah hormat. 

\=\=\=\=\=

Pagi ini Liora mau memeriksakan kondisi luka serta kakinya ke Rumah Sakit. Karena dia belum dapat mengemudi sendiri jadilah wanita itu memesan taxi online. Namun, sudah lima kali orderannya di tolak karena para drive sepertinya banjir pelanggan. 

"Gimana, Mbak?" tanya Susi. 

"Pada gak bisa. Kayaknya pagi ini orang-orang sibuk berangkat kerja deh."

"Ya, sudah, tunggu sebentar lagi. Kalau cafe udah sepi Mbak dia antar Aldi aja."

"Ide yang bagus. Kalau gitu saya tunggu di sini." Wanita dengan rambut berwarna hitam pekat itu duduk di dekat meja kasir. 

Pagi ini cafenya ramai pengunjung karena banyak para karyawan kantoran atau anak kuliah menikmati sarapan.

Suasana ramai membuat cafe itu terdengar riuh. Hingga seseorang masuk membuat semua mata tertuju padanya. Seorang pria memakai kaos polo warna biru dongker bertuliskan TURN BACK CRIME berjalan dengan gagahnya menuju sebuah meja kosong. 

Dipadukan dengan celana tactical dan sepatu safety boots berwarna senada membuatnya tampak keren. Bahkan kacamata hitam yang dikenakan membuat tampilannya sempurna. 

"Mau pesan apa, Pak?" sapa karyawan Liora yang lain. 

Wafi menerima buku menu lalu membacanya. "Satu sandwich spesial dan satu americano."

"Dine in atau take away?"

"Take away."

"Oke. Mohon ditunggu sebentar, ya, Pak. Nanti saya akan mengantarkan pesanan Anda."

Wafi mengangguk. "Terima kasih."

Tak sampai setengah jam, pegawai tadi datang kembali membawakan satu bungkus roti lapis dan satu cup kopi. "Silahkan ke meja kasir untuk melakukan pembayaran."

Wafi berdiri dan menenteng pesanannya sambil menyeruput kopi. Membuat beberapa kaum hawa mencuri pandang padanya. Hingga tiba di meja kasir wafi memberikan kartu ATM. "Lili," panggilnya. 

Bagian kasir merasa bingung sedangkan Liora yang sedang asik bermain ponsel mengangkat kepalanya.

"Saya pikir kamu gak ada di sini tadi."

"Kamu manggil saya?" tanya Liora.

"Iya. Siapa lagi."

"Sejak kapan nama saya jadi ganti sama Lili?"

"Sejak kita kenal."

Liora tertawa. "Pesan sarapan?"

"Iya, soalnya tinggal sendiri jadi gak ada yang siapin."

"Cari lah."

"Calonnya udah ada tapi lagi coba di deketin dulu."

"Kamu PDKT sama calon ART?"

"Hah?" Wafi bingung. Sepertinya mereka sama-sama salah tangkap dan akhirnya gak nyambung. 

"Mbak, maksud Bapak ini mungkin calon istri kali, Mbak," sela Susi. 

"Ooh, hahaha." Liora tertawa lebar sedangkan Wafi tersenyum gagah.

"Kurang minum kamu,” ledek Wafi.

"Ah, iya, nih. Kayaknya butuh AQUA."

Keduanya kembali tertawa. 

"Mbak, tunggu bentar lagi, ya. Nanti pasti saya antar," timpal Aldi. 

Liora memberikan jempolnya kemudian karyawan itu kembali melayani pengunjung. 

"Mau kemana?" tanya Wafi. 

"Mau ke RS. Periksa luka sama kaki."

"Saya antar?"

"Hhmm gak deh, takut ngerepotin."

"Gak kok."

"Kalau kamu telat ke kantor gimana?"

"Gak akan. Hari ini saya gak ke kantor cuma menghadiri acara aja dan mulainya masih satu jam lagi."

"Sana, berangkat aja, Mbak." Susi mendorong atasannya itu keluar dari balik meja. Karena kaki Liora masih sakit dengan sigap Wafi menyambutnya. 

"Kamu sengaja, Sus?" tanya Liora. 

Susi menyegir.

"Awas kamu," ancam Liora. 

"Ampun, Mbak!" 

"Ayo," ajak Wafi. "Kita naik mobil saya aja."

Sampai di parkiran Wafi membantu wanita itu masuk kedalam mobilnya. Setelah Liora duduk dengan nyaman barulah dia beralih ke bangku kemudi. "Rumah Sakit mana?"

"Yang dekat dari sini."

Terpopuler

Comments

Linda pransiska manalu

Linda pransiska manalu

halo, emak udah mampir. ceritanya bagus. emak suka.

2022-10-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!