Berdasarkan bukti dan pendapat dari saksi ahli, Wafi dan timnya menyimpulkan kalau memang Reiki yang sudah mendorong Milen hingga jatuh dari anak tangga.
Namun, bukti sidik jari di stik golf masih menjadi misteri yang belum terpecahkan. Mereka pun menunggu kedatangan Liora untuk memberikan keterangan tambahan.
"Siapkan surat untuk tersangka," ujar Wafi.
"Siap, Ndan," jawab IPTU Satya.
Wafi mengurut pelipisnya setelah beberapa hari ini bekerja siang dan malam dalam menangani kasus kematian Milen.
“Sebaiknya istirahat di rumah, Ndan,” kaya Satya.
“Tapi masih banyak hal yang harus kita bahas.”
“Untuk hari ini gak papa kita santai sedikit, Ndan. Sebaiknya kita tunggu keterangan dari Bu Liora, setelahnya baru kita diskusikan lagi.”
“Baiklah, kalau begitu saya pulang duluan.”
“Baik, Ndan. Hati-hati di jalan.”
“Ya. Terima kasih.” Wafi keluar dari balik meja kerjanya, melangkah menuju parkiran dan langsung masuk mobil.
Selama di perjalanan dirinya terus bertanya-tanya soal sidik jari Liora yang ditemukan. Ingin hati menanyakan langsung pada yang bersangkutan, tapi egan karena hal itu sangatlah tidak profesional. Tiba di depan cafe wanita yang mengusik pikirannya, Wafi memperhatikan dari luar.
Dihisabnya sebatang rokok lalu dihembuskan. “Sebenarnya apa yang terjadi? Apa kamu berbohong atau ada yang kamu tutupi?” Wafi bertanya sendiri saat melihat Liora tampak sibuk melayani pelanggan.
“Semoga besok kamu bisa menjelaskan soal sidik jari itu.”
Wafi masih betah di sana sampai satu batang rokok yang di sulutnya tadi habis sambil memandangi wanita cantik di dalam sana. Karena hari semakin malam dia pun membawa roda empatnya menuju rumah.
Liora yang sadar akan kehadiran pria itu merasa heran dan was-was.
“Ada apa, Mbak?” tanya Susi.
“Hhmm gak ada apa-apa. Cuma tadi ngerasa ada yang merhatiin dari luar.”
“Oh, mungkin cuma orang yang lagi istirahat aja di parkiran.”
“Mungkin.” Liora pun tersenyum. “Yuk, kerja lagi.”
Susi meganguk.
\=\=\=\=\=\=
Pagi ini, Liora mendapatkan surat panggilan dari pihak yang berwajib. Hatinya semakin takut mengingat kedatangan Wafi semalam. Dia yakin kalau pria itu sedang mengawasinya, tapi entah apa alasannya Liora berusaha menebak-nebak agar dirinya tak salah langkah.
Setelah menitipkan cafen pada karyawan, Liora pergi menemui Fatih. Tiba di sana wanita itu langsung menyampaikan ketakutan hatinya.
“Mbak tenang saja. Besok saya akan temani,” ujar Fatih.
“Tapi ini soal apa lagi? Bukannya kemarin saya sudah memberikan keterangan selengkapnya.”
“Biasanya polisi butuh keterangan tambahan.”
Liora membuang nafas kasar sambil menghempaskan punggungnya di sofa.
“Apa mau saya hubungi Pak Wafi? Buat menanyakan soal penyidikan besok.”
Kaina berpikir sejenak. “Gak, gak usah Pak Fatih. Saya gak papa, cuma bingung aja kenapa di panggil lagi.”
“Ya, sudah kalau gitu. Besok kita berangkat bareng. Mbak tenang aja, gak ada yang perlu ditakutkan.”
Liora mengangguk. “Ada yang mau saya sampaikan.”
“Apa itu?”
\=\=\=\=\=\=
Kepergian Liora, Fatih menghubungi Wafi.
Tut … tut …
Nada sambung terdengar hingga panggilannya dijawab oleh yang bersangkutan.
“Hallo, Bro,” sapa Wafi di seberang sana.
“Hai, lagi sibuk gak lo?”
“Gak juga. Ada apa?”
“Hhmm kayaknya gak pas kalau gue bahas lewat telepon. Gimana kalau kita ketemu?”
“Oke. Lima belas menit lagi gue ke kantor lo.”
“Gue tunggu.”
Benar saja, Lima belas menit kemudian Wafi sampai di kantornya Fatih.
“Rencananya tadi gue mau ngajak lo makan siang,” ujar Fatih.
“Wah, kalau gitu ngapain gue buru-buru ke sini, ya.”
“Gak papa. Kita makan siang nanti saja. Duduk!”
Wafi mendudukkan dirinya di sofa bersamaan dengan Fatih.
“Langsung saja, lo pasti mau membahas soal surat panggilan Liora,” tebak Wafi.
Fatih tertawa. “Dia tadi datang kesini. Mungkin takut karena mengira bakalan dijadikan tersangka.”
“Ada kejanggalan yang gue dan tim temukan dari beberapa bukti termasuk sidik jari. Cuma butuh penjelasan aja biar bukti yang kami dapat bisa masuk akal dengan cerita yang diberikan.”
Fatih mengangguk Paham. “Tapi yang namanya orang baru pertama kali berurusan dengan pihak berwajib pasti was-was juga.”
Wafi mengeluarkan sebungkus rokok, mengambilnya sebatang lalu diletakkan diatas meja. “Kalau boleh gue tau, apa ada yang ditutupi Liora saat pemeriksaan pertama.”
“Gue gak bisa jawab itu. Tapi biasanya klien memang suka menutupi sesuatu dari kuasa hukumnya. Bukan karena gak percaya, mereka berusaha melindungi diri sendiri.”
Dihembuskan asap rokoknya oleh Wafi lalu dia mengangguk. “Lo gak ngerokok lagi?”
“Sejak istri gue hamil, gue udah benar-benar stop ngerokok.”
“Ceritanya lo mau jadi suami dan ayah yang baik?!”
Bibir Fatih tersenyum lebar. “Bisa dibilang begitu.”
Wafi terdiam sejenak, menyesap nikmatnya rokok.” Tapi jujur, gue mulai curiga sama klien lo.”
Fatih mengangkat kedua tangannya di udara. “Itu hak lo sebagai penyidik. Gue sebagai kuasa hukum hanya bertugas mendampingi dan membantu klien. Terlepas dari mereka apakah nantinya akan jadi tersangka atau bukan.”
“Sebaiknya besok lo tanyakan lagi sama Liora. Siapa tau dia benar menutupi sesuatu, jangan sampai lo sebagai kuasa hukumnya gak tau apa-apa nanti.”
“Pasti. Apapun yang sebenarnya terjadi dalam kasus ini, lakukan tugas dan pekerjaan kita dengan profesional.”
Wafi mengangguk setuju.
“Tapi gue penasaran, kalau Liora bersalah dalam kasus ini apa lo benar-benar akan tetap profesional?”
Senyum miring tersungging di bibir Wafi. Pria itu menghisap habis rokok lalu menekan puntungnya di asbak. “Tergantung.”
“Tergantung apanya?”
“Hahaha, gue gak bisa berkata banyak. Kita lihat besok,” jelas Wafi.
“Apapun itu gue harap lo bisa hati-hati. Jangan sampai karir lo hancur,” pesan Fatih.
“Lo gak perlu khawatir.” Wafi menepuk dadanya. “Wafi Mahawira punya seribu akal.”
Fatih tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Lo beneran suka sama dia?”
“Pandangan pertama, tapi kalau untuk cinta belum.”
“Ya, gue paham soal itu.”
“Thanks Bro, lo perhatian sama gue.”
“Sebagai sahabat tentunya gue mau yang terbaik buat lo dan sebagai seorang pengacara gue pastinya mau memenangkan kasus ini. Maka dari itu gak ada salahnya kita sesekali berkoordinasi biar gak ada kejanggalan nantinya.”
“Licik juga lo ya.” Wafi menunjuk temannya itu.
“Hahaha, semua tergantung.”
“Oh, oke. Kalau begitu gue setuju.”
Mereka pun saling berjabat tangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Ririn Endang S
Suweeerrrr....suka dech thor.
2022-12-01
1