Polisi ganteng itu mengangguk lalu menjalankan roda empatnya. Selama di perjalanan dia memperhatikan kaki Liora yang di balut gips. "Dari kemarin saya pengen tanya, tapi rasanya kurang etis."
"Soal?"
"Kaki kamu. Apa ada kaitannya dengan laporan yang kamu ajukan."
"Bisa dibilang begitu."
"Kenapa?"
"Apa gak masalah saya cerita?"
"Saya rasa cuma sekedar menjelaskan penyebabnya gak ada masalah."
"Dipukul pakai stik golf."
Wafi membelalakan mata saking terkejutnya. "Stik golf?"
Liora mengangguk. "Akibatnya tulang kering ku retak. Tapi kata dokter gak terlalu parah. Sekarang mau rontgen lagi biar tau perkembangannya gimana."
"Boleh saya temani?"
"Gak usah."
"Kenapa?"
"Nanti saya dikira penjahat lagi karena diantar polisi."
"Hahaha, ya, gak lah."
"Ya, terserah kamu sih. Saya gak masalah sama sekali. Cuma nanti acara kamu keganggu gak?"
Wafi melirik smartwatch yang melingkar di tangannya. "Masih lama. Saya temani kami."
Senyum simpul bergaris di bibir Liora. "Makasih."
\=\=\=\=\=
Sena kaget saat seseorang menarik tangannya. Dia yang sedang asik menata bunga di toko kembang milik sang ibu dikejutkan dengan kehadiran sang pacar. "Reiki."
"Apa? Kamu bingung kenapa saya bisa ada di sini?!" Reiki bertanya dengan angkuhnya. "Jangan pikir saya ini bodoh. Lari ke kampung kecil seperti ini gak sulit buat saya menemukan kamu."
"Mau apa kamu?" Sena tampak cemas.
"Saya mau kita bicara."
Liora melirik ke dalam toko. "Kita bicara di tempat lain. Saya gak mau orang tua saya mendengarkan percakapan kita."
"Oke. Ikut saya!"
"Saya izin ibu dulu."
"Silahkan, tapi jangan coba-coba kabur."
Sena hanya mengangguk.
Dari deretan toko itu mereka menuju sebuah rumah makan sederhana. Karena bagi Reiki obrolan mereka akan lebih aman di sana sebab tak ada CCTV.
"Mau bicara apa?" tanya Sena.
"Kenapa kamu kabur?"
"Saya gak kabur. Cuma pulang kampung buat menenangkan diri setelah kamu pukuli."
"Itu akibat karena kamu berkata jujur tentang kita pada istri saya. Padahal kalau kamu pintar sedikit saja, hal ini gak akan terjadi."
Sena memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Sekarang katakan, apa yang terjadi setelah saya pingsan!"
"Saya gak tau."
"Jawab saja yang jujur. Kamu mau apa setelah ini, akan saya berikan."
"Tapi beneran saya gak tau. Setelah kamu pingsan saya langsung lari keluar dari rumah."
"Bersama Liora?"
"Iya."
Reiki membuang nafas kasar karena tak mendapatkan informasi apa-apa. "Coba kamu ingat-ingat lagi. Apa saat kamu kabur itu Milen masih hidup?"
"Hhmm masih."
"Lalu kenapa dia bisa meninggal?" Reiki meremas rambutnya sebab mulai frustasi.
"Meninggal? Istri kamu yang bar-bar itu meninggal?"
"Iya. Kenapa? Senang kamu?"
"Pastilah. Itu akibat karena dia kurang ajar sama aku."
"Jangan-jangan kamu yang membunuhnya!?"
"Hei, jangan asal tuduh, ya!" Sena tampak geram.
"Dengar, kalau kamu bisa membantu saya, akan saya jamin kehidupan dan karir kamu kedepannya."
"Membantu dalam hal apa?"
"Buat perjanjian antara kita berdua. Tapi dengan catatan kamu tutupi perselingkuhan kita dan jadilah saksi dari pihak saya."
"Maksudnya?"
"Liora melaporkan saya pada pihak kepolisian atas kasus penganiayaan dan saya juga melaporkannya atas kematian Milen yang tak wajar. Dia pasti butuh seorang saksi dalam membuktikan dan membenarkan ceritanya nanti. Oleh karena itu, saya mau kamu memberikan kesaksian palsu, beratkan dia, sudutkan dia, buat seolah-olah kalau dia bersalah. Maka aku akan memenangkan persidangan. Kamu akan mendapatkan apa saja yang kamu mau."
"Termasuk pernikahan kita yang pernah kamu janjikan?"
"Untuk itu saya gak bisa. Karena setelah masalah ini selesai saya mau meyakinkan kedua orang tua Milen untuk menyerahkan seluruh saham perusahaan mereka ke tangan saya."
Sena mengangguk paham.
"Jadi, bagaimana? Apa kamu setuju?"
"Saya gak bisa setuju begitu saja sebelum kamu memberikan bukti yang meyakinkan."
"Kamu butuh apa? Uang, apa pun akan saya berikan sekarang juga."
"Hitam di atas putih."
Reiki terdiam sejenak. Dia ingin bermain aman. "Bagaimana kalau kita berdua saja yang menulis perjanjiannya?"
"Gak masalah. Saya butuh sesuatu untuk mengingatkan kamu nanti jika melanggar kerja sama kita."
"Oke, deal!"
\=\=\=\=\=
Wafi menemani Liora melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit. Meski dirinya sudah didesak oleh anak buah untuk segera hadir di lokasi acara, pria dengan tinggi 180 cm itu memberikan satu alasan yang tepat supaya dia bisa datang terlambat.
"Hari ini gips-nya kita buka dan diganti dengan perban elastis," jelas Dokter.
Liora mengangguk. Setelah melihat hasil X-ray, dokter mengatakan kalau kakinya sembuh dengan baik.
"Dua minggu lagi bisa kembali dan kita cek apakah tulangnya sudah sembuh total."
"Baik, Dok," jawab Liora.
"Tapi masih di beri obat pereda nyeri kan, Dok?" tanya Wafi.
"Tentu, Pak."
"Tapi saya rasa gak butuh deh, Dok," jelas Liora. Sudah gak nyeri lagi seperti di hari pertama."
"Gak papa, Bu, nanti obatnya ditebus saja. Bisa Ibu minum pas nyerinya terasa."
"Ooh, Ok."
Liora di bantu oleh suster membalut kakinya. Tampak masih lebam membiru dan sedikit merah keunguan.
"Biar lebamnya hilang boleh di kompres pakai batu es gak, Dok?" tanya Wafi.
"Bokeh kok, Pak. Tolong istrinya dibantu dan di rawat,ya."
Liora dan Wafi saling pandang.
"Dia buka-"
"Akan saya rawat sampai sembuh." Wafi menjawab dengan senyum.
Liora membelalakan matanya pada pria itu.
"Beres, Bu," kata suster.
"Makasih, Sus."
"Kalau begitu kami permisi, Dok." Wafi bangkit dari duduknya menghampiri Liora untuk membantu wanita itu turun dari brankar.
"Iya, silahkan. Semoga lukanya lekas membaik," balas Dokter.
Sebelum kembali ke mobil, Wafi menemani Liora menebus resep obat di apotik. Antri beberapa saat, gilirannya pun tiba. "Biar saya saja. Kamu tunggu di sini."
"Ooh, oke." Liora yang mau berdiri kembali mendudukkan diri.
\=\=\=\=\=
"Terima kasih sudah mengantar saya. Oh, bukan hanya mengantar tapi menemani juga membantu," ujar Liora.
Wafi tersenyum sambil mengemudikan mobilnya menuju cafe wanita yang kini duduk di sebelah.
"Kenapa tadi kami memotong ucapan saya?"
"Soal?"
"Dokter yang mengira kalau kita suami istri."
"Apakah harus diluruskan lagi? Kalau iya, saya putar balik."
Liora menggoyangkan kelima jarinya pada pria itu. "Gak perlu. Saya cuma takut nanti disangka orang beneran dan bisa berakibat buruk buat kamu."
"Santai saja."
Tiba di cafe Liora, Wafi menemani wanita itu sampai kedalam setelahnya dia kembali pergi.
\=\=\=\=\=
Hari pun berganti minggu. Pihak kepolisian akhirnya memberikan surat perintah pada bawahannya untuk mulai melakukan penyelidikan atas kasus kematian Milen. Reiki sebagai pelapor dan Liora sebagai terduga akan dipanggil segera.
"Bagaimana dengan tuntutan Ibu Liora terhadap Pak Reiki, Ndan?" tanya anak buah Wafi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments