Wafi tertawa. "Saya datang bukan sebagai polisi."
"Lalu?"
"Bagaimana kalau sebagai teman?"
Liora mengangguk-anggukkan kepalanya. "Boleh juga." Wanita itu merasa keberuntungan sedang berpihak padanya. Jadi, kenapa tak di manfaatkan saja.
Pesanan mereka pun datang. "Sebaiknya kita makan dulu," ajak Liora. "Sekalian ngobrol."
"Boleh," jawab Wafi.
Keduanya sama-sama menikmati makanan enak olahan cafe Liora itu.
"Ngomong-ngomong, Pak Wafi ini pangkatnya apa?" tanya Liora.
"AKP dan kalau memungkinkan tahun ini naik pangkat."
"Wow, hebat juga, ya. Umurnya?"
"Menurut, Mbak?"
"Saya gak bisa tebak umur orang. Bisa saja tampangnya awet muda tapi usianya sudah matang atau sebaliknya."
"Hahaha, benar juga. Usia saya tiga puluh."
"Masih muda." Liora berkata sambil menyeruput minumannya.
"Kalau, Mbak, sendiri?"
"Saya?" Liora menunjuk dirinya.
Wafi mengangguk. "Tapi tebakan saya umurnya pasti 32 tahun."
"Kok tau?"
"Benarkah? Saya hanya asal tebak."
"Artinya, Anda beruntung."
Wafi tersenyum. "Secepatnya saya akan bantu proses laporannya, Mbak."
Liora menatap pria dengan gaya rambut comb over di depannya itu. "Terima kasih. Tapi sungguh saya gak bermaksud apa-apa dengan pertemanan kita ini. Saya menyambut Anda karena memang hanya sekedar ingin menjalin pertemanan saja. Bukan karena sedang butuh bantuan atau memanfaatkan, Anda.
"Kalaupun dimanfaatkan, saya gak keberatan."
Liora tertawa lebar.
"Hanya bercanda. Oh, ya, panggil saja saya Wafi. Telinga saya terasa asing mendengar kata Anda."
"Baiklah. Kalau begitu jangan panggil saya Mbak. Berasa tua," kekeh Liora.
"Tapi memang lebih tua dari saya kan!"
"Apakah tampang saya menunjukkan kalau umur saya setua itu?"
"Malah terlihat lebih muda."
Lior memicingkan matanya. "Lalu kenapa tadi bisa tebak umur saya dengan benar?"
Wafi menggaruk kepalanya meski tak gatal.
"Sepertinya ada yang ketahuan kalau tadi dia berbohong," goda Liora.
Wafi mengangkat kedua tangannya di udara. "Oke, saya jujur. Saya tau umur kamu dari laporan yang di proses."
"Sudah saya duga."
Keduanya pun tertawa.
Wafi menatap dalam wanita penuh lebam di hadapannya itu. "Gimana lukanya?"
"Sudah membaik, hanya tinggal memar saja dan bekasnya." Liora menjawab dengan senyuman simpul.
"Semoga lekas sembuh."
"Aamiin."
"Oke, karena sudah hampir malam, saya rasa obrolan kita sampai di sini dulu."
Liora mengangguk setuju.
"Terima kasih makan malamnya."
"Hanya ini yang bisa saya suguhkan. Anggap saja sebagai traktiran atas perkenalan kita."
"Lain kali saya ganti, tapi gak di sini."
Tawa kecil tersungging di bibir Liora. "Saya tunggu."
Seakan Liora memberikan lampu hijau, Wafi merasa jalan untuk dirinya terbuka lebar. Tentu saja hatinya senang.
"Mari saya temani ke bawah."
"Gak perlu. Kaki kamu pasti sakit.” Wafi berkata sambil menunjuk kaki Liora yang memakai gips.
“Baiklah kalau begitu. Hati-hati di jalan.”
\=\=\=\=\=
Reiki sudah berusaha mencari keberadaan Sena lewat teman wanita itu. Merasa gusar karena tak mendapatkan informasi apa pun, dia akhirnya menyuruh orang suruhan untuk menemukan selingkuhannya.
"Pokoknya saya mau kalian cari wanita ini secepatnya." Reiki memberi perintah pada dua orang detektif swasta. Memberikan foto serta sedikit informasi tentang Sena yang diketahuinya pada dua pria berpakaian serba hitam yang duduk di hadapan.
"Siap, Pak."
"Jangan sampai orang tua atau mertua saya tau soal ini."
Detektif itu mengangguk.
"Kalau ketemu keberadaannya segera laporkan biar saya susul."
"Baik, kalau begitu kami berangkat sekarang."
"Silahkan."
Kepergian detektif sewaannya, Reiki menghempaskan punggung di sandaran kursi kebesaran. Dia sudah tak sabar untuk segera bertemu dengan Sena. Menanyakan padanya apa yang terjadi antara ia, Liora, dan Milen. Pasti pacarnya itu tahu sesuatu.
Jika dia berhasil mendapatkan satu informasi, hal itu bisa digunakannya sebagai bukti kalau Liora lah yang bersalah. Sebisa mungkin dia harus dua langkah di depan untuk menjebloskan calon mantan istrinya ke dalam jeruji besi agar perselingkuhannya masih dapat ditutupi dan sang mertua tetap menaruh rasa percaya.
"Gue gak mau kalau perusahaan ini sampai di pecah. Kalau perlu perusahaan ini jadi milik gue sepenuhnya." Reiki bergumam sendiri.
Tiba-tiba pintu ruang kerjanya diketuk dari luar.
"Masuk," ujar Reiki.
Sekretarisnya membuka pintu, mempersilahkan Joko, mertua dari sang bos untuk masuk.
Reiki keluar dari balik meja kerjanya. Datang menghampiri ayah dari almarhum istri kedua. "Apa kabar, Pa?"
"Papa baik. Kamu sendiri?" balas Joko.
Mereka duduk di sofa besar yang ada di sana. "Yah, begini lah, Pa. Kalau saya di rumah bawaannya kepikiran dan sedih mulu. Jadi lebih baik menyibukkan diri di kantor meski kadang gak fokus."
"Papa paham. Santai saja! Jangan kamu paksakan kalau memang belum sanggup kembali bekerja."
"Gak papa, Pa."
"Oh, ya, Papa kesini cuma mau bilang kalau nanti malam akan ada penyidik kenalan Papa yang mau datang ke rumah. Sebelum kasus Milen di proses sebaiknya kita bicara dan menjalin hubungan baik dengan penyidik itu."
"Boleh. Nanti dari kantor saya singgah ke rumah."
"Semoga dia bisa membantu kita mendapatkan keadilan atas Milen."
"Aamiin."
"Ya, sudah. Papa cuma mau menyampaikan itu saja. Papa pergi dulu mau ketemu klien."
Reiki mengangguk sambil berdiri untuk mengantar kepergian mertuanya.
"Kamu jangan lupa makan, ya."
"Terima kasih, Papa, sudah mengingatkan."
"Sedih boleh, tapi jangan mengabaikan diri sendiri."
Reiki kembali menganggukan kepala. Dalam hati diakuinya kalau kematian Milen tak menyebabkan luka atau kegalauan sama sekali di hidupnya. Justru tantangan dari sang istri pertamalah yang kini menghantui ketenangan hati dan pikiran. Apalagi soal selingkuhan yang tak kunjung ditemuinya.
\=\=\=\=\=
Dari kantor, Reiki langsung menuju rumah mertuanya. Tiba di sana dia disambut oleh sang mama mertua dengan pelukan penuh sayang. "Gimana kabar menantu Mama?"
"Berusaha lebih baik aja, Ma," jawab Reiki dengan tampang sedih yang dibuatnya.
"Ayo, masuk dulu. Papa dan temannya sudah menunggu di dalam."
Reiki tersenyum simpul. Ditemani Puri, mereka melangkah bersama ke ruang tamu.
"Nah, ini dia menantu kesayangan dan kebanggaan saya datang," ujar Joko. Dia berdiri untuk memperkenalkan Reiki pada polisi kenalannya.
"Rei, kenalkan ini AKP Wafi . Dia merupakan kasat reskrim di polres sini."
Wafi berdiri menyambut uluran tangan suami dari Liora. "Wafi."
"Reiki."
Mereka pun sama-sama duduk di sofa.
"Senang bisa berkenalan dengan, Anda," kata Reiki. "Besar harapan saya, Anda, dapat membantu kami dalam menangani kasus kematian istri saya."
Wafi hanya mengangguk.
"Papa tadi juga sudah jelaskan ke Wafi. Untuk saat ini dia belum bisa melakukan apa-apa karena laporan kita sedang di proses," sela Joko.
"Akan saya usahakan, Om," ujar Wafi.
"Terima kasih, Anda, mau membantu," pinta Reiki.
"Sudah tugas saya."
"Kalau begitu kita beralih ke meja makan dulu," ajak Joko. "Istri saya sudah menyiapkan hidangan yang enak."
Ketiga pria itu sama-sama berdiri dan melangkah ke meja makan. Di sana mereka menyantap hidangan dalam diam sampai dering ponsel Reiki memecah sunyinya suasana.
"Maaf, saya harus angkat telepon penting ini dulu," izin Reiki.
Joko mempersilahkan menantunya meninggalkan meja makan.
"Saya juga izin ke toilet," sambung Wafi.
Joko dan istrinya mengangguk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments