Drama 11

"Kalau begitu saya akan datang ke sana." Sambungan telepon diputus, Wafi keluar dari balik meja kerjanya. Langsung meluncur ke TKP menggunakan mobil range rover miliknya. 

Dua puluh menit perjalanan dia pun tiba di lokasi. Alfin langsung menyambut komandannya di depan pintu. 

"Sudah periksa rekaman CCTV?" tanya Wafi. 

"Sudah, Ndan. Satu hari sebelum kejadian kamera pengawas dimatikan."

"Dimana ruang kontrolnya?"

"Ada di kamar Pak Reiki."

"Oke. Sudah minta keterangan dari ART? Siapa tau mereka menemukan sesuatu saat membersihkan rumah ini."

"Bawahan saya sedang meminta keterangan darinya, Ndan."

"Baik, silahkan teruskan penyelidikan. Saya akan periksa yang lain." 

"Siap, Ndan."

Wafi teringat akan cerita Liora tentang kakinya yang dipukul pakai stik golf. "Apa kalian sempat melihat stik golf?" bertanya pada anak buah Alfin. 

"Sepertinya di ruang kerja, Ndan. Ada di lantai dua tak jauh dari pangkal tangga."

"Terima kasih." Gegas dilangkahkan kaki menaiki anak tangga. Tiba di ruangan yang disebut anak buahnya tadi, Reiki langsung masuk. Mencari keberadaan stik golf. 

Ada satu tas berisikan beberapa stik pemukul bola putih berbintik. Wafi pun memanggil bawahannya. "Saya mau kamu bawa semua stik golf ini dan periksa apakah ada sidik jari disana."

"Siap, Ndan."

Sebagai kepala tim, dia pun ikut menyisir ruangan itu. Ada satu spot di dinding yang catnya tampak masih baru, sedangkan bagian lain sedikit pudar. Seperti bekas pajangan. Karena penasaran dia pun mencari ART yang bertugas. "Fin, tolong bawa ART nya kesini. Saya mau menanyakan sesuatu."

"Baik, Ndan."

IPDA Alfin meminta anak buahnya mengantarkan Bi Idar menghadap komandan. Wanita bertubuh tambun itu terlihat cemas saat dirinya menuju lantai dua. 

"Selamat Pagi," sapa Wafi. "Saya bicara dengan siapa?"

"Panggil saja saya, Bi Idar, Pak."

Wafi tersenyum ramah. "Santai saja, Bik. Saya cuma mau menanyakan sesuatu."

"Apa itu, Pak?"

"Apa Bibik tau ini bekas apa, ya?" menunjuk dinding yang tadi. 

"Ooh, ini bekas cermin hiasan, Pak."

"Lalu sekarang ada di mana?"

"Waktu saya tiba di rumah, ruangan ini sedikit berantakan dan kaca itu pecah. Jadi, saya bersihkan dan buang ke tempat sampah."

"Apa sampahnya sudah diangkut petugas kebersihan?"

"Belum, Pak, soalnya sampah itu saya asingkan dulu. Takut nanti Pak Reiki bertanya siapa tau ada berkas-berkas penting juga yang saya buang."

"Bisa tunjukkan kami di mana letaknya?"

"Mari ikut saya, Pak."

Wafi bersama Alfin turun, mengikuti langkah ART Reiki. Tiba di gudang mereka langsung membongkar bungkus plastik hitam yang ditunjuk Bi Idar. 

"Sepertinya kejadian berlangsung di ruangan tadi. Saya mau kamu periksa ruangan itu lebih lanjut." Wafi memberikan perintah pada Alfin setelah menemukan pecahan cermin yang ada noda darah.

\=\=\=\=\=

Beberapa hari kedepan, Reiki tinggal di rumah orang tuanya. Proses penyidikan TKP masih dilanjutkan sampai pihak polisi mendapatkan keterangan dari para saksi, yaitu Reiki dan Liora. 

Untuk sementara dua orang itu masih berstatuskan saksi atas kasus kematian Milen. Besok adalah hari dimana Reiki memenuhi panggilan untuk memberikan keterangannya. 

Malam ini dia sudah memantapkan sebuah cerita yang akan dikisahkannya pada penyidik.

"Kamu yakin bisa membuat Liora dinyatakan bersalah, Rei?" tanya sang Mama. 

"Yakin sekali, Ma, karena aku punya saksi kunci," jawab Reiki. 

"Siapa?"

"Mama gak perlu tau. Biarkan ini jadi urusanku. Memangnya kenapa Mama mau sekali Liora masuk penjara?"

"Dari awal kalian kenal Mama emang gak suka sama dia dan sekarang menantu kesayangan Mama jadi meninggal. Mama yakin sekali kalau Liora yang membunuhnya."

Reiki menggenggam erat kedua tangan sang ibu sambil berkata, "Pokoknya Mama tenang aja. Aku pasti akan memenangkan persidangan."

"Kalau bisa, buat dia mendapatkan hukuman yang berat."

"Aku usahakan."

Di tempat lain, Liora sedang sibuk melayani pelanggan cafenya. Jujur, dalam hatinya dia merasa takut kalau langkah yang diambil nanti malah akan menjadi bumerang. Namun, tak ada pilihan lain selain dia harus berani mengambil resiko. 

Wanita cerdas itu pun sudah menyiapkan cerita yang akan dibagikannya pada penyidik nanti. Sedang terpaku di meja kasir, Liora di kagetkan oleh dering ponselnya. Tampak di layar kalau Wafi menghubunginya. 

Tanpa ragu, panggilan itu langsung diangkat. "Hallo."

"Hai, lagi sibuk gak?"

"Hhmm gak terlalu sih. Kenapa?"

"Gak, cuma mau tau kabar kamu aja."

"Ooh, baik, kok."

"Kakinya gimana?"

"Makin membaik."

"Syukurlah. Oh, ya, tadi pagi saya dan anggota sudah melakukan penyidikan TKP."

"Hhmm."

"Kamu gak mau tanya sesuatu?"

"Kayaknya gak pantas deh, saya tanyakan persoalan itu padahal saya terlibat dalam kasus."

Wafi mengangguk-anggukkan kepala. Awalnya dia hanya ingin menguji wanita itu dan sepertinya Liora lulus akan penilaiannya. 

Di sisi lain, Liora sangat ingin sekali tau akan perkembangan penyidikan. Namun, dia tak mau gegabah dan salah jalan. Dia harus berpikir dua sampai tiga langkah di depan orang-orang yang akan dihadapinya. Termasuk Wafi. Ya, dari awal sikap baik yang ditujunkan hanya semata-mata untuk menarik rasa simpati pria itu. 

"Oke, kalau begitu sampai ketemu di kantor. Saya akan mengajukan belasan pertanyaan. Kamu harus siap-siap."

"Pasti dan aku sudah tidak sabar rasanya."

"Hahaha, kamu benar-benar percaya diri sekali."

"Kalau gak bersalah buat apa khawatir."

"Benar. Saya tutup teleponnya. Sebentar lagi istirahat,ya."

"Iya, ini juga pelanggan sudah pada pulang. Bye."

"Daa."

\=\=\=\=\=

Jam sembilan pagi, Reiki didampingi kuasa hukumnya mendatangi kantor Polres Metro Jakarta Pusat. Tiba di sana dia langsung di ajak untuk masuk ke ruang penyidikan. Duduk berhadapan dengan AKP Wafi Mahawira. 

"Selamat pagi, Pak Reiki," sapa Wafi.

"Pagi, Pak. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk saya."

"Saya hanya melaksanakan tugas. Apalagi kasus kematian istri Anda ini tampak sangat menarik untuk saya temukan siapa pembunuhnya."

Reiki tertawa ringan. 

"Oke, kalau begitu kita mulai?"

"Oh, ya, silahkan. Saya siap memberikan keterangan." Reiki menjawab dengan penuh keyakinan. 

"Kenapa, Anda sangat yakin kalau saudara Liora lah yang sudah membunuh istri Anda sedangkan tak ada bukti nyata yang bisa Anda berikan." Wafi mulai mengajukan pertanyaan pertama. 

"Saya boleh cerita sedikit dari awal?"

"Silahkan!"

"Malam itu saya lagi sendirian di rumah karena istri saya sedang di Bali bersama orang tuanya. Tiba-tiba Liora datang membawa surat gugatan cerai untuk saya tanda tangani."

"Jadi saudara Liora ini istri pertama Anda?"

Reiki mengangguk.

"Oke, lanjutkan."

"Ya, sudah, saya bilang tunggu sebentar karena malam itu saya sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan kantor di ruang kerja. Tanpa saya ketahui istri kedua saya pulang bersama satu orang temannya. Karena Milen salah paham dikiranya Liora datang buat menggoda saya, dia langsung marah, Pak. Mereka berdua berantem."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!