Tanganku perih. Ternyata berdarah karena gesekan dari sabuk Riyan. Saat itu pintu terbuka. Riyan kembali menguncinya dan memasukkannya dalam celana. Dia membawa obat merah, handuk dan baskom.
"Lepaskan aku!!! Lepaskan aku bodoh!!! Ini penculikan. Aku bisa laporin kamu. Kamu penjahat!!!" kataku. Dia duduk diam mendengarkan aku yang berteriak teriak sampai aku capek sendiri.
Akhirnya aku diam dan menangis. Dia mendekat dengan baskom dan obat merah. Melepaskan ikatan di tanganku. Aku menamparnya cukup keras. Dia diam saja di depanku. Menerima tamparanku begitu saja. Mengambil tanganku yang terluka dan membersihkannya dengan handuk basah yang dia bawa. Aku menarik tanganku. Gak sudi di sentuhnya. Dia kembali mengambil tanganku dengan lembut. Aku menariknya lagi dan mau menamparnya lagi.
Kali ini dia menangkis tamparanku. Dan melempar handuk basah itu tepat ke mukaku.
"Terserah!!! Obati sendiri lukamu. Kalau kamu masih mau teriak teriak sepuasmu. Tak ada yang mendengar teriakanmu disini. Mau laporkan cepat laporkan!! Kita lihat laporanmu akan terproses atau tidak. Itu kalau kau bisa keluar dari sini hidup hidup dengan se izinku!" teriaknya tepat di depan mukaku. Kata katanya menakutkan. Aku tahu aku terancam disini. Dia itu kan beneran penjahat. Aku diam. Dia kembali mengobati tanganku yang ternyata terluka cukup dalam. Tertancap gespernya yang lumayan runcing. Untung punggung tangan, bukan sebaliknya yang artinya tepat di urat nadi.
Dia mengobatinya cukup lembut. Saat obat merah di teteskan aku mengaduh.
"Tahan sebentar, maaf menyakitimu," katanya sangat lembut. Lukaku di tutup kassa dan plester. Sekarang baru terasa cenut cenutnya. Tadi waktu aku teriak teriak malah tidak terasa apa apa.
Ia mengambil minum di kulkas kecil yang ada di pojok kamar. Ada macam macam minuman botol yang asing bagiku. Dia mengambil air putih botol dan menyerahkannya padaku.
Aku meminumnya. Dia duduk di sampingku. Mengelus kepalaku dengan sayang. Aku menangkisnya.
"Aku jijik sama kamu!! Aku mau pulang. Antar aku pulang dan jangan datang lagi. Aku gak mau lihat wajah kamu!!" kataku dengan nada tinggi marah.
"Bukankah kau sudah membalasnya? Mencium Re di depan mataku sendiri. Kalau begitu kau sama menjijikkan dari aku!!!" katanya tak kalah sengit.
"Aku tidak semenjijikkan kamu. Aku hanya membalas apa yang aku lihat. Kau lebih menjijikan dari itu. Kau mencium, tidur, entah apa lagi, entah dengan siapa saja!!" kataku gak mau kalah.
"Kau cemburu? Kau juga mau aku cium dan aku tiduri!! Kau tidak keberatan Sayang? Karena aku sama sekali tak keberatan!! Bahkan jika harus menyekapmu disini seumur hidup. Aku tidak keberatan. Kau mau?" katanya penuh nada ancaman. Matanya berubah mengerikan. Aku takut. Aku menggelengkan kepala. Aku diam tanganku sudah berkeringat.
Dia bercerita kalau wanita itu teman duetnya saja. Karena cap play boy pada dirinya, banyak wanita wanita yang lebih terbuka bahkan kontak fisik seperti itu. Dia minta maaf karena aku melihatnya. Aku hanya senyum kecut menanggapi.
Dia ganti bertanya kenapa aku kencan dengan Re. Aku menjelaskan kalau aku hanya berburu novel di loakan. Lupa waktu dan Re mengajakku ketempat acara.
"Tau tau disana ada play boy ditempeli Wewe," kataku mengakhiri kisah dengan sebal. Dia tersenyum
"Iya yang cantik cuma kamu. Yang lain Wewe," katanya santai sambil merengkuhku dalam pelukannya. Kami setengah berbaring di ranjang dengan aku berada dipelukannya.
Aku bertanya apa ini rumahnya. Kenapa menyeramkan sekali sejak tadi aku berteriak tak ada yang datang menolong. Dia bilang para pekerja lebih takut dengan ayahnya dan di pecat dari pada menolong gadis yang entah dibawa dari mana.
"Kau sering membawa gadis kesini? Kemudian kau tiduri di sini?" tanyaku melepaskan pelukannya dan duduk tegak. Rasanya pingin mencakar mukanya.
"Kamu lucu kalau sedang cemburu," jawabnya sambil tersenyum.
"Aku serius!! Jadi jawab!!" kataku kembali ketus. Tiba tiba dia menyergap tubuhku. Membantingku di kasur. Aku tertindih dibawah tubuhnya. Aku meronta tapi tak bisa lepas. Kakinya menindih pahaku dan mengunci kakiku dengan sempurna. Tangannya memegangi kedua tanganku diatas kepalaku.
"Dari tadi kau bicara tidur tidur, kau ingin ditiduri disini hemmm.... kau ingin merasakannya?" tanyanya sambil terus maju di depan wajahku. Aku panik dan memalingkan wajahku. Dia mengejar bibirku dan menciumku dengan paksa. Lidahnya menerobos masuk membuatku...... entahlah..... aku sulit mengartikannya...... ciumannya sama dengan yang dulu di studio. tapi yang ini lebih.... lebih meminta ditanggapi.
Tiba tiba suara ketukan terdengar.
"Yan, Mami ganggu gak? Kata satpam kamu bawa cewek masuk? Semua baik baik saja?" tanya seorang wanita di balik pintu.
"Mami ganggu Mii. Dia cuma temanku," jawabnya masih menindihku. Tak ada suara lagi. Dia berguling disampingku.
"Maaf, aku gak bisa nahan diri. Apalagi di kamar seperti ini. Ayo turun. Aku antar pulang. Oh iya sebagai informasi tambahan aku gak pernah ngajak cewek cewek itu kesini. Apa aku mengajak cewek lain saat fotomu terpasang disini?" katanya sambil menunjuk bingkai kecil tempat foto kami. Masuk akal. Menurutku masuk akal sekali alasannya. Entah kalau aku yang mudah dibodohi.
Aku ngobrol basa basi dengan Mami. Bukan mirip mucikari di tv yang biasanya wanita gendut dengan rambut ikal. Dia wanita setengah baya lansing dengan rambut lurus coklat terawat. Dia seperti tak ingin mengenalku lebih dalam, jadi aku permisi dengan mudah. Tidak seperti orang tua yang ingin mengenal teman anaknya lebih lanjut. Apalagi yang habis dibawa kekamar dengan teriak teriak. Tapi sebelum pergi dia berkata pada Riyan.
"Kau hebat juga Yan, bisa tahan disamping perawan," sambil tertawa. Riyan mengacungkan jari tengahnya. Si mami bukan marah, tapi tertawa. Keluarga yang....... aneh. Aku terheran heran sambil mengikuti Riyan kembali ke garasi.
Dimobil aku menyuruhnya untuk berhenti menjadi anak buah Mami. Laporkan saja Mami ke kantor polisi. Bilang kalau dia dipaksa. Beres....
"Lalu aku akan membiarkan satu satunya orang yang peduli denganku di penjara? Lagi pula aku juga pelaku. Kalau mami tertangkap, aku juga di penjara. Hukum akan berlaku seperti biasa karena aku juga sudah 18 tahun keatas. Yang artinya aku melakukan apapun dengan sadar," katanya tetap mengelak berhenti.
"Kita baru naik kelas dua Yan. Masih anak anak," sanggaku.
"Kau lupa aku tiga tahun lebih tua dari pada kamu?" sanggahnya juga. Benar juga. Umurnya kini sudah 17 tahun lebih. Aku diam. Sebenarnya mungkin bukan karena dia gak bisa lepas. Menurutku dia gak mau lepas. Dia terlanjur nyaman dengan lingkaran pergaulan seperti itu.
"Mobil baru?" tanyaku mengalihkan topik setelah lama hening. Pertengakaran tentang berhenti dan tidak selalu berakhir keras kepala.
"Baguskan. Salah satu fasilitas menjadi anak Mami yang paling rajin," katanya sombong. Aku hanya mencibir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
MAY.s
Ya ampun... no komen dah🤐
2023-03-08
1