"Kamu manut ya Nduk sama Ayah, jangan ketemu Riyan lagi. Tadinya Ayahmu langsung mau ngirim kamu kerumah bulik di Bogor, tapi Ibu gak tega. Ibu percaya kamu. Kamu pasti gak akan nemuin dia lagi. Dia orang jahat," nasehat ibu padaku. Bahkan sebelum orang tuaku tahu aku sudah tahu duluan. Tapi dia tidak sejahat yang mereka fikirkan. Dia selalu manis padaku. Akan tetapi aku manggut manggut juga. Ancaman ayah kali ini nyata.
Sekarang setiap hari ayah mengantar jemputku. Aku juga tidak diberikan hp lagi. Hidupku sepi. Aku sudah biasa melihat senyumnya. Mendengar suaranya. Aku kangen aroma parfumnya. Apa dia baik baik saja? Apa Simpel berhasil di Jakarta? Apa kami benar tidak akan bertemu lagi. Hanya gelang perak ini yang tersisa darinya. Aku tak pernah bilang kalau gelang ini pemberian Riyan. Kalau bilang, pasti sudah diambil ayah duluan.
Berkali kali ibu dan ayah menjejaliku dengan nasehat. Mereka bilang sayang padaku. Tak ingin anaknya hancur karena Riyan. Mereka melakukan ini karena sayang. Mereka bilang Riyan penjahat. Aku tampak biasa saja, sebenarnya menangis dalam diam. Setiap kali mereka mewanti wanti agar tidak percaya apa yang Riyan katakan. Aku justru ingin membelanya dalam hati. Aku tahu Riyan tak seburuk itu,tapi aku takut dengan orang tuaku. Keputusannya kali ini mutlak. Tidak ada Riyan lagi dihidupku. Padahal selama ini dia seperti sumber hidupku. Huft.... aku dipaksa patah hati. Menangis dihadapan mereka saja gak berani.
***
Saat itu pelajaran olah raga. Kami terbiasa ke lapangan kota yang tak jauh dari sekolah. Hanya berjalan sekitar 5 menit melewati pinggiran jalan besar. Saat itu guru menyuruh kami melakukan sepak bola. Pernah lihat sepak bola wanita tidak profesional???? Silahkan lihat kalau butuh hiburan.
Kami tidak mengoper bola. Tapi semua orang ingin menguasai dan menendang bola dengan egoisnya. Bola jadi di kerubung banyak orang. Mirip maling kena masa. Tendang sana sini. Guru sudah teriak teriak di pinggir lapangan untuk mengoper bola, tapi kami tidak peduli. Kami terus mengerubungi bola sambil menendang. Menghalalkan segala cara agar bisa menguasai bola. Cubit pinggang, jambak, tarik baju, tarik kolor dan yang paling parah......
"Aw, su suku!! su suku!!" jerit Disa teman sekelasku. Sampai memegang pa yu da ra lawan agar dia menyingkir pun dilakukan. Untung kami sekelas perempuan semua.
Guru sudah memukul mukulkan buku absen di jidatnya. Bosen menyuruh bocah bocah wanitanya mengoper.
"Ajur!!! Ajur!!!" serunya gemas.
Separuh dari siswa yang tidak ikut tim bola tertawa ngakak. Aku juga tertawa ngakak. Kali ini aku jadi kiper. Tapi bisa lesehan duduk duduk. Bola sama sekali tak mengarah kegawang. Statik di tengah di hajar teman temanku. Sampai rupa tidak terlihat. Kiper di gawang lawan depan sana malah sudah tidak di tempat. Dia ikut gemes dan mengerubungi bola. Benar kata pak guru olah raga. AJURRR!!!!
Saat asik melihat temanku menghajar bola, aku melihat mobil Riyan datang. Menepi di ujung lapangan. Tidak terlalu yakin itu mobilnya. Akan tetapi setelah dia keluar dan duduk di depan mobil, rasanya tawaku memudar. Aku baru sadar ini pertamakalinya aku tertawa lepas, setelah 'putus' darinya. Aku langsung ingin menubruknya sangking kangen. Ku tahan sebisaku.
Guru meniup peluit panjang. Artinya kami berganti posisi. Yang tadi main sekarang duduk menonton. Aku duduk di lapangan beralaskan rumput. Permainan bola kami masih menggelikan, tapi tidak lagi menarik untukku. Kami saling bertukar pandangan. Dan diaaa... merokok. Sejak kapan dia merokok?
Perhatianku terputus saat temanku yang main berteriak.
"Pak, saya gak mau main, bo ko ng dan su su saya demek!!" kata Septy. Kami pun tertawa terbahak bahak. Si pak guru mengomel.
"Makanya di oper!!! Di oper!!! Kerjasama tim! Jangan semua mau nendang bola. Jangan dijadikan ajang ny abu li teman!!!" guru sudah gemes bener.
Tawa kembali meledak saat itu. Kulihat Riyan juga tertawa.
"Sudah sudah. Bubar! Kembali ke kelas!" perintah pak guru. Sepertinya benar benar pusing dengan sepak bola kami. Kami pun bergegas meninggalkan lapangan. Tika mendekat dan berbisik.
"Dia mau bicara sama kamu," mengarahkan pandangan pada Riyan.
Aku menepi dan menghampiri mobilnya. Tahu aku datang dia masuk mobil menungguku. Aku membuka pintu mobil dengan perasaan berdebar. Aku.....tahu artinya rindu..... Aku menubruk tubuhnya, kupeluk seerat yang aku bisa. Sepertinya dia juga sama. Kami berpelukan cukup lama.
"Olahragamu cukup menghibur. Ini pertama kali aku tertawa setelah jauh darimu," kata Riyan sambil melihat wajahku.
"Aku juga," jawabku. Airmata sudah banjir di mataku. Membuat tenggorokanku tercekat tak sanggup berkata kata. Dia mengeluarkan rokok dan menyulutnya. Membuka sedikit jendela mobil.
"Sejak kapan kamu merokok? Kamu bolos sekolah?" tanyaku. Aku menyadari dia memakai kaos oblong dongker dan celana jeans robek robek. Ada jenggot dan kumis tipis yang awut awutan. Aku baru ini melihat kumisnya. Biasanya dia tampil klimis dan wangi.
"Aku gak bisa duduk diam mendengar guru ngomong di depan kelas, sedang pikiranku kemana mana," katanya.
"Lalu kenapa merokok?..."
"Dengar Put, yang akan ku katakan ini lebih penting dari rokok," selanya.
"Aku tahu ayahmu sangat marah padaku. Aku tahu yang akan kukatakan ini jahat. Sejahat aku penjahatnya. Sebenarnya orang tua kita saling kenal. Harusnya ini mempermudah hubungan kita. Tapi aku dan ayahku bukan orang yang tepat untuk di jadikan tambahan kerabat. Yang terjadi malah seperti ini," katanya sambil menghendikkan bahu.
"Tapi... maukah kamu pergi denganku. Pergi denganku selamanya. Meninggalkan semua orang yang menentang kita. Kita akan hidup dalam perlindungan ayahku. Aku yakin sulit di capai semua orang termasuk ayahmu," lanjutnya.
Aku mengerutkan kening. Mencerna satu satu ucapannya dengan teliti.
"Kau.... ingin mengajakku kabur dari rumah? Kemudian tinggal bersamamu?" tanyaku meyakinkan semua yang kudengar. Dia mengangguk.
"Aku gak akan bikin kamu sedih," katanya mantap. Aku bengong. Bertanya pada diri sendiri apa ini yang aku mau? Tidak, tidak aku tidak mau. Kabur berarti meninggalkan orang tua, kakak kakakku, teman temanku, dan sekolahku. Akan jadi apa aku? Sekolah setingkat SMK saja tidak tamat???
"Kau hanya perlu bilang 'iya'. Biar aku yang mengatur semuanya," katanya tidak sabar melihatku bengong.
"Apa ada jalan lain?" tanyaku. Dia menggeleng.
"Jalan lain misalnya kita back street sampai lulus. Lalu kita bersama setelah dewasa. Saat kita mandiri bisa cari uang sendiri, kita bisa menentukan mau apa kita kan? Kita bisa menunggu setahun dua tahun lagi. Aku juga belum lulus. Aku janji cepat bekerja dan keluar dari rumah mengikutimu," kataku.
"Kau juga tidak harus menjadi ayahmu kan. Kau bisa berkarir dengan Simpel. Aku tahu kau akan jadi musisi yang hebat," kataku meyakinkan Riyan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
MAY.s
Yaolo.... Murid gk ada akhlak 🤣🤣🤣
2023-03-14
1
MAY.s
🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2023-03-14
1