Hasil pencocokan DNA antara Andre dan jasad tak dikenal itu sudah keluar. Ternyata benar, DNA mereka cocok dan jasad itu sudah dipastikan adalah Cecilia, adik perempuan Andre yang hilang.
Beberapa fakta tentang Cecilia mengejutkan Andre, karena hasil autopsi menyatakan kalau gadis itu sedang hamil delapan minggu. Mendengar hal tersebut darah seorang kakak terasa mendidih, ia merasa gagal melindungi adik satu-satunya itu.
"Seharusnya aku tidak membiarkan dia berpacaran dengan bajingan dari hotel Artha itu!"
Andre memukul-mukul tembok rumah sakit sampai buku-buku tangannya memerah dan Faisal berusaha keras menenangkan amarah pria itu.
"Aku yakin, pasti Valentino Arthasena adalah pelakunya!" Andre terus saja berteriak. Masih dengan amarah yang meledak-ledak, ia keluar menuju tempat parkir dan mengendarai motornya dengan kencang menuju kediaman Arthasena, tanpa bisa Faisal cegah.
Hujan mengguyur kota Manggala siang ini, seolah langit mengerti kesedihan yang sedang di rasakan oleh Andre. Gerbang rumah Arthasena terbuka tepat ketika dia tiba di sana, mini cooper milik Valen tampak keluar dari rumah tersebut. Andre kembali mengendarai motornya dan mengikuti mobil itu sampai berhenti di sebuah butik bridal.
Valen keluar dari mobil dan masuk ke butik khusus pakaian pengantin itu, sementara Andre tidak perduli tubuhnya yang basah kuyup, ia menerobos masuk ke dalam butik mengikuti Valen. Tanpa basa-basi, ia mendaratkan satu pukulan ke wajah tampan mantan kekasih Cecilia ini.
"B*****t! Lu yang bunuh adik gue, 'kan?!" teriaknya sambil melayangkan pukulan bertubi-tubi. "Gue udah curiga sejak dia hilang!!"
Tidak terima dihajar sedemikian rupa,Valen membalas pukulan Andre. Salah seorang pegawai butik menghubungi polisi dan melaporkan kejadian ini, hingga tak lama kemudian mobil patroli polisi datang dan menangkap Andre.
Akhirnya Andre mendapat putusan penahanan selama 3 bulan. Dia pun tidak bisa menghadiri acara pemakaman adik semata wayangnya yang sangat ia sayangi.
3 bulan kemudian.
Luka akan kematian sang adik masih ia rasakan, hari ini — masa penahanannya sudah berakhir dan dia akan bebas. Hal pertama yang akan ia lakukan adalah mengunjungi makam Cecilia, lalu mencari bajingan yang hidup tenang setelah membunuh adiknya itu.
Andre menghirup udara luar yang segar dalam-dalam, ia berjalan menuju halte bus yang menuju ke daerah Duampanua. Motornya ia titipkan kepada sahabat lamanya yang tinggal di daerah tersebut, sebuah rencana sudah ia susun sejak dirinya masih di dalam sel. Nyawa diganti nyawa, itu yang tertanam di dalam hati dan pikiran Andre saat ini.
"Bro, kamu udah bebas?" tanya seorang pria yang wajahnya dipenuhi cambang ketika Andre tiba di tempat tujuan.
Andre tersenyum dan memeluk pria tadi. "Gue mau ambil motor gue."
"Mau ke makam Cecil?"
"Rencananya seperti itu ...." jawab Andre mengambang.
Pria tadi melemparkan sebuah kunci motor pada Andre. "Lupakan dendam kamu, hiduplah dengan baik demi Cecil, Bro."
Senyum sinis tersungging di wajah Andre, setelah berpamitan — ia mengendarai motornya menuju makam Cecilia. Sebelumnya Andre terlebih dulu singgah untuk membeli seikat bunga daisy, bunga kesukaan Cecilia semasa hidup, ia meletakkan bunga itu di atas pusara adiknya.
"Gue benar-benar sendirian sekarang ... lu kenapa tega ninggalin gue, Sil?"
Gemeretak gigi Andre mengisyaratkan kesedihan yang dalam, cukup lama ia berada di depan makam Cecilia. Sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke rumah.
Rumah sederhana itu sudah lama ia tinggalkan, debu pun sudah lumayan tebal di perabotnya yang minim. Jika saja Cecilia masih hidup, maka dia akan mengomel sepanjang hari.
Andre langsung mandi dan mengganti bajunya, ia mulai menata kembali barang-barang yang berantakan itu. Membersihkan debunya seperti yang biasa Cecilia lakukan, melihat foto mereka berdua yang terpajang di dinding, hati Andre perih.
Dendam di dalam hatinya tidak akan pernah padam sampai Valen mendapat hukuman yang setimpal. Tapi dia juga tidak ingin mengotori tangannya lagi dengan darah binatang seperti Valen.
...----------------...
Rush hitam milik Citra menyusuri jalanan di kawasan Sabang, ia mendapat informasi jika Johan sering mangkal di warkop sekitar sini. Wilayah ini adalah wilayah yang sering ramai pelanggan ojek online, karena kawasan Sabang berada di jantung kota Manggala dan sangat ramai.
Sebuah warkop menarik perhatian Citra, beberapa motor terparkir di depannya. Ia berhenti di situ dan turun, dan ketika melihat Citra, salah satu dari mereka mencoba melarikan diri — orang itu adalah Johan.
"Pak Johan, berhenti dan jangan bergerak!" perintah Citra membuat langkah Johan menyurut, dia pun berbalik dan menoleh ke arah Citra.
"Kenapa Anda lari?"
Johan tertunduk dan kembali duduk di kursinya tadi. Dia tersenyum kecut, wajahnya menyiratkan kepasrahan. "Cepat atau lambat pasti saya akan ditemukan, entah oleh kepolisian atau pun pria gila yang menyebut dirinya tangan Tuhan itu ...." Ia menenggelamkan wajahnya di atas meja.
"Pria yang menyebut dirinya tangan Tuhan?"
Johan memandang Citra dengan tatapan memelas, kemudian mengangguk lemah.
"Dia yang meminta saya untuk menyewa sebuah mobil tipe SUV, karena saya tidak memiliki kenalan rental mobil yang mau menyewakan dengan lepas kunci, maka saya meminta tolong Han, teman sesama ojek online ...." Johan menggantung penjelasannya.
"Kebetulan dia memiliki kenalan yang punya usaha rental mobil. Sehingga bisa menyewa mobil tersebut tanpa sopir ... apalagi saya tahu pasti jika Han sedang butuh uang untuk membayar hutang judinya," Lanjut Johan menjelaskan.
"Anda pernah bertemu orang itu?" tanya Citra lagi. "Bagaimana Anda bisa mengenalnya?"
"Saya hanya menulis tentang kemarahan saya pada Pengacara Kinanti di sosial media. Seorang dengan akun Son of God, meminta saya mengunjungi sebuah situs ... God's Hand. Situs itu tempat orang-orang putus asa saling bertukar cerita ...."
"Lantas?"
"Pria tangan Tuhan itu mengatakan akan membalaskan dendam saya, jika saya mau setia dan mengikuti semua perintahnya."
"Anda pernah melihat orang tersebut?" Citra mengulangi pertanyaan yang tadi sudah ia ajukan, tapi pria di hadapannya itu hanya membisu dan menatap kosong keluar cafe.
Sebenarnya Johan saat itu, tidak sengaja melihat pria tersebut masuk ke hotel Blue Moon, ketika ia diminta mengambil mobil sewaan mereka, itu karena dia terlalu cepat datang dari jam perjanjian.
Ia menunggu di tempat parkir hotel ketika Suzuki XL7 yang disewa Han itu memasuki pelataran parkir dan dari tempatnya menunggu, walau tidak terlalu jelas, tapi Johan bisa melihat jika dia adalah seorang pria yang memiliki tinggi sekitar seratus tujuh puluh sentimeter, mengenakan topi baseball NYC hitam dan busana serba hitam turun itu — dari mobil. Wajahnya tidak terlihat karena tertutup masker.
"Pak Johan!" tegur Citra melihat calon tersangkanya itu melamun.
"Ti—tidak, saya tidak pernah bertemu dengannya, kunci mobil tersebut ia titipkan pada resepsionis, beserta amplop berisi uang ...."
Johan berbohong pada Citra.
"Jika dia menitipkan pada resepsionis, pasti dia mengatakan nomer kamar tempat ia menginap, bukan?" Citra terus mendesak Johan.
"317. Ya, kamar 317 ... saya masih menyimpan nomer yang ia gunakan untuk mengirimi saya pesan dan memberi tahu nomer kamarnya." Tangan Johan gemetar, jarinya sibuk menggeser-geser layar ponsel. Tak lama kemudian ia menunjukkan sebuah pesan pada Citra.
'Kunci mobil saya titip di meja resepsionis dengan amplop putih berisi uang. Katakan saja, kamu akan mengambil barang tamu kamar 317.'
Citra mencoba menghubungi nomer yang mengirim pesan tersebut, walau ia tahu itu sia-sia, karena sudah dipastikan jika itu adalah nomer sekali pakai.
"Saya harap — Anda jangan melarikan diri dari polisi, atau Anda akan menjadi tersangka dan dituduh sebagai kaki tangan seorang pembunuh!" ancam Citra. "Jika mengingat atau mengetahui sesuatu, hubungi saya! Ini kartu nama saya,"
Johan menerima kartu nama yang diulurkan Citra. Pria itu memandang punggung polisi wanita tersebut sampai menghilang di balik pintu warkop, dari jauh sebuah civic hitam sedang memperhatikan gerak-gerik mereka.
"Sal, coba kamu ke hotel Blue Moon di jalan Cakrawala. Temukan data tamu pada tanggal dua belas hingga dua puluh tujuh Desember!" perintah Citra pada Faisal begitu sampai di kantor.
"Siap, Ndan!"
Faisal bersama beberapa anggotanya langsung meluncur ke tempat yang diperintahkan Citra, meskipun ada sedikit tanda tanya. Apakah komandan Citra diam-diam menemukan petunjuk baru lagi?
Tidak butuh waktu yang lama, karena manajer hotel tersebut adalah kawan lamanya — Faisal dengan mudah mendapat data tersebut, bahkan beserta dengan rekaman CCTV. Ia pun memutuskan untuk segera kembali ke kantor dan menyerahkan berkas itu kepada komandannya.
Ponsel di saku Faisal tiba-tiba bergetar saat akan masuk ke dalam mobil.
"Halo, Pak Faisal? Saya Johan. Saya ingat ciri-ciri pria yang menyuruh saya menyewa SUV itu," suara Johan terdengar dari seberang telepon.
"Anda sudah mengatakan ini kepada Iptu Citra?"
"Saya sudah menghubunginya, tapi tidak dijawab. Karena saya berinisiatif menghubungi Anda," jawab Johan. "Namun saya meminta perlindungan saksi, karena saya merasa terancam saat ini!" tegasnya.
"Baik, kami akan mengurus semua. Dimana kita bisa bertemu dan kapan?" tanya Faisal.
"Besok, di warkop triangle jalan Garuda jam setengah delapan malam,"
Faisal mencatat waktu perjanjian mereka. Sambungan telepon itu pun terputus. Mobil avanza-nya pun meluncur meninggalkan hotel Blue Moon menuju ke kantor.
...----------------...
Johan menggantungkan helm di spion motor, wajahnya terlihat sedih ketika melihat serombongan mahasiswi lewat. Seharusnya ia bisa melihat anak gadis satu-satunya itu menjadi mahasiswi lalu sarjana, ia menengadah ke langit.
"Tuhan, begitu sering Kau mengatakan tentang keadilan, namun kenapa Kau begitu kejam kepada anakMu!?" teriaknya.
Beberapa orang yang lewat di dekat benteng itu menoleh ke arahnya, Johan memilih tempat nongkrong anak muda sore ini, karena banyak cafe di sekitar sini yang menjadi mitra perusahaan ojek online tempatnya bekerja. Dia harus capai target sebelum pukul delapan malam hari ini.
Ia ingat janji temu dengan Faisal, paling tidak dia bisa memperoleh perlindungan saksi dan bisa kembali ke rumahnya tanpa takut.
Sebuah orderan makanan masuk ke aplikasi Johan. Dengan sigap ia mengarahkan motornya ke cafe tempat customer memesan makanannya, cafe tersebut tidak jauh, namun titik pengantarannya lumayan jauh di kawasan pinggiran kota Manggala.
Motor Johan pun melaju agak kencang menuju ke titik pengantaran. Matahari sudah mulai kembali ke peraduannya, entah sudah berapa kali ia berputar di lingkungan yang sama, hanya saja — titik sang customer tidak dia temukan. Johan menepi sebentar untuk menghubungi nomer pemesan.
"Nomer yang Anda tuju sedang tidak aktif!"
Beberapa kali jawaban yang sama ia peroleh. Mungkin ini kerjaan anak muda yang iseng.
"Sial!" maki Johan. Ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu pertemuan dengan Ipda Faisal tinggal dua jam lagi. Ketika Johan akan menyalakan mesin motornya, lampu sebuah mobil menyorot matanya hingga silau.
Johan urung menyalakan mesin motornya, ia menghampiri mobil itu dengan emosi.
"Kurang ajar! Turun kamu!" tantang Johan. "Dasar manusia tidak tahu tata krama!" Ia terus saja memaki pengemudi mobil yang tak juga kunjung turun.
Dengan kasar Johan menggedor-gedor kaca jendela mobil. Sang pengemudi menurunkan kaca mobilnya. Jantung Johan seakan berhenti saat itu, seorang pria dengan topi baseball NYC hitam terlihat saat kaca mobil terbuka.
Pengemudi civic itu menengadah dan menatap tajam ke arah Johan. Seringai mengerikan serta aura haus darah terpancar jelas dari orang itu.
"Ka—kau ...!"
Johan lari menuju motornya. Ia berusaha menyalakan mesin motor yang tidak kunjung mau menyala itu, sementara lampu mobil civic hitam tadi berkedip-kedip seolah mengejek Johan.
Karena motornya tidak kunjung menyala, Johan berlari mencari pertolongan, tapi — lingkungan ini adalah kompleks yang baru saja dikembangkan. Tidak ada satu orang penghuni pun yang terlihat di wilayah ini. Johan menemukan bangunan rumah yang belum jadi dan bersembunyi di sana. Dari kejauhan ia bisa mendengar seseorang sedang bersiul dengan sebuah melodi.
"Tetapi orang fasik akan dipunahkan dari tanah itu, dan pengkhianat akan dibuang dari situ. Amsal 2:22," Terdengar suara serak sedang menggumamkan kutipan ayat Al-kitab tentang pengkhianat.
Tubuh Johan lelah karena terus-menerus berlari. Suara siulan orang itu terdengar lagi, kali ini semakin mendekat. Tiba-tiba ....
"Tuhan akan menghukum seorang pengkhianat, bukan begitu Johan?" Pria berbaju hitam itu muncul di hadapan Johan dengan seringai mengejek.
Tempat persembunyiannya ditemukan, Johan yakin pria itu adalah orang yang ia lihat di pelataran parkir Blue Moon. Dengan mengumpulkan sedikit tenaga, ia meraih balok yang ada di dekatnya kemudian memukul kepala orang itu dan mencoba melumpuhkan pria gila ini.
Darah mengalir di pelipis orang itu, tangannya yang tertutup sarung tangan kulit hitam itu menyeka darah tersebut. Ia tertawa sembari menjilat darah yang ada di tangannya itu. Orang ini benar-benar tidak waras, Johan mundur selangkah demi selangkah, ia merasa sudah salah berurusan dengan pria itu.
"Bukankah kamu sudah berkhianat. Dimana polisi yang menjadi sekutumu itu?" tanya pria itu.
Johan ketakutan, ketika cahaya bulan menerpa wajah pria misterius ini, ia seperti tidak percaya pada penglihatannya.
"Le—lepaskan aku! A—aku tidak akan mengatakan a—apa pun pada mereka," pinta Johan ketakutan, ia tidak tahu jika dia sudah mengumpankan diri kepada iblis.
"Sekali berkhianat, seorang pengkhianat tidak akan pernah berubah. Karenanya, Tuhan akan membuang dan memusnahkan pengkhianat ...." Ia berbisik di telinga Johan dengan suara parau.
"Bukankah ini pengkhianatanmu yang kesekian kali? Kau sudah terbiasa berkhianat, bahkan anak tak berdosa pun kau khianati ... apa kau pikir dirimu masih pantas untuk hidup!?" Tangannya mencengkeram dagu Johan. "Jadi ... biar tangan Tuhan ini yang menghukum pengkhianat sepertimu!"
Ia membekap mulut Johan dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya menusuk jantung pria malang itu. Johan jatuh terkapar, setelah memastikan ia mati, pria tadi memotong lidah Johan.
"Tetapi orang fasik akan dipunahkan dari tanah itu, dan pengkhianat akan dibuang dari situ. Amsal 2:22."
Ia mengukir kutipan ayat itu di dada Johan. Lalu mengukir salib terbalik di telapak tangan jasad Johan.
Warkop Triangle, jalan Garuda.
Sudah satu jam Faisal duduk di cafe ini bersama Citra. Ternyata, Johan juga mengirimkan pesan pada komandannya untuk bertemu di sini.
"Apa Johan menipu kita, Ndan?" Faisal bertanya-tanya.
"Tidak mungkin. Ia terdengar begitu yakin ketika merekam pesan suara untukku."
Faisal menyesap frappe-nya. Ia menyerahkan amplop coklat pada Citra. "Ini foto-foto rekaman CCTV hotel Blue Moon dan juga daftar nama tamu pada tanggal dua belas hingga dua puluh tujuh Desember," ujar Faisal.
"Kerja bagus!"
"Sebelum ke sini saya singgah lagi ke hotel Blue Moon, lalu menemukan fakta yang aneh, kamar 317 dipesan secara online dengan menggunakan nama Johan." Citra membelalak kaget mendengar penuturan Faisal. Dia pun membuka amplop coklat itu dan membaca salinan daftar tamu hotel itu. Benar saja pada tanggal tersebut, kamar yang dimaksud di pesan secara online atas nama Johan Sukmadinata.
Mereka hanya bisa menunggu Johan untuk mendapat jawaban pasti. Namun, saksi mereka itu tidak kunjung datang.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments