Potongan jari itu sudah berpindah tempat ke rumah sakit forensik, Faisal hanya cengar-cengir di samping Bara. "Apa pembunuh gila itu sudah berubah menjadi tukang jagal sekarang?" gerutunya kepada Faisal.
"Kemarin aku berurusan dengan mayat yang penuh goresan ayat, seakan aku sedang membaca bible di atas kulit manusia ... lantas hari ini sepotong jari manusia? Kalian pasti punya dosa besar di masa lalu." Ia melirik Faisal dengan jengkel.
Bara masih saja menggerutu sembari memeriksa jari tersebut, ia heran — meskipun terlihat dipotong secara serampangan, tapi orang itu tahu letak sendi yang pas sehingga dia tidak susah payah memotongnya.
"Orang ini memiliki keahlian medis juga sepertinya, benar-benar pembunuh yang jenius. Ia bisa membuat tim forensik dan kepolisian tidak menemukan petunjuk yang berarti, selain petunjuk bias," cerocos Bara terus-menerus entah kepada Faisal atau kepada dirinya sendiri.
"Kira-kira, jari ini milik siapa?" tanya Faisal penasaran.
Bara mengusap dagunya. "Dari bentuk dan ukuran jari itu sudah dipastikan milik seorang wanita."
Kemudian ia menyerahkan sebuah cincin yang sudah dimasukkan ke kantong barang bukti kepada Faisal.
"Coba lihat yang terukir di balik cincin itu!" Bara menyuruh Faisal meneliti ukiran pada bagian dalam cincin tersebut.
"Cindy Angelica E. Yosef? Apa mungkin ini pemberian Pak Walikota untuk Angelica? Lantas, kenapa dia tidak mengenalinya ya?" Faisal bertanya-tanya sendiri. Tanpa berkata-kata lagi, ia meninggalkan Bara sendiri di ruang autopsi.
"Terima kasih! Kerja bagus, Bara!" teriak Bara menyindir Faisal. "Seharusnya dia mengucapkan terima kasih atau sejenisnya."
Mobil Faisal melaju ke kediaman Pak Walikota, pasti beliau terkait secara tidak langsung dengan kasus ini, atau bahkan dia juga merupakan salah satu target. Menurut Bara — kemungkinan besar, jari itu dipotong dalam keadaan pemiliknya masih hidup dan itu berita bagus karena berarti Angelica masih hidup.
Avanza-nya berhenti di sebuah rumah megah, kediaman pribadi milik Freddy E. Yosef. Seorang sekuriti rumah tersebut mengetuk jendela mobilnya. "Selamat malam, Pak!" sapa sekuriti itu.
"Selamat malam, saya dari kepolisian ingin bertemu dengan Pak Freddy."
"Siap! Silahkan masuk, Pak!" Sekuriti itu membuka gerbang dan mempersilahkan mobil Faisal masuk.
Faisal masuk ke dalam rumah mewah yang terlihat jelas milik pejabat tinggi, dengan berbagai macam barang mahal bernilai puluhan hingga ratusan juta di dalamnya. Ia duduk di sebuah sofa di ruang tamu, yang sudah pasti harganya sepuluh kali lipat dari gajinya sebagai polisi.
Seorang asisten rumah tangga datang membawakan secangkir kopi, tidak lama kemudian diikuti kedatangan Pak Freddy yang tersenyum kepada Faisal. Kelihatannya beliau ini memang orang baik, terlepas dari sikap arogannya kemarin di rumah sakit.
"Ada perkembangan tentang Angelica?" tanya Pak Freddy tanpa basa-basi. Pertanyaan itu dijawab Faisal dengan menyodorkan cincin yang ia peroleh dari Bara.
"Cincin ini ... apakah Anda mengenalinya?" tanya Faisal balik.
Pak Freddy mengambil cincin yang dibungkus kantong bening itu. Matanya terbelalak kaget, ia tertegun sejenak melihat benda bulat tersebut dan tangannya gemetar.
"I-ini ... saya memberikan cincin ini sebagai hadiah untuk kemenangan Angelica di kontes modelling setahun lalu," paparnya lirih.
"Anda sungguh tidak mengenalinya tadi siang?" cecar Faisal dengan nada heran. Walikota itu menggeleng lemah, raut wajahnya menyiratkan penyesalan dan kesedihan.
"Apa Angelica sudah ...." Ia tidak mampu meneruskan ucapannya.
Faisal menunduk, matanya menatap lurus ke arah lantai marmer yang memantulkan bayangannya. Ia sama sekali tidak berani memberikan spekulasi kepada seorang ayah yang putrinya sedang diculik, karena ia tahu jika si penculik adalah pembunuh berdarah dingin.
"Kami berharap dia masih hidup. Lagi pula, menurut dokter forensik, kemungkinan jarinya dipotong selagi dia masih hidup," jelas Faisal. Pria tua itu hanya bisa menggertakkan giginya, ia terlihat sangat marah dan putus asa.
"Apa Anda tidak mengetahui sesuatu tentang panti asuhan Benedict?" Faisal bertanya dengan menaikkan sedikit alisnya. "Jika tidak salah, Anda pernah menjadi pimpinan panti itu sebelum terbakar."
Kali ini Pak Freddy terperangah, air mukanya berubah jadi ketakutan. Ia hanya diam dan membuat Faisal menunggu penjelasan walikota terpilih ini.
Pria itu mengusap belakang lehernya, terlihat sekali jika dia sangat cemas. Berkali-kali ia mengetuk pegangan sofa itu dengan jarinya, dia seperti ingin mengatakan sesuatu yang tidak bisa ia katakan.
"Pak Freddy ...." tegur Faisal.
Ia tersentak. "Ti-tidak. Saya tidak ingat apapun tentang panti asuhan tersebut, lagi pula itu sudah sangat lama." Walikota ini menjawab dengan tergagap.
"Suster Grace, suster Sandra, Velentino Arthasena, Kinanti Candhrawati, Johan, Cecilia dan Andre, mereka semua sudah terbunuh, dan saat ini — Angelica ada di tangan pembunuh itu. Bukankah mereka yang tewas berhubungan erat dengan panti asuhan?" cecar Faisal, tapi — lawan bicaranya masih saja bungkam, tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
"Johan adalah mantan tukang kebun di panti asuhan, kemudian kedua suster itu, lalu anak-anak panti yang sudah diadopsi oleh keluarga masing-masing, termasuk Angelica yang Anda adopsi sendiri," lanjut Faisal berusaha membujuk Pak Freddy buka mulut.
Akan tetapi, usaha petugas polisi ini sia-sia, ia malah diminta untuk pulang dengan alasan sang pemilik rumah ingin beristirahat. Faisal pun pergi dengan perasaan kecewa, padahal ia sangat berharap mendapat jawaban dari Sang Walikota.
120 Jam Hilangnya Angelica.
Suara senandung itu kembali terdengar, Angelica terbaring dengan wajah pucat di atas matras tua. Lima hari sudah ia terkurung di dalam gudang yang pengap ini, bekas luka tempat jarinya dipotong pun masih terasa ngilu, orang itu selalu datang membawakan makanan dan minuman. Walaupun ia orang yang sama, tapi Angelica merasa bertemu dengan orang yang berbeda.
"Cepat makan! Jika Kak Charles tahu aku memberimu makan — dia akan membuatku tertidur," ujar si penculik seperti anak kecil berusia sepuluh tahunan.
"Aku akan membuka lakbanmu, tapi kamu jangan berteriak ya!" pintanya.
Angelica menurut. Dia harus tetap bertahan hidup, ia bersumpah akan membuat psikopat ini membayar perbuatannya. Dia makan dengan disuapi si penculik, dalam situasi ini — dia mengutuk tubuhnya, kenapa sama sekali belum mau bergerak. Sesuap demi sesuap, akhirnya makanan itu habis, ia pun diberi air minum.
"Gadis pintar, kamu harus bertahan! Aku Debora dan anak tadi adalah Gabriel, kami akan berusaha melindungi kamu dari Charles, sampai polisi menemukanmu!"
"Lukamu .... Ah, ini pasti sangat sakit," imbuhnya lirih.
Kali ini dia seperti menjadi seorang wanita dewasa yang bijaksana dan baik hati, pria itu beranjak dan membuang semua bekas makanan juga minuman Angelica. Dia tersenyum dan pergi meninggalkan wanita ini lagi.
Angelica mulai bisa membedakan alter mana yang datang menemuinya, jika suara langkahnya ringan dan penuh semangat, Gabriel-lah yang datang menemuinya. Gabriel sosok anak kecil sepuluh tahun itu selalu muncul bergantian dengan Debora, mereka seperti saling menjaga.
Kali ini pasti Charles yang datang, senandung dengan suara parau itu, serta langkahnya yang berat dan cenderung seperti menyeret ketika berjalan. Angelica pura-pura tidur lagi.
"Bangun!" bentaknya dengan suara serak. Perlahan Angelica membuka matanya, ia melihat orang itu memegang sebilah pisau dan rasa takut pun mulai menyelimuti dirinya.
Di bawah temaramnya cahaya lampu, ia bisa melihat kilatan aura jahat dari iris mata abu-abu tersebut. Charles terus mengayun-ayunkan pisau kecil di tangannya, terlihat pria berusaha mengintimidasi sang korban, ia begitu menikmati ketika Angelica menatapnya penuh ketakutan.
"Apakah aku harus membunuhmu hari ini?" gumamnya sendiri.
"Mmpphh ... mpphh." Angelica menggelengkan kepalanya ketakutan, ia tidak boleh mati sekarang. Sekarang dia sudah tahu siapa orang di balik masker dan topi baseball ini.
Psikopat ini harus di tangkap! Aku tidak boleh mati sekarang. Angelica membatin dengan geram.
Tawa jahat terdengar dari balik masker hitam pria ini, ia benar-benar senang melihat korbannya itu diselimuti kengerian. Dia berjongkok di sisi Angelica, dengan sisi tumpul pisaunya, dia membelai wajah cantik itu.
"Jika saja ... pasti wajahnya akan lebih cantik darimu kalau adikku masih hidup!" teriaknya tiba-tiba sambil menggores wajah Angelica.
"Mmrrrgghhhh!"
Ia mencengkeram dagu sang korban. Matanya berkilat marah. Lalu semenit kemudian —
"Jangan bunuh dia dulu, Kak! Aku masih ingin bermain dengannya." Tiba-tiba ia merengek seperti anak kecil lagi pada dirinya sendiri.
"Ayahnya sudah membunuhmu Senja!" teriaknya lagi.
"Aku masih hidup! Ini aku, Senja."
Angelica seperti sedang menikmati sebuah teater monolog, tapi mendengar nama Senja disebut, ia terkesiap. Senja adalah salah satu teman pantinya yang meninggal karena demam dan gadis itu memiliki seorang kakak bernama Bumi.
Panti itu baru saja kehilangan seorang anak gadis, namun mereka seperti tidak sedang berduka. Hanya anak laki-laki bernama Bumi dan Raka yang terlihat sangat kehilangan.
Suasana tempat itu ceria seperti biasa, yang berubah hanya Bumi, dia lebih sering berdiam diri. Tidak mau bermain bersama teman-temannya lagi, ia memilih sibuk dengan kertas dan spidolnya.
Beberapa gambar Bumi terkadang membuat orang-orang dewasa takut, tapi mereka tidak begitu memperdulikan hal tersebut. Mereka menganggap itu wajar, karena ia baru saja kehilangan sang adik. Kemudian peristiwa meninggalnya Raka, yang merupakan satu-satunya teman setia Bumi, semakin membuat ia tertutup. Ia tidak pernah tertawa tak jarang mereka mendapati dia berbicara sendiri dengan cermin.
Satu persatu dari mereka pun mendapat keluarga baru, tidak terkecuali Cindy alias Angelica yang di adopsi oleh pimpinan panti sendiri. Istri pendeta Ebenaizer tidak bisa memiliki anak dan dia sangat mendambakan anak perempuan yang cantik.
Sejak saat itu, mereka pun tidak pernah mengetahui kabar Bumi lagi, selain berita tentang sebuah keluarga psikiater mengadopsinya.
"Hari ini, kau beruntung! Senja melarang aku membunuhmu!" hardik Charles. "Namun — aku akan mengambil sebuah video sebagai souvenir untuk Pak Walikota yang terhormat!"
Ia bangkit dan menyalakan sebuah kamera digital yang ditopang dengan tripod. Pria ini mendekati Angelica dan mulai melucuti satu persatu pakaian wanita itu hingga ia tidak mengenakan sehelai benang pun.
Dia pun mulai melecehkan wanita yang lumpuh ini, seperti dulu ayah angkatnya membuat seorang gadis kecil menanggung rasa sakit, hingga menghembuskan nafas terakhir. Setelah selesai melakukan aksinya, ia mematikan videonya.
Kali ini dia memang sengaja ingin tersorot kamera walau pun wajahnya tidak terlihat karena cahaya remang dan masker. Ia tersenyum puas melihat Angelica menangis dalam diam, wanita itu sekarang pasti memilih mati.
Ia tampak mengeluarkan sebuah memory card dari slot kamera digital itu, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kotak cincin. Charles mendekati Angelica lagi, ia membuka lakban mulutnya karena merasa korbannya ingin mengatakan sesuatu.
"A-apa kamu, Bumi?" tanya Angelica lirih.
Charles tertawa keras tanpa menjawab pertanyaan Angelica, ia menutup mulut wanita itu lagi dan memotong sedikit rambut Angelica, kemudian membungkusnya bersama memory card tadi. "Ini akan menjadi souvenir yang membuat orang terhormat itu mengingat perbuatannya," bisiknya lirih di telinga Angelica.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Nafi' thook
Pembunuh dengan kepribadian ganda
2023-03-10
0
Hiatus
Sejak sampai bab ini,entah kenapa aku curiga Faisal itu pembunuhnya....
2022-10-07
1