Panti asuhan Benedict
Hujan mengguyur kota Manggala dengan derasnya di pagi hari. Gemuruh petir silih berganti bersahutan. Suara hujan yang jatuh begitu keras mampu mengubur suara apapun, termasuk isak tangis dari seorang anak yang meringkuk ketakutan di sudut gudang.
Tubuh gempal itu penuh luka, ia mendekap erat lututnya dengan badan yang gemetar, di bawah tatapan mengintimidasi dari beberapa anak sebayanya. Ia terus menangis, tapi — mereka tidak peduli dan malah tertawa senang.
“Gendut!”
“Gembrot!”
Anak ini sudah mengalami perundungan sejak ia kecil, entah itu berupa ejekan ataupun olok-olok, bahkan dirundung dengan kekerasan.
Raka — anak laki-laki berusia sepuluh tahun, menderita keterbelakangan mental. Itu sebabnya, dia masih seperti anak berusia lima tahun. Dia adalah anak kembar yang sengaja ditinggalkan di depan panti sepuluh tahun lalu. Akan tetapi saudara kembarnya terlebih dahulu diadopsi oleh keluarga yang hanya menginginkan satu anak ketika mereka berusia enam tahun.
Gudang yang hanya disinari cahaya remang dari lampu bohlam kuning berdaya lima watt ini, menjadi saksi bisu apa yang selalu dilakukan oleh para perundung itu kepada Raka. Pihak panti sebenarnya sudah tahu, namun selalu menutup mata.
Kelima anak yang berusia sebaya Raka, tampak menatap dengan sorot mengejek. Salah satu dari mereka memegang balon yang Raka peroleh dari pengunjung panti, tanpa berpikir panjang, anak tersebut melepas balon yang sedari tadi ia pegang. Balon itu terbang dan menempel pada langit-langit gudang.
Tali pengikat balon itu menjuntai cukup panjang, namun masih terlalu jauh dari jangkauan Raka. Anak-anak tadi menyuruh ia naik ke atas bangku kayu yang sudah agak lapuk. Bangku itu tidak akan bisa menahan tubuh gempal anak itu. Benar saja—suara retakan kayu yang patah menggema di gudang. Tepat ketika Raka berhasil meraih tali balonnya, bangku tersebut patah.
Tubuh gempal itu terhempas jatuh dan terbentur sudut meja besar yang ada di belakangnya. Ia terbaring di lantai tak bergerak. Salah satu dari mereka terlihat sangat ketakutan, ia pun berlari memanggil suster pengawas panti asuhan.
Dari sisi lain, tampak seorang anak laki-laki menyaksikan kejadian itu dengan sembunyi-sembunyi. Suster pengawas tiba di gudang bersama anak yang tadi lari memanggilnya, seperti biasa para perundung tersebut mengatakan kalau mereka sudah melarang Raka naik ke atas bangku tapi tidak dihiraukan.
Tentu saja suster itu akan lebih percaya kepada anak-anak perundung tersebut. Bagi para pengurus panti, ucapan anak-anak nakal ini lebih bisa dipercaya, dibandingkan ucapan Raka yang memiliki keterbelakangan mental. Bahkan tidak jarang Raka justru malah mendapat hukuman karena perbuatan mereka.
Suster Sandra adalah pengawas panti yang sedang piket hari ini. Melihat anak asuhannya terkapar pingsan, ia kebingungan, suster muda tersebut lalu menghubungi rumah sakit terdekat. Tidak lama kemudian, ambulance datang bersama dua paramedis.
“Anak ini mengalami patah tulang belakang.” Salah satu paramedis itu menjelaskan keadaan Raka kepada suster Sandra. “Bagaimana ini bisa terjadi? Anak ini harus segera ditangani secara intensif di rumah sakit!” cecar petugas medis itu lagi.
Jemari lentik suster Sandra memijat keningnya yang tiba-tiba terasa pening, ia takut jika mengambil keputusan sendiri, maka suster kepala bahkan pimpinan panti bisa marah padanya. Perundungan terhadap Raka bukanlah hal yang baru, tapi kali ini — anak tak berdosa itu terluka parah.
“Kalau begitu, kami akan membicarakannya pada suster kepala dulu,” ujar suster Sandra ragu.
Paramedis yang datang saling berpandangan. Salah satu dari mereka mencecarnya dengan nada marah. “Ini bukan saat untuk berdiskusi! Nyawa anak ini terancam, jika ini hanya kecelakaan kenapa harus khawatir. Kecuali ... jangan katakan ini adalah peristiwa perundungan.”
Akhirnya suster Sandra mengijinkan mereka membawa Raka ke rumah sakit, panti asuhan ini akan bermasalah jika peristiwa perundungan yang mencelakai Raka itu sampai menyebar. Ia duduk di ruang tunggu depan ICU sembari terus berdoa untuk anak malang itu.
Tak lama kemudian suster Grace, sang Kepala Panti datang, dengan geram ia menarik suster Sandra ke sudut ruangan dan berbisik, “Berani-beraninya Anda mengambil keputusan sendiri suster Sandra!”
Sekian lama ia mengikuti kemauan suster Grace dan pemilik panti asuhan untuk menutupi kejadian-kejadian buruk di panti, tapi—kali ini ia tidak bisa diam. “A-anak itu terluka. Saya sudah tidak bisa membiarkan perundungan ini terjadi lagi! Ini tidak benar suster kepala!”
Suster Grace mendengus. “Anak itu tidak akan ada yang mengadopsinya. Ia cacat mental!”
“Dia juga manusia. Raka juga anak Tuhan sama seperti kita ....” lirih suster Sandra. Dia terus-menerus berdoa dengan rosario di genggamannya.
Dokter memanggil suster Grace sebagai wali Raka untuk menjelaskan keadaan anak malang itu, karena cedera yang dialami sangat serius sehingga menyebabkan anak itu koma. Beberapa pertanyaan mengarah ke adanya dugaan perundungan yang terjadi. Namun wanita berusia setengah abad itu membantah semua asumsi dokter tersebut.
Raka pun akhirnya di rawat selama beberapa pekan. Akhirnya — hari ini panti asuhan memutuskan untuk membawa pulang Raka, mereka meminta agar anak ini dirawat di panti saja. Sebuah kamar khusus sudah mereka siapkan, berharap suasana panti dan kebisingan anak-anak lain bisa membangunkan Raka.
Seorang anak laki-laki duduk di sisi ranjang Raka, matanya sendu menatap tubuh yang terbaring tak berdaya itu. Raka yang selalu ceria walau kerap ditindas, tawanya yang khas, selalu berbagi camilan yang ia peroleh dari para donatur.
“Kamu pasti kesakitan, Raka,” gumam anak itu sedih. "Tapi, aku mohon bukalah matamu, jadi kita bisa bermain lagi."
Ia menggenggam tangan pucat Raka. Anak inilah yang terus menerus setia di sisi bocah ini sejak dia dibawa pulang.
27 Juli 1995
Seminggu setelah kepulangan Raka.
“Suster! Suster Sandra! Raka, Raka ...!” Anak yang selalu di sisi Raka itu berlari ke ruangan pengawas sembari berteriak-teriak memanggil suster Sandra.
“Tenang dulu!” pinta suster Sandra melihatnya terengah-engah, “Raka kenapa?”
“Jari Raka tadi bergerak, lalu dia tiba-tiba membuka matanya dan tersenyum padaku,” jawab anak itu dengan mata berbinar. Lalu dengan semangat ia kembali ke kamar Raka.
Tanpa banyak bertanya, suster Sandra berlari mengikuti anak tadi. Namun sayangnya, takdir berkata lain. Mereka hanya mendapati Raka yang tertidur dalam keabadian dengan senyuman dan raut wajah bahagia. Ia tidak lagi bernapas maupun merasakan sakit.
Anak itu mendekati Raka, ia tertunduk menangis. “Kamu sudah tenang Raka, tidak ada lagi yang akan merundungmu. Tuhan akan selalu menjagamu.”
Pemakaman anak malang itu berlangsung tertutup. Toh, dia hanya sebatang kara, isu tentang perundungan di panti asuhan sempat berhembus di kalangan masyarakat. Tapi segera hilang dikarenakan sifat manusia pada dasarnya egois. Mereka cenderung hanya tertarik penderitaan orang lain untuk objek pembicaraan saja, kemudian ketika ada isu yang lebih panas, mereka segera melupakan isu lama.
Tahun demi tahun pun berganti, satu persatu dari anak panti asuhan itu diadopsi, termasuk 7 anak perundung Raka. Peristiwa kematian Raka seolah terlupakan begitu saja.
Mereka tidak menyadari jika masih ada satu anak yang masih mengingat peristiwa tersebut, orang-orang dewasa egois ini — hanya perduli dengan nama baik mereka, tanpa memperdulikan hak anak panti untuk dilindungi. Dia menjadi anak panti terakhir yang diadopsi sebelum panti itu akhirnya terbakar habis. Seluruh dokumen penting tentang panti asuhan diduga hangus terbakar semua. Dan Raka, hanya tinggal sebuah nama yang terlupakan.
...----------------...
25 tahun kemudian.
Temaram sinar bulan perak menyinari sepinya jalanan Manggala. Sekarang sudah lewat larut malam, hanya segelintir anak manusia yang terlihat masih lalu lalang. Beberapa anak jalanan dan gelandangan yang tidak memiliki tempat tinggal, karena hanya sedikit yang perduli akan nasib mereka.
Suara Alicia Keys terdengar renyah dan menggema di sudut-sudut mobil, Toyota Camri hitam itu melaju dengan mulus di jalanan aspal distrik P. Sampai kemudian tiba-tiba mesin mobil tersebut mati tepat ketika mendekati terowongan flyover.
Wanita anggun yang mengenakan setelan blazer tampak turun dari mobil, ia membuka kap mesin, lalu kembali mencoba menyalakan mobilnya tapi gagal. Karena kesal, ia mengambil ponsel dan menekan sebuah nomer, lalu duduk di tepi trotoar yang sepi.
Arloji Gucci original yang melingkar di pergelangan tangannya menandakan kalau dia dari kalangan menengah atas. Kemungkinan dia tinggal di sebuah perumahan mewah di kawasan Boulevard.
Berkali-kali ia mencoba menghubungi nomer bengkel langganannya namun tidak dijawab, dengan jengkel ia menutup kembali kap mesin mobilnya. Apa yang salah dengan mobil ini? Apa hari ini hari sial untukku? Setelah tadi pagi seorang anak klien menumpahkan kopi di tas Hermesku, lalu sekarang mobil ini mogok tanpa sebab! Ia terus menggerutu dalam hati.
Sorot cahaya lampu mobil lain terlihat dari kejauhan, wanita itu memberanikan diri menahannya, mobil Pajero sport putih itupun menepi. Kemudian, seorang pria yang bisa dikatakan sangat tampan turun dari mobil tersebut dan berjalan menghampiri wanita yang menahannya tadi.
“Mobilnya kenapa mbak?” Pria itu bertanya dengan ramah kepadanya.
“Entahlah, saya juga tidak tahu, mobil ini mogok tiba-tiba.” Dibanding nada mengeluh, wanita ini lebih seperti sedang merajuk.
Pria itu terlihat berpikir sejenak. “Kalau mbak percaya sama saya, kita hubungi mobil derek saja. Nanti saya yang antar mbak pulang,” usulnya.
“Ini kartu nama saya. Nama saya Andrian, Andrian Setyabudi.” Pria tampan itu menyodorkan selembar kartu nama.
Wanita dengan tubuh tinggi semampai ini mengambil kartu nama yang disodorkan. Raut wajah dan sorot matanya masih menyiratkan kecurigaan.
dr. Andrian Setyabudi, Sp.An.
(Dokter spesialis bedah anastesi)
Meski masih ragu, ia berusaha berpikir positif. Dia mengulurkan tangan dan balas memperkenalkan diri. “Kinanti. Kinanti Candhrawati.”
Terlihat bibir pria bernama Andrian tersebut membentuk segaris senyuman. Ia mengambil ponsel dari dalam mobilnya lalu menghubungi layanan mobil derek.
Tidak lama kemudian mobil derek bengkel pun datang. Walau masih ada rasa takut, Kinanti tetap menaiki mobil Andrian, mereka pun melaju membelah gelap malam tengah kota Manggala. Menuju kediaman Kinanti.
Pajero sport milik Andrian itu berhenti di depan sebuah rumah yang bisa dikatakan mewah. Dengan sopan pria itu turun dan membukakan pintu untuk Kinanti. Melihat keramahan pria ini, ada rasa bersalah pada diri Kinanti karena mencurigainya.
“Terima kasih! Ini kartu nama saya.” Kinanti memberikan selembar kartu nama pada Andrian.
“Kapan-kapan saya traktir minum kopi atau makan siang. Dan—maaf saya sempat curiga tadi,” tutur Kinanti dengan nada sesal. Andrian hanya menanggapi dengan senyum.
Dalam perjalanan pulang, dokter muda ini merasa tidak asing dengan wajah wanita yang baru saja ia antar. Wajah itu, bentuk mata itu, mengingatkan pada teman masa kecilnya. Akan tetapi langsung ia tepis. Karena mustahil wanita kaya sekelas Kinanti berasal dari tempat yang sama dengannya.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Nafi' thook
teman masa kecil, owh, manisnya
2023-03-07
0
Keyboard Harapan
semangat kakak karya yang bagus😘😘😘💪💪💪
2022-12-25
1
Keyboard Harapan
kasihan nasib mu raka🤧🤧🤧🤧🤧
2022-12-25
1