Satria yang kini berjalan di bawah pohon kayu besar di dalam hutan yang melindunginya dari sengatan mentari di siang itu, terus saja melangkah ke tengah permukaan tebing dimana tadi dia melihat kebun sayur yang lumayan besar.
Tak butuh waktu lama bagi bocah remaja itu untuk menemukan ladang sayur tersebut. Setibanya disitu, Satria melihat seorang kakek tua berwajah ramah sedang menggembur tanah pada tanamannya di temani seorang gadis cilik berumur 8 tahun.
"Kakek, ada orang" Seru bocah perempuan itu melihat Satria yang mulai mendekati mereka.
"Siapa kau Nak? Mengapa bisa sampai kemari?" Tanya kakek tua yang berambut putih panjang ke bahu dengan alis dan kumis serta jenggot berwarna putih.
"Maaf kakek yang baik. Saya Satria. Melihat ada kebun di dasar sini, saya memberanikan diri menuruni tebing"
"Tidak mungkin" Kata gadis yang bernama Lina itu dengan wajah kaget seperti kakeknya yang sekilas mirip dengan Kek Mahesa yang menjadi Guru Satria.
"Dari mana kau datang Nak? Dimana tempat tinggal mu?" Kembali kakek tua itu bertanya.
"Saya adalah seorang perantauan yang selama ini tinggal di rumah Kakek Mahesa, seorang nelayan di Dusun Pantai Olele dekat sini Kek".
"Mari masuk" Ajak kakek tua itu sambil memegang lengan cucu perempuannya.
Berjalanlah mereka bertiga ke dalam sebuah gua batu yang mempunyai ruang yang luas di dalam dan juga bersih, karena memang tempat itu menjadi tempat tinggal mereka berdua selama ini.
Setelah Satria dipersilahkan duduk dan di tanya banyak oleh si Kakek, kini giliran Satria yang bertanya kepada kakek tua aneh itu. Sementara Lina telah keluar ke bolongan batu sebelah yang digunakan sebagai dapur.
"Kalau boleh saya tau, Kakek sebenarnya siapa? Mengapa tinggal di tempat seperti ini?"
"Sebenarnya sama dengan Gurumu, aku muak dan lelah melihat tingkah polah manusia yang selalu menjilat yang kuat dan kaya serta menginjak yang miskin dan lemah. Kebanyakan manusia terlalu menurutkan hawa nafsunya sehingga selalu terjadi pertentangan yang membawa banyak korban. Karena kau murid Abang ku sendiri, maka tidak mengapa kalaupun kau tau siapa kami. Sebenarnya .. aku bernama Muhardi dan Gurumu yang kau kenal dengan nama Mahesa adalah Abang kandungku, dia bernama Muhammad Isa, Tengku Muhammad Isa. Namun karena dulu nama nya telah dikenal dan membawa banyak permusuhan yang menyeret seluruh keluarga kami, makanya sekarang dia hanya menjadi nelayan tua dengan nama Mahesa. Hanya cicit kami dan kami berdua yang selamat agaknya. Sedangkan anak, cucu dan menantu kami semua tewas. Lina itu adalah cicit ku begitu juga Sari yang tentu kau kenal, dia adalah cicit Gurumu. Ayah Lina bernama Dian Muharsyah, seorang dokter yang juga mungkin sekali menjadi korban permusuhan kami. Hanya dia seorang yang hilang dari keluarga ku, selebihnya dapat ku temukan mayat mereka. Dahulu aku hanya mempunyai seorang anak bernama Raka Alamsyah, dan ketika Raka telah menikah mempunyai seorang putra dan dua orang putri, cucuku yang putra bernama Hardiansyah itulah kakek Lina".
"Berarti usia kakek tentu sudah tua sekali, agaknya mencapai seratus tahun tapi, maaf"
Melihat keraguan yang muncul dari wajah Satria, Kek Muhardi tertawa dan berkata,
"Hahahaha, tapi mengapa aku kelihatan lebih tua dari Abang ku? Hahaha"
"Emmh, benar Kek. Maaf atas kelancangan saya" Jawab Satria yang terpaksa menunduk.
"Memang begitulah Gurumu. Agaknya karena dari muda dulu batinnya selalu dalam keadaan tenang dan jarang di usik kedukaan, maka wajah nya pun awet muda. Tentu usia Gurumu kini sudah mencapai 101 tahun Satria, sedang kan aku tahun ini genap berusia 92 tahun"
Saat itu Lina telah datang mengangkat hidangan setelah selesai memasak, mereka bertiga pun kini sambil bercakap cakap ringan makan siang bersama dengan nasi dan sayur mayur yang banyak macamnya dan sangat lezat rasanya.
Selesai makan, Satria membantu Lina yang tidak kalah cantiknya dari Sari yang memang tampak kecantikannya meskipun masih kecil.
Mereka berdua segera membereskan sisa makanan dan mengangkat piring yang terbuat dari batok kelapa yang sangat besar itu.
Selesai beristirahat dan sholat bersama, Kek Muhardi segera melanjutkan pekerjaannya. Karena memang selain mendidik cucu yang sebenarnya cicitnya itu, Muhardi menyibukkan dirinya menanam berbagai macam sayuran dan buah buahan.
Sebentar saja Lina tampak akrab dengan Satria karena memang pembawaan Satria yang supel dan mudah bergaul membuat Lina yang agak malu dan pendiam akhirnya ketularan kejenakaannya.
Mereka berdua segera berlari mengelilingi dasar tebing yang memang tidak begitu luas itu. Namun ada pula sungai kecil yang mengalir melalui bawah batu ke dalam tanah.
Satria yang ingin melihat pohon kelapa aneh yang di ambil menjadi piring lebar oleh Kek Muhardi segera di ajak ke ujung sungai. Di sana, tampak pohon kelapa yang besar batangnya namun tidak terlalu tinggi.
Saat menjenguk ke atas, Satria melihat buah kelapa yang sangat besar. Mungkin besar lingkarnya sebesar ban sepeda.
Mereka bermain dan berlari ke sana kemari selama setengah hari itu. Saat hari menjelang sore, mereka berdua kembali ke tempat tinggal Kakek Muhardi.
Malam itu Satria yang duduk bersama Lina, banyak di ajarkan oleh Kek Muhardi sebelum mereka semua tidur.
Keesokan harinya, pagi pagi sekali Lina dan Satria telah pergi bermain di sungai yang sangat segar. Mereka berenang dari tempat dimana air terjun turun hingga ke ujung sungai yang memang sangat jernih itu.
Saat mereka berdua tiba di ujung sungai, sebuah kelapa besar yang sudah tua jatuh dan hanyut ke ujung sungai yang seperti masuk ke dalam tanah itu.
Satria ingin sekali membawa pulang kelapa yang sangat besar tersebut ke kampung nelayan sehingga dia mengejar kelapa yang hanyut itu dengan berenang mengikuti arus.
Dia menyelam dan saat dekat dengan kelapa yang hanyut dan mengangkat kepalanya dari dalam air, Satria kaget melihat dinding tebing di depannya. Tanpa dapat di cegah, dia pun masuk ke dalam pusaran yang menariknya ke dalam tanah entah ke perut bumi atau ke dasar tanah. Yang pasti, Satria telah hilang di telan bumi di mana ujung sungai berakhir.
Melihat hal itu, Lina segera berlari sambil teriak teriak minta tolong ke kakeknya yang kemudian datang kesitu dengan penuh kedukaan karena menyangka bocah yang dikaguminya itu telah tewas.
Satria terbangun didalam sebuah gua di atas batu menonjol. Ternyata, jalan air sungai itu menembus ke bawah dinding tebing dan hanya jalan masuknya saja yang tidak besar. Tempat dimana Satria terlempar sangat luas dan lembab dengan suara gemuruh air di sampingnya.
Saat sudah menguasai keadaan, Satria melihat dengan jelas semua sudut yang ternyata menjadi sungai di dalam tebing. Tekanan air tidak terlalu kencang karena berjumpa dengan ruangan yang luas.
Satria melihat dari tempatnya berdiri bahwa terdapat sebuah lubang yang jauh dan ada kilatan cahaya aneh di dalam lubang besar agak ke atas itu.
Segera Satria menuju ke sana. Begitu sampai di sana, dia menemukan sebuah kotak berhias permata di tutupnya. Langsung saja dia membuka kotak tersebut yang berisikan sebuah kertas dari kulit kayu yang sangat tua.
Begitu kertas di ambil, terdapat petunjuk di dasar kotak agar penemunya mengangkat kotak dengan tulisan aneh yang tidak dikenal Satria. Langsung saja di angkatnya kotak itu. Betapa senang Satria ketika melihat sebatang gagang yang indah tertancap kuat ke batu.
Satria yang mencabut pedang itu merasa kecewa. Karena, bagaimana pun dia mencabut tetap saja tak bisa. Gagang pedang seperti sudah menyatu dengan batu besar setinggi dadanya.
Akhirnya bocah itu kembali melihat kotak tadi dan saat matanya tertuju kepada permata berwarna, Satria melihat permata itu cocok sekali bentuknya dengan tempat yang ada pada ujung gagang pedang bagian atas.
Satria kini membolak balik peti itu. Saat melihat bagian bawah peti, ada tulisan yang bertuliskan,
*Seorang yang beruntung tidak silau oleh permata berharga. Ambil permata sambil menekan lingkaran sisi. Pasangkan ke gagang Pedang Pusaka. Siapa yang berjodoh, sanggup memilikinya*
Melihat tulisan itu, Satria segera melakukan perintah bertulis huruf zaman yang terukir indah di bawah peti.
Setelah memasang permata, terdengar suara menyentak keras sekali. Satria mencoba kembali mencabut pedang dan perlahan lahan dapat dicabutnya.
Setelah melihat pedang yang bentuknya indah berwarna merah kecoklatan dengan hiasan sayap di kedua sisi ujung gagang dan bulatan di pangkal gagangnya, Satria sedikit kecewa. Karena ternyata pedang itu sangat pendek. Hanya satu kaki saja panjangnya.
Saat memperhatikan lagi, ternyata permata berbentuk segi enam itu longgar. Mungkin karena tekanan tangan Satria pada saat mencabutnya dengan sedikit keras. Satria menekan dengan kedua ibu jarinya dan kembali suara sentakan keras di barengi mata pedang yang tadinya pendek kini berubah menjadi panjang.
Ternyata permata itu merupakan kenop yang bisa menjadikan mata pedang masuk dan keluar berubah ubah hanya dengan menekan kenop nya.
Dengan girang Satria berjalan ke arah air sungai yang terpencar keluar dari atas dan dengan susah payah, akhirnya dia bisa merangkak perlahan kembali ke permukaan ujung sungai dimana dia di telan oleh aliran sungai yang deras.
Setelah menyembunyikan pedang di balik bajunya, Satria kembali ke tempat dimana Lina dan Kek Muhardi masih berduka memikirkan kematiannya. Alangkah bahagianya mereka berdua melihat ternyata bocah remaja itu kembali dalam keadaan selamat.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments