Suatu hari, tampak berjalan seorang asing dan dua orang pribumi lainnya. Wajah ketiganya tampan, dan mereka pun bukan orang sembarangan.
Yang seorang berambut pirang merupakan seorang Detektif kenamaan Eropa berasal dari Jerman bernama Steve Patterson.
Sedangkan dua orang lainnya merupakan kakak beradik yang selama ini telah kita kenal, yaitu Gubernur Thom dan Profesor Andi yang siang itu tampak menuju ke sebuah rumah di Desa Dayah kecamatan Kuta Krueng.
Sesampainya mereka di situ, mereka melihat di teras depan rumah duduk seorang gadis belasan tahun bersama seorang kakek yang wajahnya sangat tenang biarpun tampak dari matanya usia yang sangat tua.
"Assalamualaikum." Seru Thomas Anggara.
"Wa alaikum salam," Jawab si kakek berbareng dengan jawaban gadis yang lembut dan tampak malu malu.
"Apa benar saya berhadapan dengan kakek,, Muhammad Isa?" Tanya Profesor Andi.
Thomas tampak duduk dengan mata berkaca oleh linangan air mata yang tertahan.
Hanya sedikit kekagetan dari mata kakek itu. Kini, dia sudah menguasai perasaannya lagi.
"Benar, aku adalah Kakek mu Thom. Bagaimana keadaan cucuku Tisa?" Tanya kakek yang langsung di tubruk di cium lututnya oleh Gubernur Tom.
Sambil menangis sesenggukan, Gubernur bercerita tentang keadaan nya dulu dimana saat keluarga mereka di serang, banyak dari mereka yang tewas. Sedang kan Thom yang saat itu baru bangun dari pingsan, melihat istrinya tergeletak di sisinya dalam keadaan pingsan akibat bahu tertembus peluru.
Melalui belakang rumah yang terbakar, Thom menggendong istrinya menuju ke belakang hingga akhirnya dapat melepaskan diri dari petaka yang menimpa keluarga mereka.
"Mari kita masuk ke dalam. Mari,,," Seru kakek tua menggandeng tangan Gubernur Thom.
Setelah selesai bercerita di selingi air mata yang jatuh berderai, Thomas memperhatikan gadis yang duduk sambil menunduk menahan isak,
"Kek. Apakah,, ini Tari anakku? Benarkah dia Tari?" Tanya Thomas dengan mata merah menatap wajah cantik itu.
"Ya. Dia putrimu Thom. Dia Tari, Tari Anggara," Jawab Kek Mahesa.
Thomas menubruk saling berangkulan dengan anaknya.Melihat rasa penasaran di mata Thomas saat menatapnya, Kek Mahesa kini bercerita betapa saat kejadian musibah menimpa keluarga mereka, Kek Mahesa yang baru keluar dari ruang semedinya di belakang mengelilingi rumah besar yang mulai terbakar.
Setiap kamar dan ruang yang dia kunjungi hanya tampak mayat keluarganya saja bergelimpangan tertembus senjata.
Masih jelas membayang di ingatannya kejadian lima belas tahun yang lalu yang membuatnya sangat berduka.
Thomas, Steve dan Andi mendengarkan kelanjutan cerita kakek itu yang mendengar tangisan bayi di sebuah kamar. Begitu dia masuk kamar tersebut, yang tampak adalah cucunya bernama Tisa dan suaminya yang tidak lain adalah Thomas rebah telentang yang di sangka nya telah tewas itu.
Maka, Kek Mahesa langsung berlari memondong bayi yang berusia setahun ke arah utara. Dengan cekatan Kek Mahesa lari menyelamatkan Tari dalam pondongannya di kejar desing peluru hingga akhirnya mereka berdua selamat.
Namun berminggu minggu, komplotan penjahat itu masih mengejar mereka. Hingga Kek Mahesa dan cicitnya menghilang ke sebuah hutan menyembunyikan diri hingga sekarang.
"Semenjak saat itu, aku mengganti namaku dan nama Tari tinggal sebagai nelayan tua di Dusun Nelayan Olele." Kek Mahesa menutup ceritanya sambil menghela nafas panjang.
"Sekarang kakek tak perlu bersedih hati, karena semua yang bertanggung jawab menyerbu rumah kita dulu telah mendapat balasan setimpal." Seru Thomas yang setelah berkurang keharuannya, baru teringat kepada rekan dan adiknya.
"Kenalkan Kek, ini Steve sahabatku dari Jerman. Berkat bantuan penyelidikannya di bantu Andi, maka kami bisa datang kemari."
"Ini adikmu yang dulu berguru kepadaku?" Tanya Kek Mahesa dengan wajah cerah dan mata bersinar.
"Ya kek, saya Andi. Bocah bandel yang dulu sering bergantungan di punggung kakek," Jawab Profesor Andi.
Mendapat kan kembali keluarganya yang hilang, Kek Mahesa setuju atas usul Thomas yang ingin mengajak mereka ke Kaltim dimana Thomas menjabat sebagai Gubernur untuk menemui ibu nya Sari yang aslinya bernama Tari Anggara.
Kek Mahesa juga mengatakan ingin mengajak adiknya dan Lina sekalian yang di setujui oleh Thomas.
Keesokan harinya, berangkatlah mereka berlima dari situ. Di sebuah hotel mereka menunggu kedatangan Kek Muhardi bersama cucunya yang masih dalam perjalanan dari Olele Banda setelah mendapatkan telepati dari Kek Mahesa.
.---***---. .---***---. .---***---.
Satria terus berjalan menelusuri kaki gunung yang berjajar rapi di daerah Himalaya. Pagi itu baru saja dia melewati hutan yang sangat lebat dimana terdapat pepohonan besar dengan aroma udara yang menyegarkan.
Berbeda sekali dengan keadaan dimasanya. Dimana polusi udara sudah merambah sampai ke gunung gunung akibat berderunya mesin yang seakan saling berlomba dalam pembangunan di wilayah kekuasaan masing masing.
Setelah menempuh waktu sehari semalam, akhirnya Satria dan Candu kini berada di kaki gunung dimana mereka dulu tanpa sengaja menembus Ruang Paralel.
Satria memperhatikan tempat itu yang masih asri dan agak berbeda dari tempat di zamannya.
"Candu, tepat disini kita dulu mengalami pengalaman itu. Kini bagaimana kita akan kembali ke zaman kita?" Seru Satria bingung.
Binatang yang telah berkali kali di sebut Naga oleh manusia itu hanya menatap Satria. Dari tatapannya Satria mengerti bahwa mereka kini harus pasrah dan menunggu saja di situ. Jika memang takdir membawa mereka kembali, maka semuanya pasti akan terwujud.
Beberapa hari berselang berada di tempat itu, pada suatu malam, hujan mengguyur dengan deras disertai kilat dan petir menyambar.
Satria memperhatikan secercah sinar terang dari salah satu lubang di kaki gunung dimana memang terdapat banyak lubang besar kecil di sana.
Satria yang tadinya berteduh di bawah sayap Naga piaraannya, kini beranjak mendekati gua besar tersebut.
Sesampainya mereka di tempat itu, ternyata benda yang mengeluarkan cahaya tersebut adalah sebuah telur besar berwarna putih dan terdapat totolan warna hitam biru disekitarnya.
Satria yang heran segera mendekat, perlahan dia meraba ke arah telur bersinar itu dan tiba tiba, Satria ditarik kekuatan yang sangat kencang dan dahsyat.
Jika Satria bukan seorang ahli silat yang telah terlatih bertahun tahun, maka pasti dia akan terpisah dengan Candu. Namun dalam waktu yang singkat itu, Satria dapat meraih leher Naga piaraannya dan merangkul leher Candu dengan sangat kuat.
Bagi hewan aneh bernama Candu, hal itu biasa saja, namun bagi Satria yang telah mengalami kelainan dengan otaknya, saat tubuhnya besama Candu melayang di tarik tenaga yang tak tampak itu, Satria mengalami penglihatan yang aneh tentang diri Naga yang kini dipeluknya.
Selama beberapa menit mereka berdua berada dalam keadaan seperti itu hingga akhirnya keduanya pingsan.
Satria membuka matanya, dalam kegelapan saat itu, Satria yang rebah telentang dapat melihat dengan jelas binatang kesayangan nya sedang melindungi tubuhnya sambil menjilat jilat mukanya dengan lidah licin dan kasar yang bentuknya aneh.
Satria yang telah duduk seperti bermimpi, kini telah berada di Ruang Bawah Tanah dimana dulu dia terkurung bersama Candu.
"Apakah kita telah kembali? Candu, kita telah kembali?"
Tanya Satria yang hanya di sambut dengan tatapan Candu yang berdiri di sisinya itu.
Satria pun mengajak Candu menyusuri lubang yang membawa mereka berdua keluar dari ruang itu. Betapa girangnya Satria ketika mendapatkan kenyataan bahwa di mulut gua itu memang terdapat bekas jatuhnya benda berat, ratusan meter dari situ Satria melihat bangunan dengan lampu lampu terang terpasang.
Yakinlah pemuda itu bahwa mereka telah kembali ke zamannya melalui kekuatan telur. Telur? Satria yang ingat kepada telur tadi segera masuk lagi ke dalam gua di ruangan yang besar itu. Yang tampak hanya gundukan gundukan tanah bebatuan yang luas melingkupi ruangan tersebut.
Duduklah Satria di situ di temani Candu yang kini telah berada di dekatnya.
"Candu, walaupun kau tak dapat berkata, aku yakin kau paham apa yang aku bicarakan. Kau tau mengapa aku memanggilmu Candu?"
Tanya Satria menatap mata Naga yang sungguh tampak indah dan sedikit lucu menggemaskan itu.
"Dulu aku mempunyai binatang peliharaan, Seekor kucing yang ku panggil Candu. Nama itu di berikan oleh ibuku setelah melihat kucingku selalu makan puntungan rokok ayah. Aku sangat menyayanginya. Saat dia mati, aku,,, menjadi seorang yang pendiam.
Melihat mu pertama kali, aku teringat akan kucingku dan keluargaku, ku pikir kau akan membunuhku. Saat melihat matamu, aku tau kau adalah hewan yang baik. Tadi saat kita melayang sebelum sampai ke tempat ini, aku melihat seluruh asal dan gambaran telur yang membawa kita kemari.
Telur ular itu adalah telur kakek mu yang ketika menetas, mengalami cacat. Sehingga semua ular ular sekelilingnya mengucilkannya. Kakek mu yang memiliki kelainan, saat telah dewasa berhubungan dengan seekor rusa betina dan mempunyai anak yang aneh.
Setelah besar, anak itu yang rupanya lebih aneh tidak di terima oleh kalangannya, maka kakek mu membawa dia ke pemukiman manusia dan pada suatu hari, mereka berdua terkena radiasi nuklir yang di bangun ratusan tahun lalu oleh pemerintah.
Radiasi itu menewaskan kakek mu. Sedangkan ibumu, di bawa terbang seekor elang besar puluhan tahun lalu.
Elang Rajawali itu ayahmu. Setelah ibumu mengandung, ayahmu tewas oleh sisa radiasi yang menjangkit di tubuhnya. Kau yang masih berupa telur dalam tubuh ibumu di bawa masuk ke ruang besar dimana aku terkurung, hingga akhirnya ibumu tewas setelah melahirkan mu.
Entah kau baru menetas atau sudah lama berdiam di situ aku pun tak tau. Hanya begitulah gambaran yang kulihat selama beberapa menit kita melayang ke masa ini."
Candu yang mendengarkan hanya diam memandang mata Satria yang tetap mencorong walaupun dalam kegelapan itu sambil meneteskan air mata dari ujung matanya.
Satria yang kini telah memeluk leher Candu berkata,
"Tidak usah bersedih Candu. Walaupun keluargamu tidak ada lagi, aku yang akan menjadi keluargamu hingga mati nanti. Tenanglah,,, tenanglah Candu," Seru Satria sambil menepuk punggung Candu.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments